Wednesday 12 September 2012

Tips Memilih Mainan Edukatif

Tips Memilih Mainan Edukatif

Bermain adalah dunia anak-anak. Banyak sekali jenis dan bentuk mainan yang diperuntukkan bagi si kecil. Namun, sudahkah kita sebagai orangtua memahami betul mainan yang kita belikan untuk buah hati? Jangan-jangan selama ini kita hanya mengikuti keinginannya, tanpa pernah mempertimbangkan manfaatnya! Jadi, bagaimana sih memilih mainan yang tepat untuk si kecil?


Kini seringkali disebut-sebut mainan yang baik untuk anak-anak adalah mainan edukatif. Lho, apa bedanya mainan edukatif dengan jenis mainan lainnya? Mainan edukatif adalah mainan yang dapat merangsang kemampuan anak. Satu jenis mainan biasanya merangsang beberapa aspek kemampuan.
Mainan edukatif membantu anak untuk belajar duduk diam dalam kurun waktu tertentu, tekun dalam memainkannya, serta melatih kemampuan anak dalam memusatkan perhatian dan konsentrasi. Dalam memainkannya, tentu diperlukan arahan dari orangtua atau orang dewasa.

Tujuh Manfaat
Banyak sekali manfaat dari mainan edukatif. Pertama, melatih kemampuan koordinasi visual motorik atau keakuratan koordinasi mata dan tangan.
Kedua, melatih kemampuan pengenalan konsep dasar seperti pengenalan warna primer (merah, kuning, hijau). Juga pengenalan bentuk geometris sederhana (lingkaran, kotak, dan segitiga), konsep besar dan kecil, konsep banyak dan sedikit, pendek dan tinggi.
Ketiga, proses naming (memberikan nama pada suatu benda), misalnya kucing, tikus, dan lain-lain. Ini kemudian diikuti oleh proses pengelompokan, seperti kucing dan tikus ialah nama hewan.
Keempat, mengembangkan aspek bahasa. Dengan memainkan sebuah mainan tentunya disertai dengan adanya interaksi antara anak dengan orangtua. Ada dua bentuk kemampuan bahasa yang dapat dikembangkan, yaitu bahasa reseptif (kemampuan anak untuk menangkap dan memahami kata/kalimat yang disampaikan) dan bahasa ekspresif (kemampuan anak untuk mengungkapkan kata/kalimat yang sudah ia pelajari).
Kelima, menambah wawasan pengetahuan. Keenam, merangsang kreativitas anak, misal pada mainan yang sifatnya konstruksif (membangun atau membuat sesuatu). Ketujuh, mengembangkan kemampuan untuk memusatkan konsentrasi.

Kenalkan Sejak Dini
Mainan edukatif menuntut anak lebih tekun dan berkonsentrasi, oleh karena itu mengenalkannya sejak dini sungguh disarankan bagi para orangtua. Anak jadi terlatih untuk duduk diam, tenang dan kreatif. Nantinya dia mudah diarahkan untuk berkonsentrasi menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan di sekolah. Sementara anak yang tidak diperkenalkan dengan mainan edukatif biasanya akan lebih tertinggal dalam perkembangan kecerdasannya karena kurang mengenal bentuk dan warna serta tidak terbiasa untuk duduk tenang, tekun juga berkonsentrasi.
Sejak usia batita, ajak anak bermain dengan berbagai jenis permainan, baik dengan mainan edukatif ataupun jenis lainnya. Bermain merupakan aktivitas fisik yang disukai anak-anak, apalagi permainan yang menuntut mereka untuk banyak bergerak. Proses tumbuh kembang kemampuan gerak seorang anak disebut perkembangan motorik. Masa lima tahun pertama adalah fase emas (the golden age) bagi perkembangan motorik anak. Hal ini disebabkan pada usia tersebut fisik anak masih lentur, juga mudah diarahkan.
Secara umum perkembangan motorik dibagi dua bagian. Motorik kasar meliputi kemampuan merangkak, duduk, berdiri, berjalan, melompat, berlari. Sedangkan motorik halus seperti memegang mainan, memegang sendok, menulis, menggunting, menempel dan sebagainya.

Cara Mengajarkan Mainan Edukatif
Sebelum membelikan mainan edukatif untuk permata hati Anda, sebagai orangtua sebaiknya Anda paham terlebih dahulu cara memainkannya. Mainan edukatif berbeda dengan mainan pada umumnya, seperti boneka, mobil-mobilan dan mainan yang tidak untuk dibongkar pasang. Dibutuhkan cara tertentu untuk menikmati mainan edukatif tersebut, karena itulah orangtua atau orang dewasa harus memberi contoh bagaimana cara memainkannya.
Kemampuan setiap anak berbeda, ada yang cepat memahaminya atau dapat langsung memainkannya tanpa arahan terlebih dahulu, ada juga yang lambat menangkap instruksi. Misalnya mainan miracle pounding, anak harus memegang palu dan memukulnya pada bola, untuk orang dewasa tentu sangat mudah melakukannya, tapi kalau anak-anak kan kemampuan motoriknya belum sempurna.
Meski memiliki manfaat melimpah, bukan berarti anak harus diberikan mainan edukatif terus-menerus. Mainan edukatif hanya salah satu faktor pendukung perkembangan otak anak agar lebih maksimal.

Tips Memilih Mainan Edukatif
• Sesuaikan dengan usia dan kemampuan anak.
• Lihat tujuan dari mainan tersebut, aspek-aspek kemampuan apa saja yang bisa diperoleh. Jangan malas untuk membaca keterangan yang tertera pada mainannya atau bertanyalah kepada penjual untuk mendapatkan informasi yang benar.
• Berikan arahan yang tepat pada si kecil.


Jenis-jenis Mainan Kayu Edukatif
Salah satu bahan yang kerap dijadikan mainan edukatif adalah kayu. Walau cukup tahan lama, tidak semua bahan kayu aman untuk anak-anak, terutama yang dicat dengan bahan cat yang belum mendapat sertifikat aman untuk anak-anak. Kayu – terutama di dalam iklm Indonesia yang lembab – juga gampang berjamur, karenanya perlu dirawat rutin. Tidak semua toko mainan menjual mainan edukatif berbahan kayu; kalau pun ada, biasanya dengan harga lebih mahal dibandingkan yang berbahan plastik – bahkan jika yang terahir ini produk impor.
Dr. Dono Baswardono, Psych, Graph, AISEC, MA, Ph.D – Sexologist, Pschoanalyst, Graphologist, Marriage & Family Therapist.
Untuk konsultasi, hubungi di 087881705466 atau pin 2849C490. :)

Monday 10 September 2012

Disiplin Positif: Tanpa Kekerasan pun Anak Bisa Disiplin

Menghukum dan Memarahi Anak? Ah, Kuno! Cobalah Disiplin Positif


Apakah Anda sependapat bahwa pola didikan orangtua zaman dahulu sudah tak bisa diterapkan di era sekarang? Tak perlu main pukul, mencubit atau suara Anda harus naik satu oktaf, saat melarang si kecil berulah kan? Nah, simak 'cara halus' berikut untuk mendisiplinkan buah hati Anda!

Saat si kecil tidak menuruti permintaan orangtua, kerap kali hal ini menjadi sumber kemarahan. Sebaliknya, bersikap lembut pada buah hati dianggap terlalu memanjakan. Padahal mengajarkan anak tentang perilaku moral yang dapat diterima kelompok bisa diterapkan dengan disipilin positif.
Disiplin positif adalah penerapan disiplin yang bertujuan tidak hanya mengatasi masalah tingkah laku, tetapi juga dapat membantu anak mengembangkan rasa percaya diri (self confidence), kedisiplinan diri, tanggung jawab, harga diri (self-esteem) yang sehat serta berbagai keterampilan hidup (life skills), terutama keterampilan dalam memecahkan masalah.

Prinsip 3 R
Dalam menerapkan disiplin positif, orangtua perlu memperhatikan unsur 3R, yaitu respect, rules, dan role models.

