Monday, 14 March 2011

Gifted Underachiever: Anak Berbakat yang Tidak Berprestasi

Gifted Underachiever: Anak Berbakat yang Tidak Berprestasi

Anak saya sekarang kelas III SMP, sewaktu di kelas I SMP, Roland mengikuti test inteligensi dan menurut hasil testnya ia memperoleh nilai yang cukup tinggi. Tetapi nilai-nilai akademiknya hanya rata-rata saja, 6 atau 7. Apa mungkin anak berbakat tidak berprestasi?

Berbakat memang belum tentu berprestasi. Ada banyak faktor yang menentukan apakah seorang anak berbakat mampu meraih segudang prestasi atau bahkan tidak berprestasi sama sekali. Lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat serta dirinya sendiri tentunya sangat mempengaruhi seorang anak berbakat tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dirinya.

Definisi anak berbakat yang sangat populer dinyatakan oleh Lewis Madison Terman dan Joseph S. Renzulli. Menurut Terman seorang anak dapat dikatakan berbakat apabila memiliki nilai Intelligence Quotient (IQ) sama atau di atas 130 superior. Adapun kategori IQ adalah: 90-110 merupakan nilai rata-rata; 90-100 low average (rata-rata bawah), 100-110 high average (rata-rata atas).

Dalam pandangan Renzuli, anak berbakat memiliki gabungan tiga faktor yaitu inteligensi, kreativitas dan komitmen pada tugas. Artinya, anak berintelijensi tinggi belum tentu bisa digolongkan sebagai anak berbakat.

Seperti layaknya anak normal lainnya, tidak semua anak yang dilahirkan berbakat memiliki prestasi luar biasa. Dikatakan tidak berprestasi apabila potensi anak tidak sesuai dengan hasil yang dicapainya. Ada dua faktor penentu yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain keadaan anak itu sendiri, termasuk gaya belajarnya; sementara faktor eksternalnya bisa berupa dukungan lingkungan dan jenis sekolah yang diikuti.

Gangguan Emosional.
Anak berbakat tidak berbeda dengan anak normal, mereka tetap memiliki masalah emosional. Apabila keadaan emosi mereka tidak sesuai dengan pertumbuhan potensi yang mereka miliki, maka anak berbakat juga memiliki kecenderungan untuk tidak berprestasi. Ini yang perlu ditemukenali, diidentifikasi agar dia dapat mewujudkan potensinya secara utuh.

Begitu pula jika anak memiliki kebiasaan belajar yang buruk tentu akan dapat mempengaruhi prestasi anak berbakat. Kerana itu, anak perlu memiliki berbagai kecakapan belajar (study skills).

Kecakapan Akademik Dasar
.
Kecakapan akademik dasar diyakini sebagai salah satu faktor penentu berprestasinya anak berbakat. Tetapi jangan lupakan faktor lainnya seperti imajinasi dan kreativitas. Albert Einstein, fisikawan genius menyatakan ‘imagination is more important than knowledge’. Dengan kata lain memiliki daya imajinasi jauh lebih penting daripada sekadar mempunyai pengetahuan semata. Kelemahan pendidikan formal di Indonesia yaitu pengetahuan-pengetahuan yang diberikan wajib dihafal dan direproduksi. Apabila seorang anak dapat mengungkap, menghafal atau mereproduksi pengetahuan yang diberikan kepadanya dengan tepat maka ia akan memperoleh nilai tinggi. Di sini faktor imajinasi tidak dikembangkan. Tidak cukup membekali anak hanya dengan pengetahuan saja, daya kreativitas anak juga penting untuk dikembangkan.

Gaya belajar yang dimiliki anak berbakat memang tidak selalu sama dengan anak normal lainnya. Mereka memang cenderung mempunyai gaya belajar yang unik. Di sinilah peran penting guru, bahwa guru harus dapat mengamati dan memahami gaya belajar yang unik dari anak berbakat. Guru sebaiknya memberikan kesempatan atau peluang bagi anak untuk dapat mewujudkannya.

Dalam hal inilah pendidikan secara individul sangat penting karena fokusnya terletak pada perbedaan perorangan tiap anak berbakat. Sejak dini anak harus memupuk kebiasaan belajar yang baik sehingga dirinya termotivasi untuk mencari pengetahuan-pengetahuan yang dia inginkan. Jangan hanya mengikuti pola yang selalu diberikan oleh guru. Sedapat mungkin belajar dilakukan kontinu dan berusaha meningkatkan task commitment. Hal ini merupakan faktor intrinsik dalam diri anak.

Lingkungan Tidak Mendukung.
Anak berbakat bisa tidak berprestasi jika lingkungan kurang memberi kesempatan kepada anak untuk mewujudkan keunggulan potensinya. Lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat tidak mampu menggugah kreativitas, imajinasi dan inteligensi anak.

Misalnya saja dengan tidak menyediakan prasarana dan sarana yang diperlukan untuk dapat berprestasi unggul. Orangtua terkadang tidak memberikan buku yang baik bagi anaknya. Komik misalnya, bukanlah bacaan yang tepat bagi mereka. Seharusnya orangtua menyediakan buku yang mampu merangsang dan menggugah pemikiran anak serta mendorong minat baca mereka.

Begitu pula jika tidak tersedia permainan edukatif. Selama ini banyak orangtua yang memberikan permainan yang langsung dapat dimainkan saat itu. Seperti mobil atau boneka yang sudah jadi. Sebaiknya anak dilatih untuk bersibuk diri yang mampu merangsang kreativitas mereka. Contoh permainannya, bisa berupa lego dan puzzle. Mengisi teka-teki silang juga sangat baik bagi mereka. Pilihlah permainan yang berdasarkan daya imajinasi anak-anak.

Kelas Akselerasi.
Jenis sekolah yang diikuti anak berbakat pun sangat menentukan prestasi. Jika sekolah memberikan peluang dan kesempatan untuk mengembangkan seluruh potensinya maka anak berbakat dapat berprestasi. Agar bisa mengoptimalisasi bakat anak didik, sekolah bisa melakukan hal-hal seperti ini:
- Mengadakan program-program khusus bagi anak berbakat.
- Mengadakan kelas khusus atau akselerasi. Hanya saja, yang patut dicatat, akselerasi ini bukan melulu mempercepat proses pembelajaran. Yang lebih penting adalah memperkaya materi-materi khusus.
- Meningkatkan kreativitas anak. Pola belajar mengajar di Indonesia kebanyakan berupa materi yang diajarkan guru harus diikuti oleh semua murid. Murid tidak diberikan kebebasan untuk menumbuhkan kreativitasnya. Sebaiknya Guru memberikan kesempatan pada anak untuk kreatif.
- Orangtua membantu menyusun program dan berperan aktif dalam memikirkan kebutuhan anak.


Pondasi pertama pembentukan anak berbakat ada pada keluarga. Lima tahun pertama adalah dasar pembentukan kepribadian seseorang. Terkadang orangtua kurang menyadari hal itu. Mereka mengira dengan memasukkan anak ke SD pada usia 6 tahun, merupakan jalan yang tepat padahal anak-anak sudah mulai belajar sejak dini.

Agar anak berprestasi dibutuhkan 4P yaitu Pribadi (keunikan pribadi tiap orang), Pendorong (motivasi), Proses (bersibuk diri secara kreatif), Produk (kreasi atau inovasi unggul yang dihasilkan si anak).

Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D
Untuk konsultasi mengenai gangguan belajar dan masalah belajar lainnya maupun permintaan seminar-training-workshop, silahkan menghubungi Intan di 0813-1641-0088.

No comments:

Post a Comment