Thursday 26 July 2012

Awas! Anak Anda Korban Bullying di Sekolah

Awas! Anak Anda Korban Pemalakan dan Ejekan di Sekolah



Tanya: Saya merasa kesulitan dan sedih menghadapi masalah anak saya, Dedi, kelas IV SD. Ia mogok pergi ke sekolah selama hampir 2 minggu. Saya tanya mengapa dia malas pergi ke sekolah, dia bungkam. Bahkan, ketika gurunya datang ke rumah menanyakan hal tersebut, dia tetap tidak menjawabnya.
Kemudian saya dan gurunya mencoba menanyakan kepada beberapa teman dekat Dedi. Mulai ada sedikit kejelasan, mungkin dia takut pergi ke sekolah karena sering diolok-olok temannya sebagai anak manja, cengeng, dan selalu ingin diperhatikan gurunya. Ia juga pernah dimintai uang oleh teman-temannya.
Selain itu, anak saya lambat dalam mengikuti pelajaran dan kurang percaya diri dalam memulai suatu kegiatan. Mungkinkah anak saya malas pergi ke sekolah karena sering diganggu temannya? Kenapa hal tersebut bisa terjadi pada anak saya, dan anak-anak seperti apa yang bisa mengalaminya? Apa yang harus kami lakukan untuk mencegah ia malas ke sekolah? Terima kasih.


Jawab: Kasus di atas menunjukkan adanya kekerasan di sekolah, seperti cerita ibunda Dedi yang prihatin melihat anaknya menjadi korban olok-olok dan pemalakan. Kasus pemalakan tidak hanya terjadi di tingkat SMP dan SMA saja, kini masalah pemalakan juga dialami anak-anak sekolah dasar. Pemalakan merupakan salah satu bentuk kekerasan yang akhir-akhir ini sering terjadi di lingkungan sekolah.
Pemalakan biasanya didefinisikan dengan meminta uang secara paksa kepada orang lain. Padahal target pemalakan tidak hanya terbatas pada uang saja, bisa jam tangan, tas, cincin, gelang, kalung, dan sebagainya. Pemalakan merupakan salah satu contoh dari bullying.

Bullying Luas Cakupannya
Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan bullying? Bullying mengarah kepada tindakan yang mengganggu orang lain, dilakukan secara sengaja dan sifatnya berupa agresi fisik ataupun psikologis.
Bullying terbagi menjadi tiga. Yang pertama, bullying fisik seperti memukul, menampar, mencubit, atau memalak. Kedua, bullying verbal seperti memaki, menggosip atau mengejek. Dan, bullying psikologis seperti mengintimidasi, mengabaikan dan tindakan diskriminatif.
Kasus-kasus bullying yang terjadi di sekolah belum mendapat perhatian khusus dari pihak guru. Mereka masih menganggap bullying sebagai hal biasa. Malahan, penggencetan atau olok-olok antar teman maupun antara senior dan yunior merupakan semacam tradisi yang harus dilewati oleh setiap anak baru di sekolah.
Penggencetan yang dilakukan oleh kakak kelas terhadap adik kelasnya disebut dengan hazing, yaitu kegiatan yang biasanya dilakukan oleh anggota kelompok yang sudah senior, yang berupa keharusan bagi yunior untuk melakukan tugas-tugas yang memalukan, melecehkan bahkan juga menyiksa atau setidaknya menimbulkan ketidaknyamanan fisik maupun psikis sebagai syarat penerimaan anggota baru sebuah kelompok.
Sebagai contoh konkrit, sebuah sekolah menengah atas khusus murid laki-laki di daerah Jakarta Selatan, para murid kelas dua dan tiga hampir tiap siang suka membikin lingkaran di sebuah taman perumahan yang kebetulan berada di samping sekolah. Di tengah lingkaran yang sengaja dibikin rapat agar orang tidak bisa melihat itu (dan alasan utama lainnya), mereka memaksa dua murid kelas satu untuk berkelahi dengan tangan telanjang. Tanpa aturan, tanpa batas waktu, dan sama sekali tidak boleh menerobos lingkaran (inilah alasan mengapa lingkaran dirapatkan). Baru selesai kalau salah satu berteriak menyerah kalah atau memang terluka cukup parah. Tentu saja, jika berteriak menyerah kalah, bisa-bisa sepanjang tiga tahun, ia akan diejek sebagai banci. Dan “tradisi” ini berjalan dengan mulus – sekali lagi, hampir tiap hari – selama bertahun-tahun; persis di samping pagar tembok tinggi sekolah yang memiliki aturan tertulis sangat ketat itu; termasuk melarang muridnya membawa mobil dan senjata tajam ke sekolah. Sementara para tukang warung dan pelanggan warung yang ada di sekitar tempat kejadian bukannya tidak pernah membubarkan gerombolan itu. Namun, setiap kali dibubarkan, keesokan harinya mereka akan “melanjutkan” ronde-ronde yang tertunda itu.