Respect (menghargai anak)
Orangtua merupakan figur otoritas di rumah, namun dalam penerapan disiplin Anda harus menghargai anak, bukan hanya menuntut atau mengharuskan anak menuruti perintah.
Hal yang dapat dilakukan orangtua adalah memberikan tanggung jawab di rumah, yang disesuaikan dengan usia dan kemampuan anak. Misalnya memberikan tanggung jawab merapikan kembali mainan yang telah digunakan, tanggung jawab untuk tidak bermain dengan benda-benda yang berbahaya, atau pada anak yang sudah bersekolah dapat diajarkan bertanggung jawab merapikan peralatan sekolah yang akan dibawanya.
Selain itu, Anda perlu bersikap adil dan seimbang dalam memberikan penghargaan terhadap tingkah laku yang diharapkan maupun konsekuensi terhadap tindakan yang tidak diharapkan. Seringkali orangtua lebih menonjolkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan anak dan memberikan hukuman ataupun teguran atas kesalahan tersebut. Tetapi jika anak melakukan tingkah laku yang positif, tidak terlalu diperhatikan. Akan lebih baik bila orangtua fokus pada tindakan positif yang dilakukan anak, sehingga anak termotivasi untuk mengulanginya.
Kemudian kontrol diri orangtua patut diperhatikan. Orangtua harus menjaga emosi agar tetap netral dalam menerapkan disiplin. Hal yang harus dihindari ketika anak melanggar disiplin adalah berteriak-teriak memarahinya, menyakiti secara fisik seperti memukul atau mencubit, serta mempermalukan anak. Dengan berteriak-teriak memarahi, anak menjadi tidak fokus pada tindakannya yang salah, tetapi lebih fokus pada rasa takut mendengar suara yang keras. Sedangkan hukuman fisik, dapat ditiru anak dan menjadi alternatif pemecahan masalah baginya kelak dalam memecahkan masalah.

Rules (penerapan aturan)
Menerapkan aturan pada si kecil harus bersifat jelas dan spesifik. Jadi, aturan berisi tingkah laku yang diharapkan dari anak atau tugas-tugas yang diharapkan dapat dilakukan anak setiap hari. Aturan hendaknya disesuaikan dengan usia anak dan orangtua wajib bersikap tegas dan konsisten dalam menerapkan aturan, namun tetap disertai sikap tenang dan hangat.

Role Models (menjadi contoh bagi anak)
Orangtua merupakan contoh bagi anak. Jadi jika mengharapkan anak bertingkah laku tertentu, Anda hendaknya memberikan contoh dengan menampilkan tingkah laku tersebut. Bukankah anak belajar dengan meniru?

Ganti Hukuman dengan Konsekuensi
Selama ini, salah satu cara yang kerap dilakukan orangtua untuk mendisiplinkan anak yaitu dengan hukuman. Dalam disiplin positif dikenal adanya konsekuensi, yakni hal-hal yang mengikuti atau terkait dengan tindakan anak.
Ada dua jenis konsekuensi, terdiri atas konsekuensi natural dan konsekuensi logis.
Konsekuensi natural adalah konsekuensi yang terjadi secara alami, seperti kalau hujan-hujanan akan basah, jika tidak makan akan kelaparan. Sedangkan konsekuensi logis merupakan konsekuensi dari pilihan yang dibuat oleh anak dan dapat ditentukan sesuai perjanjian.
Proses pembelajaran konsekuensi dapat dimulai saat anak mendapatkan suatu kesempatan, maka ia bertanggung jawab atas kesempatan tersebut sehingga ada konsekuensi yang menyertainya. Misal anak mendapatkan kesempatan bermain bersama teman di luar rumah, maka anak bertanggung jawab menjaga tingkah lakunya selama bermain, seperti bertingkah laku sopan dan tidak menyakiti teman. Jika anak melanggarnya, konsekuensinya anak hanya boleh bermain di rumah, tentunya ia harus meminta maaf pada temannya tersebut.
Konsekuensi dapat berupa kehilangan atau penundaan hal-hal yang disukai anak, contohnya anak tidak diperbolehkan main keluar rumah bersama teman selama beberapa hari karena ia memukul temannya.
Pada dasarnya, penerapan konsekuensi lebih efektif dibandingkan memberi hukuman. Biasanya hukuman hanya fokus membuat anak jera, namun dalam jangka waktu pendek. Artinya anak jera saat diberi hukuman, tetapi kemudian mengulang tindakan yang sama di lain waktu. Sedangkan konsekuensi lebih fokus pada solusi dan bersifat jangka panjang. Tentu saja jika konsekuensi tersebut melibatkan anak dalam pembuatannya, disertai diskusi mengapa harus dilakukan, sehingga anak mengetahui kesalahannya dan dapat mengubah perilakunya.

Reward atau Dukungan (encouragement)
Setelah disiplin positif berhasil dijalankan, maka orangtua perlu memperkuat tampilnya tingkah laku yang positif. Umumnya orangtua memberikan hadiah (reward) pada si kecil. Idealnya, pemberian reward harus sesuai dengan tindakan yang dilakukan anak, serta tetap fokus pada tingkah lakunya.
Lebih baik jika orangtua memberikan dukungan (encouragement), saat anak melakukan tindakan positif maupun negatif. Dukungan dapat berbentuk pujian atau penghargaan bila anak melakukan tindakan positif, serta membantu anak mencari solusi ketika anak menampilkan tindakan negatif atau tidak diharapkan. Misalnya anak mendapat nilai buruk di sekolah, orangtua dapat memberikan dukungan dengan mengatakan “Sekarang Kakak dapat nilai lima untuk ulangan matematika. Tapi Mama tetap sayang Kakak kok. Kira-kira gimana ya supaya lain kali Kakak dapat nilai lebih tinggi?” Dengan demikian, anak tetap merasa dirinya dihargai.

Trik “Time Out” di Rumah
Duh, berbagai upaya sudah dilakukan orangtua untuk mendisiplinkan si kecil. Apa daya ia tetap saja bandel! Cobalah teknik time out yang bertujuan memberikan kesempatan pada anak untuk ‘beristirahat’ sejenak dan kemudian mencoba lagi segera setelah mereka siap mengubah tingkah laku. Jadi, pada prinsipnya time out dilakukan agar anak dapat menenangkan diri, merasa lebih baik dan bukan sebagai hukuman.
Misalnya jika anak bertengkar dengan adik atau kakaknya, orangtua dapat menerapkan time out sehingga masing-masing dapat menenangkan diri. Setelah mereka tenang dan siap mengubah tingkah laku, yaitu tidak lagi bertengkar, mereka diperbolehkan bermain kembali. Selain itu, orangtua dapat membantu anak menetapkan area time out. Anak dapat mengatur area ini menjadi tempat yang menyenangkan sehingga dapat menenangkan dirinya. DB
Dr. Dono Baswardono, Psych, Graph, AISEC, MA, Ph.D – Sexologist, Pschoanalyst, Graphologist, Marriage & Family Therapist.
Untuk konsultasi, hubungi di 087881705466 atau pin 2849C490. :)

Wednesday 5 September 2012

Terangkan Bahwa Untuk Mendapat Adik Bayi, Papa dan Mama Harus Menikah Dulu

Pendidikan Seks Untuk Anak Umur 6 – 8 Tahun
Terangkan Bahwa Untuk Mendapat Adik Bayi, Papa dan Mama Harus Menikah Dulu


Yang paling penting, pendidikan seks itu lebih bagus jika diberikan dari orangtua. Setelah itu baru dari orang lain. Dalam memberikan pendidikan seks tidak boleh dalam keadaan formal, tapi diberikan ketika anak bertanya. Dan diberikan dengan contoh yang ada di sekeliling kita. Pendidikan seks itu harus diberikan ketika anak-anak berada pada usia mulai sekolah.
Khusus untuk pendidikan seks bagi anak berumur antara 6 – 8 tahun, orangtua juga perlu mengetahui perkembangan aspek-aspek lain anak, yang mencakup jasmani, pikiran dan perasaan, sebagaimana di bawah ini.

