Sunday 13 March 2011

Pasca Bencana: Memahami Pengalaman Berduka

Pasca Bencana:
Memahami Pengalaman Berduka


Apabila seseorang mati mendadak, entah akibat bencana alam, kecelakaan, pembunuhan, bunuh diri, atau sakit non-kronis, pasti ada orang-orang dekatnya, dari anak-anak sampai orangtua yang akan sangat terpengaruh oleh kematian itu. Kematian itu bukan hanya sama sekali tidak diharapkan, tapi juga menabrak pengertian kita tentang apa yang benar atau normal. Berbeda dengan kematian akibat kanker, stroke atau kondisi jantung yang sakit-sakitan, sifat penyakit ini membuat kita lebih siap menerima apa yang bakal terjadi. Lagipula, biasanya anggota keluarga yang telah renta yang menderita penyakit seperti itu. Meskipun begitu, kematian orang yang kita cintai tetap menimbulkan shock, bahkan jika kita sudah memperoleh tanda-tanda peringatannya.

Meskipun manusia adalah makhluk cerdas dan mampu mengendalikan banyak aspek kehidupan, akan tetapi tetap banyak yang tidak kita ketahui soal emosi manusia, cara kerja pikiran, atau peran ‘keberuntungan’ dan ‘peluang’ dalam kehidupan kita.

Akibatnya, nyaris tidak mungkin menjelaskan kepada ibu atau ayah yang berduka mengapa anak perempuan atau lelakinya – yang ia harapkan berumur lebih panjang daripada dirinya – ternyata dipanggil Tuhan telebih dahulu. Namun kita bisa memahami pengalaman berduka. Kita tahu, misalnya, bagaimana biasanya seseorang bereaksi sewaktu diberitahu kalau orang yang dicintainya telah mati.

Shock
Pada awalnya, reaksi terkejut ini merupakan puncak dari ketidakpercayaan. Pikirannya menolak berita yang tidak bisa diterima itu. Orang yang ditinggal mati secara emosional merasa kebas, sehingga wajar saja jika seorang ibu bahkan tidak menangis sama sekali atas kematian anaknya.

Marah
Reaksi berikutnya bisa berupa kemarahan. Sering kali orang-orang yang ditinggal mati mengungkapkan rasa marah yang tak bisa ditenangkan terhadap beberapa orang yang dianggapnya bertanggung jawab atas kematian orang yang dicintainya: entah dokter yang “tidak becus”, sopir yang “ceroboh”, atau teman yang “tidak peduli.” Bahkan Tuhan bisa disalahkan karena membiarkan tragedi seperti itu terjadi.
Pada saat yang sama, orang ini juga bisa marah pada diri sendiri. Ia ingin menghukum dirinya, bahkan sampai taraf luka berat atau mati. Kemarahan adalah perasaan yang sangat kuat dan acap tidak terkendali. Kemarahan ini kadang-kadang juga ditujukan pada orang yang meninggal. Kemarahan adalah salah satu aspek pengalaman berduka yang sulit bagi orang yang ditinggal mati.

Rasa Bersalah
Reaksi lain yang sering dialami oleh orang yang ditinggal mati adalah merasa bertanggung jawab atas kematian tersebut. Rasa bersalah yang tidak rasional ini bisa menerpa penduka dalam gelombang yang bertubi-tubi. Seorang ibu, misalnya, merasa bertanggung jawab atas kematian anaknya yang berada ribuan kilometer dari rumah. Atau ibu lain yang sudah menyimpan cairan pembersih lantai dengan sangat hati-hati, namun masih bisa ditemukan oleh anaknya yang kemudian bermain-main dengannya sehingga keracunan.

Malu
Dalam kasus bunuh diri, rasa bersalah itu juga bisa disertai dengan banjir rasa malu. Bunuh diri seorang anak atau pasangan hidup bisa diartikan secara tersirat, bahkan tersurat, sebagai tindakan penolakan. Ia dihadapkan pada kenyataan bahwa orang yang mati lebih suka mengakhiri hidupnya daripada meneruskan hidup dengannya. Hal ini membuat orang yang ditinggal merasa sangat malu dan kehilangan harga dirinya.

Preokupasi
Aspek kelima berduka yang sudah bisa diidentifikasi adalah keinginan orang-orang yang ditinggal – suami/istri, orangtua, kakak-adik – untuk menjelaskan dan menerangkan secara terinci segala hal seputar kematian itu. Setiap kali ada tamu datang, mereka mebulangi lagi keterangan itu, tanpa pernah letih. Ini adalah reaksi penting terhadap kehilangan ini, meski sering diabaikan dan kadang-kadang ditahan-tahan. Padahal ini adalah bagian dari proses berduka di mana orang-orang yang ditinggal mau mengakui dan menerima apa yang telah terjadi.

