SEKUINTAL DOA
Batuk, entah keberapa ratus, muntah kembali dari lelaki kurus itu. Suaranya yang kering dengan cepat memantul dari satu dinding ke dinding lainnya dan menghunjam ke dada semua penghuninya. Istri dan ketiga anaknya hanya bisa menatap kosong ke arah tulang-tulang iga yang turun naik dengan amat cepat itu. Desis nafasnya bagai peluit yang ditiup pelan-pelan.
Sang istri beringsut ke dapur – atau lebih tepatnya, satu-satunya ruangan yang mereka miliki di rumah itu yang juga menjadi kamar tidur mereka berlima dan kamar bermain anak-anak. Walau sudah tahu, ia tetap membuka kaleng-kaleng bekas yang tadinya menjadi wadah beras, gula, garam dan bumbu-bumbu. Ia tetap berharap salah satu wadah itu, terutama wadah beras, masih menyisakan beberapa butir agar ia bisa menanak nasi, yang siapa tahu bisa mengurangi derita suaminya, dan anak-anak. Kosong. Hanya udara berbau lapuk yang menguar.
Hujan membuat udara di ruangan itu makin lembab. Anak sulungnya, perempuan, telah berdiri di sampingnya. Ia membisikkan sesuatu. Sang ibu terdiam. Ia tak setuju tetapi apa lagi yang bisa dilakukannya?
Pintu berkeriut ketika anak perempuan itu menerobos hujan. Ia melompati got yang walau kini tampak penuh dengan air hujan, ia tahu kalau di bawahnya menggumpal lumpur yang berkerak. Ia mendengar suara-suara dari televisi di rumah tetangga. Ia menengok ke atas, ke arah kamar benderang di lantai dua rumah besar itu. Ia tersenyum membayangkan kehangatannya. Ia kembali berlari.
Beberapa warung kecil dilewatinya. Ia sudah beberapa kali ke sana. Ada yang masih buka, dan yang lain telah tutup, mungkin karena hujan. Mungkin juga karena toko yang hendak ditujunya.
Toko itu tampak ramai. Ia tahu kira-kira apa jawaban yang akan diterimanya, namun ia harus mencobanya, demi ayah dan adik-adiknya; juga untuk ibu yang selalu mengelus-elus rambutnya yang panjang jika ia mengatakan kalau ia lapar sampai akhirnya ia tertidur.
Badannya yang basah kuyup membuat baju dan rambutnya menempel lekat. Orang-orang memandanginya. Walau ia sudah berusaha membuang sisa-sisa air hujan sebelum masuk, namun tak ayal lantai supermarket itu basah juga. Ia memandangi rak-rak yang penuh dengan makanan. Dilihatnya pula lemari pendingin yang penuh dengan susu kemasan. Kerongkongannya bergerak, ia menelan ludah membayangkan kedua adiknya meminumnya dengan rakus.
Ia berjalan pelahan menuju meja kasir. Kasir berteriak memintanya keluar. Karyawan lain mendekat, ikut memarahi gadis kecil yang hanya membuat kotor toko mereka. Pelanggan-pelanggan lain menoleh, berusaha mencari tahu apa yang telah mengganggu kenikmatan berbelanja mereka.
Dari sebuah pintu, muncul seorang lelaki tanpa seragam yang segera berdiri di belakang mesin kas. Agaknya, ia pemilik toko ini, orang yang mengeluarkan uang untuk mendapat waralaba. “Ada apa?” tanyanya tajam, walau ia bisa menduga apa yang bakal keluar dari mulut gadis ini.
“Ayah saya sakit keras, sudah dua bulan ini tidak bisa bekerja. Adik-adik saya sudah beberapa hari tidak makan. Bolehkah saya berhutang? Nanti kalau gaji saya sebagai tukang cuci sudah diberi, saya akan langsung bayar hutang saya,” suaranya gemetar, lebih karena rasa takut daripada kedinginan.
“Disini tidak bisa berhutang tahu! Ini bukan warung. Sana pulang, pinjam saja kepada saudara kalian!” tolaknya sambil menuding pintu keluar. Namun gadis itu hanya diam terpaku, karena tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya.
Si pemilik toko hendak berteriak kembali, namun suara bariton seorang lelaki paruh baya menghentikannya. “Biarkan saja pak. Saya yang akan membayar apa yang dibutuhkan anak perempuan ini,” suaranya yang berwibawa membuat pemilik toko hanya bisa merunduk melihat tombol-tombol mesin kas.