Perkembangan Fisik
Sebagian besar anak berumur antara 6 – 8 tahun akan:
- mengalami pertumbuhan yang lebih lamban sekitar 6cm dan 4kg pertahun
- kaki-kakinya tumbuh lebih panjang dibandingkan dengan tinggi totalnya dan mulai menyerupai orang dewasa dalam proporsi kaki dibandingkan tubuh
- lemaknya semakin kurang dan tumbuh lebih banyak otot dibandingkan periode sebelumnya
- meningkat kekuatannya
- kehilangan gigi bayi dan mulai tumbuh gigi dewasa yang mungkin tampak kebesaran untuk mukanya
- menggunakan ketrampilan motorik besar dan kecil dalam olahraga dan berbagai kegiatan lainnya

Perkembangan Kognitif
Anak-anak berumur 6 – 8 tahun, kebanyakan akan:
- mengembangkan kecakapan-kecakapan untuk memroses konsep-konsep yang lebih abstrak dan ide-ide yang leih kompleks (misalnya, kehamilan, penambahan/pengurangan, dsb)
- mulai masuk sekolah dasar
- menghabiskan lebih banyak waktu dengan kelompok bermain dan bergantung pada teman bermainnya untuk mendapat informasi [mereka membutuhkan sumber-sumber informasi di luar keluarga, dan orang-orang dewasa lain menjadi penting dalam kehidupannya.]
- mampu fokus pada masa lalu dan masa depan selain masa kini
- rentang perhatiannya meningkat dan meluas
- memperbaiki kontrol dirinya, mampu menyesuaikan dengan ide-ide orang dewasa tentang perilaku “yang tepat” dan mengenali kelayakan perilaku
- memahami konsep normal/abnormalitas, peduli untuk menjadi normal, dan ingin tahu tentang perbedaan-perbedaan
- mulai berkembang sebagai seorang individu
- memikirkan diri mereka sendiri dan mengembangkan pendapat-pendapat individual, khususnya ketika mereka mulai membaca dan mendapat informasi melalui media

Perkembangan Emosional
Biasanya anak-anak berumur 6 – 8 tahun akan:
- menjadi lebih lembut dan menginginkan privasi
- mengembangkan hubungan dengan dan mengasihi orang-orang di luar keluarga ketika kebutuhan emosionalnya dipenuhi oleh teman-teman maupun keluarganya
- mengembangkan hubungan yang secara fisik kurang demonstratif dan mengungkapkan cinta kasih melalui berbagi dan berbicara [Mereka bisa saja malu dengan ungkapan sayang secara jasmaniah, seperti malu dipeluk atau dicium.]
- membutuhkan cinta dan dukungan, tapi merasa kurang mau memintanya
- memahami perasaan-perasaan yang lebih kompleks, seperti bingung dan ketegangan
- menginginkan kebebasan emosional dan ruang dari orangtua
- menjadi lebih baik dalam mengontrol dan menutupi perasaan-perasaannya
- mulai membentuk konsep diri yang lebih luas dan mengenali kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan dirinya sendiri, utamanya yang terkait dengan kecakapan atletik, akademik dan sosial
- memiliki teman-teman dan mempertahankan interaksi dengan kelompok bermain

Perkembangan Seksual
Anak-anak berumur 6 – 8 tahun kebanyakan akan:
- lebih suka bersosialisasi dengan jenis kelaminnya sendiri, nyaris eksklusif dan mempertahankan pemisahan kaku antara lelaki dan perempuan [Mereka akan menggoda seseorang yang bertingkah tidak sesuai dengan peran-peran jenis kelamin yang telah ditetapkan.]
- mengenali stigma-stigma sosial dan berbagai tabu seputar seksualitas, terutama jika orangtuanya sulit dan tegang membicarakan seksualitas, dan akan kurang mau mengajukan pertanyaan
- memahami ide-ide yang lebih kompleks bertalian dengan seksualitas dan mulai memahami senggama sebagai hal yang terpisah dari membuat bayi
- menoleh pada teman-teman, media, dan sumber-sumber lain untuk informasi soal seks
- memahami stereotip-stereotip peran jenis kelamin, jika berhadapan dengan stereotip seperti itu
- bisa saja terlibat dalam eksplorasi seksual dengan teman-teman sesama jenis kelaminnya
- mempunyai konsep diri yang lebih kuat dalam pengertian citra badaniah dan jenis kelamin

Apa yang Musti Dilakukan Keluarga untuk Membesarkan Anak-anak yang Secara Seksual Sehat
Untuk membantu anak berumur 6 – 8 tahun mengembangkan seksualitas yang sehat, keluarga harus:
- terus memberikan informasi tentang seksualitas, bahkan jika seorang anak tidak memintanya. Pada umur ini, anak-anak lebih sedikit mengajukan pertanyaan, tapi tetap punya banyak rasa ingin tahu membutuhkan informasi tentang seksualitas
- jelaskan bahwa ada banyak jenis keluarga dan semua jenis keluarga mempunyai nilai yang setara dan layak dihormati
- berikan informasi dasar tentang masalah-masalah seksualitas yang penting, seperti HIV/AIDS, aborsi, perkawinan, dan kekerasan atau penistaan seksual
- Beritahu anak-anak tentang perubahan-perubahan yang akan terjadi bila mereka mencapai pubertas. Meskipun kebanyakan anak periode umur ini belum mengalami perubahan-perubahan ini, namun usia anak mulai menunjukkan tanda-tanda pubertas seperti tumbuhnya bulu pubik, ketiak dan membesarnya payudara semakin muda, sehingga anak-anak membutuhkan informasi ini lebih cepat
Kenalkan bahwa tidak semua orang memiliki orientasi seksual yang sama. Kenalkan pula kepada anak-anak bahwa banyak orang memiliki perasaan romantis pada orang berjenis kelamin berbeda, namun ada sebagian orang yang mempunyai perasaan romantis itu terhadap sesama jenis kelamin.

Jangan Pernah Bohongi Anak Tentang Darimana Bayi Berasal
Umur berapa biasanya anak-anak mulai bertanya soal kelahirannya? Kalau untuk anak-anak yang kritis dan cerdas, biasanya mereka mulai bertanya sekitar umur 3-4 tahun.
Kalau tiba-tiba anak bertanya dari mana adik lahir, sebaiknya orangtua jangan panik. Mereka harus bisa menjelaskan secara ilmiah. Jangan membohongi anak. Mereka bisa menerangkan bahwa di dalam tubuh ibu ada tempat yang bernama rahim. Jelaskan pula apa fungsi rahim, yaitu tempat berkembangnya anak. Jadi jangan pernah mengatakan bahwa adik dibawa oleh burung bangau.
Lalu, bagaimana kalau anak bertanya lagi, “Nanti adik keluarnya dari mana?” atau “Masuknya dari mana?” Maka orangtua bisa menjawab bahwa itu semua sudah ada salurannya yang masing-masing punya fungsi tertentu. Mungkin jawaban itu terkesan ilmiah. Sedari kecil sebaiknya anak-anak sudah diajarkan bersikap ilmiah. Tapi tidak semua harus memakai bahasa ilmiah. Artinya, penjelasan bisa menggunakan bahasa yang mudah dimengerti anak-anak. Hanya saja, tidak sampai harus menggunakan alat peraga.
Sedangkan kalau si kecil mempertanyakan bagaimana proses terjadinya adik bayi, orangtua juga harus menerangkan dengan jujur. Walaupun tidak terlalu vulgar. Kita bisa menjawab dengan mengatakan bahwa untuk bisa mendapatkan adik bayi, papa-mama harus menikah terlebih dulu. Kemudian orangtua memperlihatkan foto-foto pernikahan mereka. Tapi tentu saja ada hal-hal yang tidak perlu dijelaskan secara gamblang. Karena toh sang anak tidak sepenuhnya mengerti.
Selain itu, orangtua bisa menjelaskan datangnya bayi dengan contoh hewan yang ada di sekitar mereka, seperti ayam. Orangtua bisa menjadikan binatang tersebut sebagai contoh. Untuk bisa menghasilkan anak ayam, ayam betina dan ayam jantan harus kawin dulu. Dari situ baru si betina bertelur. Dan setelah dierami induknya selama 21 hari baru telur itu menetas dan keluarlah anak ayam. Hanya saja perlu dijelaskan juga bahwa manusia tidak bertelur. Tapi langsung melahirkan bayi. Contoh tersebut hanya sebagai gambaran si anak untuk proses pembuatan anak.