Penonton Ikut Bertanggungjawab
Malah, sebagian guru pun menganggap biasa kalau kakak kelas mengintimidasi adik kelas. Alasannya, si adik kelas juga akan melakukan hal sama kalau dia sudah duduk di kelas yang lebih tinggi. Suasana seperti itu sangat kondusif memunculkan bullying.
Terjadinya bullying di sekolah merupakan proses dinamika kelompok, di mana ada pembagian peran. Peran-peran tersebut adalah: Bully, Asisten Bully, Reinforcer, Victim, Defender dan Outsider. Bully, yaitu siswa yang dikategorikan sebagai pemimpin, yang berinisiatif dan aktif terlibat dalam perilaku bullying. Asisten juga terlibat aktif dalam perilaku bullying, namun ia cenderung tergantung atau mengikuti perintah Bully. Reinforcer adalah mereka yang ada ketika kejadian bullying terjadi, ikut menyaksikan, menertawakan korban, memprovokasi Bully, mengajak siswa lain untuk menonton dan sebagainya. Outsider adalah orang-orang tahu bahwa hal itu terjadi, namun tidak melakukan apapun, seolah-¬olah tidak peduli.
Perlu disadari bahwa bullying terjadi dan menjadi tradisi bukan hanya karena adanya Bully, Asisten Bully dan Victim (korban) saja, melainkan karena peran serta pihak-pihak yang pasif seperti misalnya Reinforcer dan juga Outsider. Ketika Bully melakukan kekerasan, ia merasa mendapat dukungan, baik dari asistennya maupun dari para penonton yang bersorak atau ikut tertawa (Reinforcer).
Selain itu, karena Bully juga tidak mendapatkan konsekuensi negatif dari pihak guru atau sekolah, maka dari sudut teori belajar, Bully mendapatkan reward atau penguatan atas perilakunya. Si Bully akan mempersepsikan bahwa perilakunya justru mendapatkan pembenaran bahkan memberinya identitas sosial yang membanggakan.
Banyak kasus pemalakan yang belum ditangani secara serius oleh pihak-pihak yang berwenang. Berbeda halnya dengan di luar negeri, masalah pemalakan mendapat perhatian yang cukup besar untuk ditangani.

Siapa Pembuli? Ciri-ciri Korban?
Anak-anak yang menjadi korban pemalakan biasanya anak-anak yang termasuk slow learner atau yang lemah dalam hal menangkap pelajaran, lemah secara fisik, sakit-sakitan, ‘anak mami’ yang selalu diantar, jemput dan ditunggui ibunya.
Lalu, untuk si pelaku pemalakan sendiri, tidak selalu didasari kebutuhan akan uang.
Pemalak melakukan tindakan pemalakan untuk mencari kekuasaan yang lebih atas orang lain, menjadi raja di kelas, menjadi pemimpin di antara gengnya. Dengan kata lain, ada kepuasan tersendiri bagi si pemalak ketika berhasil memaksa orang lain menyerahkan miliknya.