Gampang Dirayu
Ciri lain orang yang berduka adalah sangat mudah dibujuk atau dipengaruhi. Saya pernah melihat betapa seorang janda di Aceh, pasca tsunami, dengan mudah diminta untuk menjual lahan yang lebih luas dari masjid raya hanya seharga beberapa juta Rupiah. Atas nasehat keluarga atau teman, mereka dengan gampang menjual rumahnya utnuk pindah ke kota lain. Banyak duda segera kawin kembali setelah kematian istrinya. Berbagai keputusan besar yang tergesa-gesa ini bisa menambah bebannya sendiri di kemudian hari. Kerabat dan saudaranya musti memperhatikan hal ini untuk mengurangi potensi persoalan dan banyak kesulitan akibat ketergantungan dan kerentanan ini.

Mimpi Buruk
Aspek lain dari kehilangan orang yang dicintai secara mendadak adalah gangguan perilaku berupa serentetan mimpi buruk atau mimpi yang begitu nyata. Meski sangat melelahkan dan bahkan menakutkan, namun dalam banyak kasus, mimpi-mimpi pelahan-lahan akan hilang dengan sendirinya. Jika berlangsung terus sampai berbulan-bulan, perlu segera meminta bantuan psikoterapi.

Halusinasi
Orang yang berduka juga bisa terganggu oleh halusinasi yang dialaminya. Ia seperti “mendengar” dan “melihat” keberadaan orang yang telah meninggal. Banyak janda yang masih mengalami halusinasi ini sampai sepuluh bahkan belasan tahun setelah kematian suaminya. Namun tidak sedikit pula penelitian yang membuktikan bahwa pengalaman seperti itu malah menimbulkan rasa tenang dan tentram. Akan tetapi bagi orang yang tidak terbiasa menghadapi proses mental seperti itu, “kedatangan” atau “penampakan” orang yang telah meninggal – yang sesungguhnya adalah halusinasi – itu bisa sangat mengganggu, bahkan ada yang percaya kalau dirinya sudah gila. Pada umumnya, halusinasi ini, seperti mimpi yang begitu terang, akan hilang dengan sendirinya.

Perubahan Perilaku
Yang jauh lebih jamak terjadi adalah perubahan perilaku secara mendadak. Perubahan itu termasuk sulit tidur (insomnia); tak berselera makan; frekuensi merokok atau minum alkohol meningkat; tindakan atau ucapan yang diulang-ulang; keputusan impulsif seperti keluar dari pekerjaan atau memutuskan persahabatan yang sudah sangat lama; terus menerus marah atau ledakan perasaan; tindakan kekerasan terhadap keluarga, teman atau bahkan orang yang tak dikenal. Mereka yang ditinggalkan musti menyadari kemungkinan munculnya perilaku seperti itu dan seberapa besar taraf kenormalannya. Mereka juga musti waspada jika tingkah seperti itu mengancam melukai diri sendiri maupun orang lain. Jika berlanjut cukup lama, segeralah periksakan diri kepada psikoterapis.

Media Berita
Seringkali, dalam kasus-kasus kematian mendadak yang tak terduga-duga, khususnya yang bersifat tidak alamiah – bunuh diri, pembunuhan, kecelakaan atau bencana – lembaga-lembaga publik dan media massa menerobos masuk ke dalam kehidupan keluarga yang ditinggalkan. Padahal mereka sedang mengalami trauma dan luka kejiwaan. Mustinya lembaga semacam ini lebih memperhatikan privasi, martabat dan proses duka keluarga yang ditinggalkan. Perilaku wartawan dan kamerawan kerap tidak peka dan malah menimbulkan kerusakan psikis tambahan. Biasanya mereka hanya memuncakkan kesedihan orang-orang yang ditinggal mati. Begitu pula dengan para pejabat publik yang bermaksud baik, yang tugasnya menyelidiki hal-hal seputar kematian itu, musti bersikap hati-hati. Satu tindakan, gerak tubuh atau bahkan intonasi suara yang tersirat menyalahkan keluarga yang ditinggalkan atas kematian itu hanya akan menambah beban kehilangan tersebut.

Mengatasi Duka
Apa yang bisa dilakukan jika tragedi kematian menyerang? Ini adalah saat ketika orang yang berduka membutuhkan dukungan teman-teman, anggota keluarga lainnya, ulama atau pendeta, dan mungkin dokter atau psikolog. Namun, ini juga sekaligus saat-saat di mana dukungan dan bantuan itu besar kemungkinan ditolak oleh si penduka. Padahal ia mustinya berusaha sekuat tenaga untuk mengatasi dorongan menolak bantuan itu dan menyadari betapa berharganya bantuan orang luar ini, baik untuk jangka pendek maupun panjang.
Sebaliknya, saudara, kawan atau perawat musti terus mendampingi orang yang berduka ini dan membantu mereka kapan pun memungkinkan, bahkan meski harus menghadapi protes dan kemarahan. Berduka, seperti telah kita pelajari bersama, merupakan pengalaman emosional yang begitu menggunung untuk bisa dianggap sebagai soal pribadi. DB

Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D

– psikoanalis, konselor dan konsultan komunikasi strategis.
Untuk konsultasi dan permintaan seminar – workshop, silahkan menghubungi Intan di 0813-1641-0088.

No comments:

Post a Comment