Biasakan Tidur Terpisah dari Orangtua Sejak Balita
Dalam kehidupan berumahtangga, melakukan hubungan intim tentu menjadi suatu kebutuhan. Tapi dengan hadirnya si kecil, ekspresi cinta itu bisa terganggu. Terlebih bila si kecil tidur sekamar bersama kedua orangtuanya. Jangan sampai si kecil melihat kedua orangtuanya saat bersenggama. Karena dia belum mengerti, nanti akan menimbulkan persepsi yang berbeda. Bisa saja dia mengira ayahnya tengah menyakiti ibunya. Kesan ini bisa mengakibatkan trauma bagi anak. Bahkan bisa berdampak pada merenggangnya hubungan antara anak dengan ayahnya.
Kalau dia anak yang terbuka, pasti akan menanyakan kepada orangtua, apa yang telah terjadi pada kedua orangtuanya. Sebaliknya, tipikal anak yang tertutup lebih senang memendam dan mencari tahu sendiri secara tidak langsung entah melalui tayangan-tayangan di televisi, majalah atau di media-media lain.
Anak yang memiliki konsep beda mengenai seks akan terbawa hingga dewasa dan memengaruhi pola pikirnya kelak. Dalam hal ini, orangtua musti berhati-hati saat memberikan pengertian pada si kecil, dengan bahasa yang konkrit, yang mudah dipahami anak-anak.
Selain memberi pengertian, lebih baik biasakan anak tidur terpisah dari orangtuanya sejak usia 3 tahun atau saat masih balita. Meski awalnya dia belum bisa menerima keputusan ini, tapi secara perlahan-lahan seiring dengan bertambahnya usia dan pengaruh lingkungan atau pergaulan akan mengerti alasannya, mengapa sedari dini tidurnya harus terpisah dari orangtuanya.
Dr. Dono Baswardono, Psych, Graph, AISEC, MA, Ph.D – Sexologist, Pschoanalyst, Graphologist, Marriage & Family Therapist.
Untuk konsultasi, hubungi di 087881705466 atau pin 2849C490. :)

Monday 3 September 2012

Adik Bukan Dikirim Oleh Angsa ;)

Pendidikan Seks untuk Umur 4 – 5 Tahun
Balita Sudah Bisa Menerima Penjelasan Soal Bagaimana Bayi “Keluar dari” Rahim Ibu




Apabila periode batita merupakan kesempatan bagi orangtua untuk mengenalkan nama-nama bagian tubuh – termasuk alat kelaminnya – sesuai dengan nama sebenarnya, maka pada masa dua tahun berikutnya, anak bisa dikenalkan dengan fungsi dasar bagian-bagian tubuhnya, termasuk bagaimana adiknya bisa “masuk” ke dalam rahim ibunya. Sejak dini anak juga musti dikenalkan akan konsep privasi dan bahwa pembicaraan dan perilaku seks merupakan hal yang tidak bisa diumbar di depan banyak orang. Tiap tahap perkembangan mencakup tanda-tanda tertentu.
Orangtua juga perlu mengetahui sederetan pedoman perkembangan fisik, kognitif, emosional dan seksual pada masa balita. Karena bicara perkembangan seksual tak bisa lepas dari perkembangan fisik, kognitif, maupun emosional anak. Pedoman ini berlaku untuk mayoritas anak balita; yang tentu saja ada anak yang mungkin lebih cepat atau lambat perkembangannya.

Perkembangan Fisik
Sebagian besar anak berumur antara empat sampai lima tahun akan:
- terus tumbuh, tapi dengan kecepatan yang lebih lambat daripada selama periode dari bayi sampai batita [sebagian bagian tumbuh lebih cepat atau lebih segera daripada bagian lain. Misalnya, organ-organ tumbuh lebih cepat daripada tubuh, sehingga perut anak prasekolah tampak bundar.]
- mencapai paling tidak 50 persen dari tinggi masa dewasa dan sekitar 20 persen dari tinggi masa dewasanya pada umur lima tahun
- mengembangkan ketrampilan-ketrampilan motorik kasar yang lebih terkoordinasi, yang memungkinkan mereka untuk melompat-lompat, berlari, dan naik-turun tangga
- mengembangkan kecakapan motorik halus yang membuat mereka bisa mengikat tali sepatu, mengancingkan baju, menggunakan gunting, dan menggambar bentuk-bentuk yang bisa dikenali
- otaknya terus berkembang secara signifikan, mencapai 90 persen pada umur lima tahun
- meningkatkan kapasitas paru dan kemampuan bernafas lebih dalam
- mulai kehilangan “wajah bayi” karena anggota-anggota tubuhnya memanjang
- tampak berukuran sama, tak peduli jenis kelaminnya
- secara umum kesehatannya meningkat dan memperoleh daya tahan terhadap kuman-kuman penyakit

Perkembangan Kognitif
AAnak-anak berumur 4-5 tahun, kebanyakan akan:
- berinteraksi dengan dan belajar tentang dunia melalui kegiatan bermain
- mulai mengalami dunia dengan eksplorasi dan merasa ingin tahu terhadap diri sendiri dan sekitarnya
- mulai belajar terpisah dari keluarga dengan lebih mandiri dan agak kurang dekat ddengan orangtua/perawat
- memahami baik dan buruk (walau mereka mungkin tidak memahami mengapa) dan mampu mengikuti aturan-aturan
- mampu memahami dan mememenuhi kegiatan-kegiatan sederhana untuk sehat, seperti menyikat gigi atau mencuci tangan
- memahami konsep privasi

Perkembangan Emosional
Biasanya anak-anak balita akan:
- tetap bergantung pada orangtuanya (perawatnya) walau tidak lagi membutuhkan atau menginginkan banyak kontak fisik dengan perawatnya sebagaimana saat masa bayi dan batitanya
- terus mengungkapkan emosinya secara jasmaniah, termasuk mendapatkan pelukan dan ciuman
- bersosialisasi dengan teman-teman bermain, mulai mengembangkan hubungan, dan belajar mengenali beberapa kawan bermain sebagai teman dan yang lain sebagai orang-orang yang tidak disukainya
- mempunya banyak kesempatan berinteraksi dengan teman sepermainan, baik lewat sekolah maupun kegiatan rekreasi, dan akan bermain dengan anak-anak lain

Perkembangan Seksual
Anak-anak balita kebanyakan akan:
- mengalami ereksi atau pelumasan vagina
- menyentuh alat kelamin mereka demi rasa senang
- ingin tahu tentang segala hal dan bertanya tentang asal-usul bayi dan bagaimana mereka dilahirkan
- ingin tahu akan tubuhnya dan mungkin bermain seperti dokter-dokteran
- merasa pasti akan jenis kelaminnya sendiri dan mampu mengenali laki-laki dan perempuan
- mulai mengenali peran-peran tradisional jenis kelamin laki-laki dan perempuan serta membedakan peran-peran ini berdasarkan jenis kelamin
- menyadari tubuhnya sendiri, bagaimana tampilan tubuhnya ini bagi orang lain, dan bagaimana fungsi-fungsi tubuhnya

Apa yang Musti Dilakukan Keluarga untuk Membesarkan Anak-anak yang Secara Seksual Sehat
Untuk membantu anak balita mengembangkan seksualitas yang sehat, keluarga harus:
- membantu anak-anak memahami konsep privasi dan bahwa bicara tentang seksualitas itu bersifat pribadi dan dilangsungkan di rumah
- mengajarkan nama-nama yang tepat dari bagian-bagian tubuh utama (internal maupun eksternal) dan fungsi-fungsi dasarnya
- menjelaskan bagaimana bayi “masuk ke dalam” rahim ibu
- mendorong anak-anak untuk datang kepada orangtua atau orang dewasa lain yang bisa dipercaya jika bertanya soal seksualitas.