Namun, mendadak satu pikiran menggerayangi otaknya, dan ia tak mau menyerah. Ia tak mau dipermalukan. “Tak usah pak. Biar saya saja yang menanggung belanjaannya,” ia membalas dengan tersenyum kecut penuh arti. Gadis itu seperti tak percaya mendengarnya, ia masih berdiri kaku di tempatnya semula.
“Baiklah, apa kamu membawa daftar belanjaan?” si pemilik toko bertanya, ketika Bapak tua itu mendekat. “Letakkan daftar belanjaanmu di timbangan ini. Aku akan memberimu barang apa saja, gratis, sesuai dengan berat daftar belanjaanmu.” Pria yang kini telah berdiri dekat meja kasir itu terhenyak mendengar akal-akalan si pemilik toko ini. Ia berusaha mengendalikan amarahnya. Sementara, para karyawan dan pengunjung toko lainnya telah berkerumun dekat meja kasir.
Gadis itu merogoh kantung roknya, dan mengeluarkan secarik kertas yang kini lengket karena basah. Digenggamnya erat-erat, berjalan mendekat, lalu dengan hati-hati, seakan tak mau melepasnya, ia meletakkan gumpalan kertas itu di tatakan timbangan. Belasan pasang mata tak percaya akan pandangan mereka: timbangan itu berbunyi keras karena menghantam dasar.
Rasa malu, marah, dan keakuan bercampur aduk di dalam hati pemilik toko. “Jangan diam saja, sana ambil barang yang kau perlukan,” teriaknya kepada gadis itu, dan kepada salah seorang karyawan yang berada di dekatnya, “Bantu anak itu!”
Gadis itu mengambil beberapa bungkus mie instan dan meletakkannya di timbangan, namun timbangan itu seperti tak banyak bergerak. Ia kini setengah berlari, mengambil sebungkus susu. Timbangan itu mulai bergerak, namun masih belum seimbang. Ia berlari mengambil gula, seakan takut waktu akan membuat timbangan itu berubah sendiri, tetapi lagi-lagi masih belum seimbang. Diambilnya garam, bumbu-bumbu dapur, dua botol saos sambal, beberapa bungkus jahe instan, dan kue-kue kering, tetapi tetap saja timbangan itu belum seimbang. Akhirnya ia berlari ke ujung rak dan berdiri sejenak, meragukan pikirannya sendiri, namun akhirnya ia membungkuk berusaha mengangkat kantung beras yang bertuliskan Rojolele 20 kg. Kedua tangannya yang kurus tak sanggup mengangkatnya. Pelayan toko memegang tangannya, mereka berpandangan dan gadis itu tersenyum. Rasa sejuk mengalir ke sekujur tubuh pelayan toko itu. Ia mengangkat karung beras itu sambil tersenyum, berjalan ke arah timbangan dengan diikuti semua mata yang ada di toko itu.
Waktu seakan berhenti ketika pemuda itu meletakkan karung itu. Seperti adegan superlambat di dalam film the Matrix. Mikrodetik demi mikrodetik berjalan... pelahan-lahan timbangan itu bergerak dan akhirnya berhenti... seimbang persis.
Keheningan terus menggantung. Bahkan bunyi rinai hujan di atap toko dan lalu lalang angkutan kota di depan toko seperti teredam. Orang-orang berusaha keras menahan keluarnya nafas mereka, seakan takut suaranya akan memecah kesunyian ini.
Seperti robot, pemilik toko itu akhirnya memasukkan sendiri semua barang itu ke dalam tas plastik. Suara kemereseknya membangunkan semua orang, namun mereka tetap tak beranjak dari tempat berdiri masing-masing. Diserahkannya dua tas plastik itu ke pelayannya yang kemudian membantu gadis yang hatinya berbunga-bunga itu keluar dari toko. Hujan masih mengguyur tetapi gadis itu berjalan menembusnya dengan tertatih-tatih karena kedua lengannya penuh beban. Dari mulutnya terdengar senandung pujian.
Sementara di dalam toko, orang-orang kembali berpencar, kembali sibuk berbelanja seakan-akan tak terjadi apa-apa. Hanya pak Tua itu yang masih berdiri di depan meja kasir. Si pemilik toko masih tak percaya akan apa yang dialaminya. Tangannya yang gendut mengambil gumpalan kertas itu dan berusaha membukanya. Mulutnya membacanya pelan-pelan tapi cukup terdengar oleh pak Tua, “Tuhan, hanya Engkau yang bisa menolong kami.” Dono Baswardono
PS: Jangan pernah meremehkan kekuatan doa. Hanya Tuhan yang tahu seberapa berat doa kita.
No comments:
Post a Comment