Dampak Bullying bagi Anak-anak.
Ada beberapa dampak yang terjadi pada anak korban pemalakan, di antaranya school phobia atau anak menjadi takut untuk sekolah, motivasi berprestasi menurun, takut untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, merasa cemas saat akan pergi ke sekolah dan lambat laun akan berpengaruh pada prestasi belajar anak itu sendiri.
Bagi anak-anak yang pernah menjadi korban pemalakan, pihak orangtua dan sekolah harus menanganinya dengan baik. Hal utama yang ditekankan kepada si anak adalah harga diri (self esteem) anak harus dibangkitkan terlebih dahulu. Anak tidak boleh memiliki konsep diri yang rendah tentang dirinya. Jangan sampai anak memiliki konsep bahwa dirinya anak yang lemah, anak yang bodoh, anak yang memang pantas menjadi sasaran untuk “dikerjai” oleh teman-temannya. Jika anak mengalami pemalakan ajarkan anak untuk berani melapor kepada gurunya, melatih anak lebih mandiri dan berani berkata “tidak” apabila dipaksa oleh temannya untuk menyerahkan uang.

Cara Menangani Bullying
Guru dapat mengajarkan cara berkomunikasi yang asertif kepada siswa. Jika pelaku bullying direspon dengan cukup asertif oleh korbannya, maka ia akan berfikir dua kali untuk meneruskan perbuatannya. Contoh, bila seorang anak dibentak dan dipaksa menyerahkan miliknya, ia dapat dengan tegas menolaknya, “Aku tidak mau, untuk apa kamu memintanya…”
Bersikap asertif artinya kita mampu untuk berkata "tidak," mampu meminta pertolongan, mampu mengekspresikan perasaan positif dan negatif secara wajar, dan mampu berkomunikasi tentang hal-hal yang bersifat umum. Jadi, orang yang memiliki sikap asertif adalah orang yang memiliki keberanian untuk mengekspresikan hak, pikiran, perasaan, dan kepercayaan secara langsung, jujur, terhormat dan tanpa menyakiti orang lain.
Komunikasi asertif ini intinya adalah melakukan penyadaran bagi pelaku bullying bahwa yang menjadi korbannya benar-benar tidak senang dengan perilaku tersebut, dan ia diarahkan untuk menyampaikan secara terbuka terhadap si pelaku.
Salah satu kunci untuk menangani kasus kekerasan di sekolah adalah dengan menciptakan suasana sekolah yang nyaman. Memang terkesan sangat teoritis sekali, menciptakan suasana sekolah yang nyaman tidak semudah yang dibayangkan, perlu ada kerjasama yang baik antara pihak sekolah, murid, orangtua dan tentunya lingkungan sekitar. Selain itu, pihak pengajar diharapkan memiliki hubungan yang dekat dengan murid, sehingga jika ada sesuatu yang tidak beres, guru dapat langsung menyadari dan ditangani lebih cepat.
Sebaiknya guru tidak hanya mengajar di kelas saja. Akan lebih baik jika guru mau berkeliling di area sekolah pada jam istirahat, seperti di kantin, toilet, lapangan olah raga, lorong-lorong sekolah, tempat-tempat lain yang cukup tersembunyi, untuk memantau kegiatan sehari-hari di sekolah.
Orangtua pun harus rajin mengamati dan bertanya, apa yang terjadi di sekolah. Laporkan ke pihak sekolah jika ada bukti intimidasi fisik dan psikis yang mengancam anak. Jika tidak ada tindakan dari pihak sekolah, bisa dipertimbangkan untuk memindahkan anak ke sekolah lain.


Tips untuk anak-anak saat menghadapi pembuli
• Jika ada teman atau kakak kelas yang meminta uang, jangan langsung diberikan, tanyakan lebih dahulu alasannya.
• Jangan takut untuk melapor kepada orangtua dan guru.
• Hati-hati jika diajak ke tempat sepi oleh orang yang tidak dikenal.
• Jangan ragu untuk berteriak meminta tolong, agar menarik perhatian orang-orang di sekeliling.


Tips untuk Orangtua Mencegah Anak Jadi Korban Bully
• Ajarkan kepada anak untuk lebih mandiri dan percaya diri.
• Latih anak untuk berani berkata ‘tidak’ kepada orang lain.
• Menjalin komunikasi yang baik dengan guru kelas atau pihak sekolah.
• Ajarkan kepada anak untuk membangun sosialisasi yang baik dengan teman-temannya.

Dr. Dono Baswardono, Psych, Graph, AISEC, MA, Ph.D – Sexologist, Pschoanalyst, Graphologist, Marriage & Family Therapist.
Untuk konsultasi, hubungi di 087881705466 atau pin 2849C490. :)

No comments:

Post a Comment