Jelaskan Proses Kelahiran Anak dengan KISS
Pagi itu, tak seperti biasa jika tengah bertandang ke rumah tantenya, balita bernama Ludvina Agatha itu tampak bersungut. Vina, gadis kecil yang kritis dan ceriwis tampak kesal. Dari mulut mungilnya keluar ocehan kekesalan kepada tantenya, “Tante... Vina marah sama Bunda!”
"Lho, kenapa?" tanya Tante Vina yang perutnya sedang membuncit karena hamil. "Vina cuma tanya, tapi Bunda nggak mau jawab. Katanya Vina masih terlalu kecil." "Memangnya Vina tanya apa?" si tante kembali menyahut. "Lala tanya, kenapa perut Tante buncit. Kata Bunda, perut Tante ada adiknya, dulu perut Bunda juga buncit waktu Vina masih dalam perut Bunda. Terus Vina tanya lagi, waktu Vina dalam perut, keluarnya lewat mana Bunda? Eh, Vina malah dimarahin, disuruh diem, nggak boleh tanya-tanya lagi sama Bunda!" jawab Vina sambil cemberut.
Tidak sedikit orangtua menjawab seperti itu, "Kamu masih terlalu kecil, tidak boleh tanya-tanya masalah itu, diam saja." Mereka masih menganggap seksualitas adalah sesuatu yang tabu dan saru untuk dibicarakan.
Padahal, di zaman yang 'gila' seperti ini, di mana kasus perkosaan dan sodomi pada anak meningkat sangat tajam, pendidikan seks sejak dini sangat diperlukan. Belum lagi masalah seks bebas di kalangan remaja yang semakin merajalela. Dengan kondisi seperti itu orangtua mana yang tidak cemas dan waswas melepas anaknya berangkat remaja. Penelitian di pelbagai negara menemukan bahwa anak remaja akan terhindar dari keterlibatan dengan seks bebas, jika mereka dapat membicarakan masalah seks dengan orangtua. Artinya, orangtua harus menjadi pendidik seksualitas bagi anak-anaknya.
Hal ini hanya dapat dilakukan bila sejak dini, orangtua telah memberikan pendidikan seks untuk mereka. Orangtua memikul tanggung jawab sebagai pendidik seksualitas bagi anak-anaknya. Orangtua tidak dapat mengekspor tanggung jawab ini kepada guru di sekolah atau lingkungan sekitar. Ini adalah tanggung jawab bersama, ayah dan ibu, sebagai pasangan yang telah diberi amanat oleh Tuhan. Masing-masing mempunyai porsi untuk menjelaskan masalah seks pada anak.
Sebagai contoh, ayahlah yang harus menjelaskan tentang mimpi basah kepada anak lelakinya menjelang akil balig. Sedangkan ibu bertugas membeberkan apa itu menstruasi kepada anak gadisnya yang beranjak remaja. Apa saja yang musti dilakukan orangtua? Landasan paling penting bagi orangtua dalam masalah ini adalah agama. Jadikan agama sebagai pedoman, karena panduan pendidikan seks pada anak sudah terangkum dalam ajaran agama. Orangtua harus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan agar dapat menerangkan dan menjawab pertanyaan anak. Selain itu, orangtua harus memutuskan masa lalu dan keluar dari tabu-saru yang selama ini membelenggu.
Bagaimanakah kiat dasar mengasuh seksualitas? Pendidikan ini tidak mungkin dilakukan secara 'borongan', tetapi harus 'dicicil' sedini mungkin. Orangtua harus proaktif, terlibat penuh dan tidak menunggu anak bertanya. Contohnya, ketika sedang memandikan balita, orangtua dapat sekaligus memberitahukan tentang tumbuhnya rambut lain di bagian tubuhnya. Ibu dapat berkata “Nanti kalau adek sudah besar, akan tumbuh rambut di ketiak dan di kemaluan adek.” Atau orangtua dapat menjelaskan tentang perlunya menjaga kemaluan dan bagian penting tubuhnya.
“Dek, bagian dada sampai lutut adalah bagian penting tubuhmu, tidak boleh ada orang yang memegang kecuali Ayah dan Bunda ya.” Penjelasan ini penting untuk menghindari kasus perkosaan balita yang terutama sering dilakukan oleh kerabat dekat anak. Untuk 'mencicil'nya orangtua harus waspada pada setiap tahap perkembangan anak. Orangtua harus paham, hal-hal apa saja yang perlu diketahui anak balita tentang seksualitas, bagaimana dengan anak usia 7-9 tahun dan bagaimana dengan remaja.

Keep Information Short and Simple
Orangtua harus berada selangkah lebih maju dari anak, karena lingkungan telah membuat mereka sangat kritis dan cerdas dalam masalah ini. Langkah-langkah praktis untuk menjelaskan tentang seks sebagai berikut. Ajarkan anak menyebut alat kelamin laki-laki dan alat kelamin perempuan bukan sebagai 'burung' atau 'dompet'. Istilah dalam bahasa Latin juga dapat dipergunakan, yaitu vagina dan penis.
Perhatikan dan gunakan The Golden Opportunity (kesempatan emas). Maksudnya, setiap ada kesempatan untuk menjelaskan sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan seks, kemukakan saat itu juga. Tentunya disesuaikan dengan tahapan usia anak. Contoh, ketika melihat cicak sedang berdempetan-kawin, kucing melahirkan atau menyusui, jelaskan kejadian tersebut, dihubungkan dengan yang terjadi pada manusia. Terangkan dengan jelas, pendek, dan sederhana, atau diberi singkatan KISS (Keep Information Short and Simple), agar lebih mudah mengingatnya.
Kiat-kiat untuk menghadapi pertanyaan anak, orangtua harus tenang dan dapat mengontrol diri. Bila orangtua merasa segan, ungkapkan saja apa yang terasa dalam hati, bingung, kaget, heran atau perasaan lainnya. Segera jawab pertanyaan anak saat itu juga, dan jangan lupa untuk mengaitkannya dengan agama. Bila orangtua tidak siap menjawab pertanyaan anak, jawaban dapat ditunda tetapi janji untuk menjawab harus ditepati.
Sebagai contoh, pertanyaan yang lazim ditanyakan anak usia 3-6 tahun adalah, “Bunda, dari mana aku lahir?” Orangtua dapat menjawab, “Dari rahim Bunda, adek keluar melalui vagina.”
Bila anak bertanya lebih lanjut, orangtua dapat menjelaskan melalui buku yang benar, bukan buku mengenai pornografi. Tunjukkan gambar yang ada di buku dengan metode KISS. Orangtua dapat menerangkan “Kalau adek sudah mau keluar dari rahim Bunda, alat kelamin Bunda akan melar seperti karet gelang ini.” Bila anak sudah berhenti bertanya, tak perlu melanjutkan penjelasan.
Ingat, keterangan Anda harus jelas, singkat dan sederhana. Orangtua terkadang panik ketika mendengar anak yang berusia 7 atau 8 tahun tiba-tiba bertanya, “Sodomi itu apa sih bu?” Bila kaget, orangtua dapat menarik napas terlebih dahulu agar tetap tenang di depan anak. Orangtua dapat berkata “Bunda kaget kakak bertanya seperti itu, kakak perlu jawaban sekarang?” Menunjukkan perasaan seperti ini akan membuat orangtua lebih tenang dalam menghadapi anak. Orangtua yang tidak siap dapat berkata kepada anaknya, “Wah jawabnya nanti ya sayang, Bunda harus masak dulu.” Tetapi jangan lupa, setelah berjanji menjawab, orangtua harus menepatinya.
Dr. Dono Baswardono, Psych, Graph, AISEC, MA, Ph.D – Sexologist, Pschoanalyst, Graphologist, Marriage & Family Therapist.
Untuk konsultasi, hubungi di 087881705466 atau pin 2849C490. :)

Sunday 2 September 2012

Sebut Alat Kelamin Sesuai Nama Ilmiahnya

Beri Nama Alat Kelamin Anak Sesuai Istilah Ilmiahnya Saja



Seperti dalam dua kasus di dalam tulisan ini, cukup banyak orangtua yang merasa kikuk, malu dan sekaligus takut dalam menyebutkan alat kelamin laki-laki atau perempuan. Istilah ilmiah yang seharusnya bebas nilai, bagi mereka malah dianggap “jorok” bahkan tabu. Mereka kemudian menggantinya dengan istilah eufemisme yang menurut mereka lebih “halus” tetapi sesungguhnya malah mengaburkan. Tidak sedikit yang kemudian meminjam nama benda, binatang atau makanan untuk menamai alat kelamin. Padahal, anak-anak yang masih kecil ini butuh kejelasan.
Mengutip teori perkembangan seks yang dikemukakan Sigmund Freud, anak-anak yang berumur antara 3 – 6 tahun, berada dalam phalic stage. Pada masa itu anak-anak mengalami kepuasaan dan kesenangan dari area genital mereka. Sedangkan ketika umur 1-2 tahun disebut masa oral. Anak-anak suka menghisap tangan sendiri (nyedot), seperti saat mereka menyusui. Jadi wajar jika anak-anak usia 3-6 tahun mulai banyak bertanya seputar alat kelamin karena memang sesuai dengan fase perkembangannya.
Ada dua hal dalam menyikapi anak-anak dalam masa phalic yakni dari perkembangan kognitif dan psikososialnya. Teori psikososial Erik H. Erikson mengatakan bahwa anak umur 3 - 6 tahun berada dalam masa inisiatif. Mereka punya banyak inisiatif, untuk mengetahui segala sesuatu yang dilihat dan didengarnya. Seiring dengan itu, anak mulai merasakan sensasi berbeda di daerah-daerah kelaminnya. Wajar saja jika anak bertanya, sebab mereka ingin tahu apa yang membuat mereka merasakan sensasi itu.
Dan anak juga mulai menghubungkan keingintahuannya dengan informasi yang diperoleh dari luar. Misalnya, “Oh punya saya seperti ini, kok berbeda dengan adik.” Kemudian timbul pertanyaan, “Kok saya berbeda dengan adik? Adik pipis berdiri, kenapa saya harus duduk?” Ia kemudian bertanya kepada ibunya, “Mama, punya adik itu apa (sambil menunjuk alat kelamin adik laki-lakinya), terus punya saya namanya apa?”
Pertanyaan beruntun pun akan menghampiri orangtua seputar alat kelamin. Sebaiknya orangtua tidak panik atau malah menghindar, sebab tujuan anak bertanya kelamin pada usia phalic hanya untuk menjawab keingintahuan mereka saja. Bukan berarti menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas seksual.

Lantas bagaimana orangtua bersikap?
Sayangnya banyak orangtua tidak memahami fase perkembangan anak dan rasa ingin tahunya. Orangtua lebih memilih menjawab dengan meminjam nama-nama benda untuk menamai alat kelamin. Seharusnya orangtua tidak perlu berbohong. Katakan saja yang benar, kalau alat kelamin anak laki-laki disebut penis dan kelamin anak perempuan disebut vagina.
Jika alat kelamin pria disebut ‘burung,’ mungkin pada saat itu anak menerima jawaban tersebut. Tetapi semakin besar anak akan bertanya-tanya, kok namanya burung sih, padahal anggota tubuh yang lain memakai nama sebenarnya; mata ya mata, hidung ya hidung. Akibatnya, anak semakin bertanya-tanya ada apa kok dinamai bukan dengan nama aslinya. Itu bisa menambah rasa ingin tahu mereka. Jadi seharusnya organ genital itu harus diperlakukan sama seperti organ tubuh lain dengan nama yang sebenarnya supaya anak mendapat gambaran yang benar.
Bayangkan jika saat masuk sekolah ada pelajaran pengenalan hewan. Anak akan bingung, kok burung di sekolah bisa terbang, berbeda dengan burung yang dimaksud orangtuanya.
Dr. Dono Baswardono, Psych, Graph, AISEC, MA, Ph.D – Sexologist, Pschoanalyst, Graphologist, Marriage & Family Therapist.
Untuk konsultasi, hubungi di 087881705466 atau pin 2849C490. :)

Ajarkan Batita Untuk Merasa Nyaman dengan Tubuhnya Sendiri

SEX EDUCATION Umur 0 – 3 Tahun
Mengajarkan Batita untuk Merasa Nyaman dengan Tubuhnya Sendiri


Perkembangan manusia merupakan proses pertumbuhan dan perubahan jasmaniah, perilaku, kognitif dan emosional yang berlangsung sepanjang hidup. Pada tahap-tahap awal kehidupan – dari bayi sampai kanak-kanak, kanak-kanak sampai remaja, dan remaja sampai dewasa – sangat banyak perubahan terjadi. Dalam proses ini, tiap orang mengembangkan sikap-sikap dan nilai-nilai yang memandu mereka dalam membuat pilihan, membangun hubungan dan memahami sesuatu.
Seksualitas juga proses yang berlangsung seumur hidup. Bayi, anak-anak, remaja dan orang dewasa adalah makhluk seksual.” Sama pentingnya dengan memperkuat pertumbuhan fisik, emosi dan kognitif anak, penting pula untuk memberi pondasi yang bagus pada pertumbuhan seksual anak. Orangtua bertanggungjawab untuk membantu anak-anak memahami dan menerima seksualitas mereka yang tengah berkembang.
Tiap tahap perkembangan mencakup tanda-tanda tertentu. Pedoman perkembangan berikut ini sesuai untuk kebanyakan anak dalam kelompok umur ini. Akan tetapi, tiap anak adalah individu yang mungkin mencapai tahap-tahap perkembangan ini lebih awal atau lebih lambat daripada anak-anak lain yang berusia sama. Jika Anda mengkhawatirkan sesuatu dalam perkembangan anak, sebaiknya segera berkonsultasi dengan dokter dan psikolog.

Perkembangan Jasmani
Kebanyakan anak berusia di bawah tiga tahun akan:
- tingginya menjadi dua kali lipat antara kelahiran dan 3 tahun
- berat badannya tiga kali lipat antara kelahiran dan 3 tahun
- tumbuh geliginya dan mampu makan makanan padat
- menumbuhkan sampai 75 persen dari kapasitas otaknya
- belajar merangkak dan berjalan
- mengembangkan kecakapan motorik besar seperti berlari, meloncat, dan menaiki tangga
- belajar melepas dan mengenakan pakaian mulai mengontrol fungsi-fungsi tubuh dengan toilet training

Perkembangan Kognitif
Kebanyakan anak batita akan:
- belajar ketrampilan berbahasa dan komunikasi dan memajukan dari pemakaian kata-kata tunggal menjadi anak kalimat sampai kalimat lengkap
- mengembangkan imajinasi dan mulai menciptakan kisah-kisah imajiner dan teman-teman khayalan
- memahami dunia terutama melalui keluarganya
- mulai berinteraksi dengan teman-teman sepermainan melalui peniruan [meskipun sebagian anak pada umur ini belum bermain secara langsung satu sama lain, namun mereka sering terlibat bermain secara paralel; bahasa awamnya, “sama-sama bermain, tetapi tidak bermain bersama-sama.”]
- berfikir secara konkrit, mendapat sedikit informasi, dan memperoses informasi terutama melalui panca indranya – dengan melihat, menyentuh, mendengar, merasakan dan membaui
- mengidentifikasi dirinya dengan dan mulai meniru orangtua yang berjenis kelamin sama [anak lelaki dengan ayahnya, anak perempuan dengan ibunya]
- mulai memahami perbedaan antara perempuan dan laki-laki (perbedaan-perbedaan identitas jenis kelamin dan perbedaan-perbedaan peran jenis kelamin)
- meniru bahasa dan perilaku orangtua atau orang dewasa yang dipercayainya

Perkembangan Emosional
Anak-anak di bawah umur tiga tahun, kebanyakan akan:
- mengembangkan rasa percaya terhadap perawatnya (orangtua, atau kakek-nenek, mbak, dll) yang memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, seperti memberi makan ketika anak ini lapar, mengganti popok ketika ia mengompol, dst
- mulai menguji kemandiriannya dan mengeksplorasi keterbatasannya, tetapi tetap ingin sangat dekat dengan perawat utamanya (ibu, dll)
- berhubungan terutama dengan anggota-anggota keluarga yang merupakan orang-orang paling penting dalam kehidupannya saat ini
- secara jasmaniah menunjukkan perasaan, seperti mencium dan memeluk untuk menunjukkan cinta dan memukul untuk menunjukkan kemarahan
- menguasai ide menjadi bahagia, sedih, atau marah, tetapi secara umum akan memilih untuk mengekspresikan emosinya secara jasmaniah daripada secara verbal [“anak umur sekitar dua tahun yang nakal” terjadi bila seorang anak mulai mengembangkan rasa diri di luar dan terpisah dari orang-orang lain, dan mengungkapkan individualitasnya ini dengan mengatakan “tidak!” dan memaksa untuk mengerjakan segala sesuatu sendiri.]

Perkembangan Seksual
Kebanyakan anak berumur di bawah tiga tahun akan:
- melit (ingin tahu) dan mengeksplorasi tubuhnya sendiri dan tubuh orang lain. mengalami ereksi atau pelumasan vagina
- menyentuh alat-alat kelaminnya agar merasa senang
- berbicara secara terbuka soal tubuh mereka
- mampu mengatakan dan memahami, jika diajari, nama-nama yang tepat untuk bagian-bagian tubuhnya (kepala, hidung, perut, penis, vulva, dsb) [Baca: Beri Nama Alat Kelamin Sesuai Istilah Ilmiahnya Saja!]

Apa yang Musti Dilakukan Keluarga untuk Membesarkan Anak-anak yang Secara Seksual Sehat
Untuk membantu anak-anak batita mengembangkan seksualitas yang sehat, keluarga musti:
- Membantu anak-anak merasa nyaman dan baik terhadap seluruh tubuhnya.
- Orangtua, perawat dan keluarga lainnya musti menamai semua bagian tubuh secara akurat dan menyampaikan pesan bahwa tubuh dan fungsi-fungsinya adalah hal yang alamiah dan sehat.
- Menyentuh, mengelus, memijat dan menenangkan anak-anak akan memabntu mereka memahami cinta kasih dan bagaimana cara berbagi kasih ini
- Memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak-anak juga akan membantu mereka mengembangkan rasa percaya
- Membantu anak-anak mulai memahami perbedaan antara perilaku publik dan pribadi dan bahwa perilaku tertentu, seperti mengorek-ngorek hidung atau menyentuh alat kelamin adalah perilaku yang bersifat pribadi
- Mengajarkan perbedaan anatomis antara lelaki dan perempuan sambil tetap menekankan bahwa anak laki-laki maupun anak perempuan sama-sama istimewa
- Mengajarkan anak-anak bahwa mereka bisa mengatakan “Tidak!” pada sentuhan-sentuhan yang tidak mereka inginkan, tidak peduli siapa pun yang tengah berusaha menyentuh mereka, dan bahwa mereka memiliki hak untuk dihargai jika mereka mengatakan “Tidak!”
- Menjelaskan proses-proses jasmaniah, seperti kehamilan dan kelahiran, dalam istilah-istilah yang sangat sederhana
- Menghindarkan rasa malu dan bersalah terhadap bagian-bagian dan fungsi-fungsi tubuhnya sendiri.
Dr. Dono Baswardono, Psych, Graph, AISEC, MA, Ph.D – Sexologist, Pschoanalyst, Graphologist, Marriage & Family Therapist.
Untuk konsultasi, hubungi di 087881705466 atau pin 2849C490. :)

Pendidikan Seks dan Agama: Berdampingan

Pendidikan Seksualitas yang Berhasil Musti Libatkan Agama


Membahas masalah seks pada anak bukan perkara mudah. Keengganan orangtua bisa dimaklumi, karena seks masih dianggap tabu, walaupun itu ditujukan untuk memberikan pendidikan. Karenanya, pendidikan seks ini sebaiknya diberikan dalam suasana akrab dan terbuka dari hati ke hati. Kesulitannya, jika pengetahuan orangtua kurang memadai sehingga menyebabkan sikap kurang terbuka dan cenderung tidak memberikan pemahaman tentang masalah-masalah seks pada anak.
Meski demikian, pendidikan seks tetap harus diberikan, sesuai dengan tingkat perkembangan anak, tujuannya tak lain adalah memberikan bekal pengetahuan serta membuka wawasan anak-anak dan remaja seputar masalah seks secara benar dan jelas. Dengan pendidikan seks yang benar berarti menghindarkan mereka dari berbagai risiko negatif seperti kehamilan di luar nikah, pelecehan seksual, dan penyakit menular seksual.

Apa Itu Pendidikan Seks?
Pendidikan seks adalah proses memperoleh informasi dan membentuk sikap serta keyakinan tentang seks, identitas seksual, hubungan dan keintiman. Anak-anak dan remaja berhak mendapat pendidikan seks, antara lain untuk membantu mereka melindungi diri sendiri terhadap eksploitasi, penistaan dan kekerasan seksual, kehamilan yang tak diinginkan, penyakit menular seksual (PMS) maupun HIV/AIDS.

Apa Tujuan Pendidikan Seks?
Pendidikan seksualitas bertujuan mengurangi risiko potensi akibat-akibat negatif dari perilaku seks seperti kehamilan yang tak diinginkan dan tak direncanakan dan infeksi penyakit menular seksual (PMS), serta meningkatkan kualitas hubungan. Selain itu, pendidikan ini juga mengembangkan kemampuan anak muda untuk membuat keputusan yang baik sepanjang kehidupannya. Dengan demikian, Pendidikan seks yang berhasil adalah yang bisa mencapai semua tujuan itu.
Di dalam pendidikan seksualitas itu musti mencakup pula pendidikan agama, khususnya moralitas. Dengan pendidikan agama, remaja bisa terhindar dari hubungan seks pranikah.

Landasan Agama
Sayangnya, banyak orang menganggap antara pendidikan seksualitas dan agama adalah dua hal yang tidak berkaitan. Diakuinya, di dalam komunitas tertentu, seksualitas diterima sebagai sesuatu yang rahasia dan kotor. Ada tradisi yang memisahkan tubuh kita dari jiwa dan pikiran. Tubuh dianggap sebagai bagian negatif diri kita. Akibatnya, muncul rasa bersalah, ketakutan terpendam dan kesalahfahaman soal seksualitas. Padahal hubungan seks adalah hal yang sakral.
Pandangan seperti itu, karena orang menyamakan seksualitas dengan seks, khususnya senggama. Padahal, seksualitas itu mencakup keintiman, identitas diri, kesehatan, dan reproduksi.
Semua agama meyakini bahwa seksualitas adalah berkat Tuhan yang suci. Anak-anak dan remaja adalah harapan masa depan. Karenanya, anak-anak musti dilindungi dari kemungkinan dampak negatif perilaku seks.
Anak-anak bukan hanya berkembang sebagai makhluk seksual, tetapi juga melewati perjalanan spiritual. Jauh lebih penting adalah mendorong remaja untuk berkembang menjadi orang dewasa yang peduli dan penuh kasih kepada orang lain dan lingkunganya. Dengan begitu, mereka pasti bisa mengambil keputusan yang bertanggung jawab, termasuk soal seks. Melalui pendidikan agama, remaja sanggup untuk berpuasa, menahan diri dari nafsu seks, sampai saat sakral yang ditentukan. Karena mereka tahu bahwa ‘hadiah’ yang menunggu mereka di depan jauh lebih berharga, yaitu kemuliaan.
Orangtua memikul tanggung jawab sebagai pendidik seksualitas bagi anak-anaknya. Orang tua tidak dapat 'mengekspor' tanggung jawab ini kepada guru di sekolah atau lingkungan sekitar. Ini adalah tanggung jawab bersama, ayah dan ibu, sebagai pasangan yang telah diberi amanat oleh Tuhan.
Masing-masing memunyai porsi untuk menjelaskan masalah seks pada anak. Sebagai contoh, ayahlah yang harus menjelaskan tentang mimpi basah kepada anak lelakinya menjelang akil balig. Sedangkan ibu bertugas membeberkan apa itu menstruasi kepada anak gadisnya yang beranjak remaja.
Landasan paling penting bagi orang tua dalam masalah ini adalah agama. Jadikanlah agama sebagai pedoman, karena panduan pendidikan seks pada anak sudah terangkum dalam ajaran agama. Orang tua harus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan agar dapat menerangkan dan menjawab pertanyaan anak. Selain itu, orang tua harus memutuskan masa lalu dan keluar dari tabu-saru yang selama ini membelenggu.

Remaja Proaktif
Menanamkan pendidikan agama dan moralitas kepada remaja sangat penting untuk membentengi dirinya dari pergaulan bebas yang semakin merajalela sekarang ini. Pemahaman agama yang baik merupakan pondasi yang kuat. Alangkah baiknya jika orangtua sudah mulai mengajarkan pentingnya moralitas, khususnya dari pendekatan agama sejak anak-anak lulus sekolah dasar, yakni kira-kira usia 12 tahun yang merupakan awal memasuki usia remaja. Dalam hal ini, peran orangtua sangat besar.
Pendidikan dalam keluarga bisa dimulai dari keteladanan yang diberikan oleh orangtua. Dan itu merupakan contoh yang konkrit bagi anaknya. Karena biasanya anak kemudian akan mentransfer sikap yang ditunjukkan oleh orangtua. Jadi, orangtua sebaiknya menjadi figur panutan bagi anak-anaknya. Selain orangtua, anak bisa belajar melalui pendidikan di luar seperti sekolah maupun melalui media-media pendukung seperti buku-buku rohani dan sebagainya.
Agar tidak terjerumus ke dalam pergaulan bebas, sebaiknya remaja diarahkan untuk proaktif mengikuti aktivitas positif baik itu di sekolah maupun dalam kelompok komunitas keagamaan. Agar remaja tertarik dan menikmati aktivitas tersebut, orangtua perlu memberikan dorongan dan memberi gambaran positif kepada anak-anaknya.
Agama mana pun tentu sangat peduli dengan masa depan remaja, karena remaja merupakan cikal bakal bangsa. Peran aktif komunitas agama dalam mendukung kegiatan remaja adalah mengarahkan kegiatan yang positif, seperti membangun camp-camp belajar dan mengadakan seminar tentang pembekalan moralitas.
Dr. Dono Baswardono, Psych, Graph, AISEC, MA, Ph.D – Sexologist, Pschoanalyst, Graphologist, Marriage & Family Therapist.
Untuk konsultasi, hubungi di 087881705466 atau pin 2849C490. :)

Pendidikan Seks (1 dari 11 Tulisan)

Pendidikan Seks Bisa Diberikan Sejak Umur 18 Bulan


Anak-anak penuh rasa ingin tahu soal seks. Mereka cenderung mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tajam menusuk, seperti “Ma, adik keluarnya dari mana?” atau “Pa, apa sih Lesbian itu?” Jawablah dengan jujur. Jangan khawatir kalau informasi yang Anda berikan berlebihan. Mereka akan menunjukkan kepada Anda kalau mereka sudah cukup mendengar.

Tidak pernah terlalu dini untuk mulai bicara kepada anak-anak Anda tentang masalah seks. Keterbukaan, bahkan kepada anak-anak kecil, akan menunjukkan bahwa seks adalah topik percakapan yang bisa diterima di dalam keluarga Anda. Tegaskan kepada anak Anda bahwa Anda selalu bersedia membicarakan masalah-masalah seksual. Yang tidak kalah pentingnya, tekankan bahwa topik itu – baik bagi Anda maupun anak Anda – bisa dibicarakan dalam kondisi nyaman – sama sekali tak perlu tegang, risi, malu, apalagi cemas. Santai saja, seperti membicarakan makanan, baju, pelajaran sekolah atau acara televisi.
Jangan merasa kalau bicara soal pendidikan seks, maka Anda harus duduk rapih bersama anak untuk bersiap membicarakan semua hal dalam waktu cukup lama. Sebaliknya, tak perlu ada waktu khusus. Bicarakan begitu anak bertanya; atau persis setelah ada kejadian atau perilaku tertentu. Misalnya, ketika anak mendengar kucing peliharaannya mengeluarkan suara-suara untuk menarik pasangannya; atau sewaktu menonton sinetron remaja yang tengah menayangkan adegan ciuman.

Anak-anak Suka Mengeksplorasi Tubuhnya
Antara umur 18 bulan sampai 3 tahun, anak-anak mulai belajar soal tubuh mereka sendiri. Ajari anak Anda nama-nama organ seks secara tepat. Misalnya, alat kelamin anak lelaki sebagai “penis.” Jangan ganti dengan kata-kata yang mengaburkan atau menyiratkan makna tersembunyi seperti “anu,” “burung,” “titit,” dll. Dengan kata-kata yang mengesankan porno, tabu, terlarang atau semacamnya, maka anak-anak akan berfikir bahwa ada yang salah atau keliru dengan bagian-bagian tubuhnya sendiri.
Sangatlah normal bagi seorang anak untuk mengeksplorasi tubuhnya sendiri dan melakukan sesuatu yang terasa nyaman. Merangsang diri sendiri adalah salah satu cara menunjukkan rasa ingin tahu anak yang sangat alamiah. Anak lelaki biasanya suka menarik penisnya, dan anak perempuan menggosok bagian luar alat kelaminnya.

Konsep Privasi
Periode batita merupakan waktu yang tepat bagi anak Anda untuk mengenal konsep privasi. Masturbasi pada anak seumuran ini merupakan hal yang normal, namun tekankan bahwa itu adalah aktivitas yang bersifat pribadi. Kalau anak Anda mendadak mulai bermasturbasi di tengah-tengah kelompok bermainnya, cobalah untuk mengalihkan perhatiannya. Kalau gagal, pinggirkan anak Anda untuk diingatkan soalpentingnya privasi.
Kadang-kadang, kerap masturbasi menunjukkan ada masalah dalam kehidupan anak. Mungkin anak lelaki atau perempuan ini sedang mengalami stres, atau tidak mendapat perhatian yang mencukupi di rumah. Bahkan, masturbasi juga bisa menjadi penanda penistaan seksual. Karena itu, ajari anak Anda bahwa bagian-bagian tubuhnya yang ditutupi oleh “baju mandi” adalah bagian pribadi, dan tidak satu pun orang yang boleh menyentuhnya tanpa ijin dirinya.

Rasa Ingin Tahu terhadap Orang Lain
Pada umur 3 atau 4 tahun, anak-anak sudah tahu bahwa anak laki-laki dan perempuan mempunyai alat kelamin yang berbeda. Untuk memuaskan rasa ingin tahunya yang normal tentang organ-organ seks, anak-anak mungkin bermain “dokter-dokteran” atau langsung saling memeriksa alat kelaminnya. Eksplorasi semacam ini jauh dari kegiatan seksual orang dewasa, dan tidak berbahaya jika hanya anak-anak kecil yang terlibat. Akan tetapi, sebagai suatu persoalan keluarga, Anda mungkin ingin membatasi eksplorasi seperti itu. Kalau memang itu keinginan Anda, larang saja eksplorasi itu jika Anda melihatnya.
Pada usia ini, banyak anak menusukkan pertanyaan, “Bayi asalnya dari mana? Coba berikan jawaban langsung dan sederhana, seperti “Bayi tumbuh di satu tempat khusus di dalam tubuh ibu.” Kalau anak makin besar, Anda bisa menambahkan informasi yang lebih detail.

Pemisahan Jenis Kelamin
Antara umur 5 – 7 tahun, anak-anak mulai menyadari peran jenis kelamin (gender). Anak-anak lelaki cenderung hanya bermain dengan sesama laki-laki, dan anak gadis dengan sesamanya pula. Malah, kadang-kadang, mereka mengatakan kalau mereka membenci anak-anak yang berlawanan jenis.
Pada umur ini, pertanyaan-pertanyaan seputar seks akan menjadi lebih kompleks, seperti ketika anak Anda mencoba memahami hubungan antara seksualitas dan membuat bayi. Ada kemungkinan mereka bergantung pada teman-temannya untuk menemukan jawabannya. Karena anak-anak bisa saja mencomot informasi yang keliru sosal seks dan reproduksi, maka Anda perlu bertanya kepada anak apa yang mereka ketahui tentang topik ini sebelum Anda mulai menjelaskannya.

Gairah Remaja
Anak-anak antara 8 – 12 tahun mencemaskan banyak hal, termasuk apakah mereka “normal.” Yang laki-laki biasanya mencemaskan ukuran penisnya, sementara para gadis khawatir dengan ukuran payudaranya. Namun Anda perlau menyadari bahwa anak-anak yang usianya sama persis, belum tentu memiliki tingkat pertumbuhan yang sama pula. Karena itu yakinkan anak Anda bahwa ia masih berada di dalam rentang perkembangan yang normal.

Apa yang Perlu Anak-anak Ketahui Sebelum Mereka Mencapai Pubertas
Ikatan Dokter Anak merekomendasikan bahwa sebelum mencapai pubertas, anak-anak mustinya memiliki pemahaman dasar soal:
- nama-nama dan fungsi organ seks laki-laki dan perempuan
- apa yang terjadi selama pubertas dan apa makna perubahan-perubahan jasmaniah selama pubertas ini, yaitu proses menuju/menjadi pria atau perempuan dewasa muda
- tujuan, ciri-ciri dan kondisi siklus menstruasi
- apa itu sanggama dan bagaimana perempuan bisa hamil
- bagaimana mencegah kehamilan
- hubungan sesama jenis kelamin
- masturbasi
- aktivitas-aktivitas yang bisa menyebarkan penyakit menular seksual (PMS), khususnya AIDS
- nilai-nilai dan harapan-harapan Anda/orangtuanya

Bersikap Jujur, Terbuka dan Berdasar Fakta
Membicarakan masalah seksual dengan anak Anda bisa membuat Anda maupun anak Anda merasa tidak nyaman dan malu. Biarkan anak Anda yang memandu pembicaraan melalui pertanyaan-pertanyaannya. Ingat, jangan tertawa, cekikikan atau tersenyum-senyum, walau pertanyaan mereka lucu. Cobalah untuk tampil biasa saja. Jangan terlalu serius, tapi juga jangan malu-malu.
Apabila Anda sudah terbuka dengan pertanyaan-pertanyaan anak-anak sejak awal, maka anak Anda akan lebih mungkin datang bertanya kepada Anda pada lain kesempatan, daripada mencari-cari jawaban dari teman-teman bermainnya atau orang dewasa lain. Tempat terbaik bagi anak-anak Anda untuk belajar tentang hubungan, cinta, komitmen dan respek adalah dari Anda, orangtuanya.
Dr. Dono Baswardono, Psych, Graph, AISEC, MA, Ph.D – Sexologist, Pschoanalyst, Graphologist, Marriage & Family Therapist.
Untuk konsultasi, hubungi di 087881705466 atau pin 2849C490. :)