Wednesday 23 March 2011

Matematika Itu Menyenangkan Lho!

Matematika Itu Menyenangkan Lho!

Oleh: Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D


Kebanyakan orangtua ketika bertemu dengan matematika akan lebih banyak mengerutkan kening daripada menyungging senyum. Tidak sedikit yang dulu punya kenangan buruk bersama pelajaran yang satu ini. Hanya sedikit yang benar-benar mengerti tentang matematika. Yang jelas, kalau berurusan dengan duit pasti tidak ada orangtua yang meleset! Ha ha, bukankah ini lebih realistis dibandingkan hitungan integral, bilangan negatif, dan rumus-rumus lainnya. Namun ini bukan berarti orangtua bisa lepas tangan dan menyerahkan semuanya kepada guru. Lalu bagaimana caranya agar kita bisa membantu anak-anak menyukai matematika?

Beberapa tahun lalu, saya dihenyakkan oleh sebuah lokakarya untuk para guru yang difasilitasi oleh departemen Matematika ITB. Pertemuan tersebut membuat para peserta manggut-manggut menyadari kekeliruan mereka selama ini. Para ahli matematika itu menunjukkan bahwa matematika sungguh menyenangkan.

Pertama-tama kami dikenalkan dengan soal hitungan. Katakanlah 30 x 15. yang ditanyakan tentu saja jawabannya berapa? Soal begini tentu saja mudah. Hampir semua orangtua, apalagi guru, bisa menjawab soal ini dengan cepat. Tapi komentar Iwan Pranoto, dosen matematika ITB, sungguh bikin keki. Dia bilang, "Bu, Pak. Kalau soal beginian bukan matematika namanya, karena tidak memakai otak." Tentu saja semua tidak setuju. "Coba, di mana letak tidak pakai otaknya Pak Iwan?" tanya seorang bapak. "Mudah saja. Kalkulator saya seharga lima ribu perak pun pasti bisa menjawabnya. Mudah kan? Tidak pakai otak kan?" yakinnya. Tidak seorang pun tertawa. Tampaknya para guru dan orangtua mencoba meyakini bahwa hitungan macam ini tidak ada otaknya.

Matematika Kok Pakai Otot
Iwan meneruskan, “Saat ini banyak sekali yang kita ajarkan tentang Matematika sama sekali tidak berdasar otak, tapi lebih ke otot.” Ia kemudian merujuk pada tren belakangan ini di mana orangtua berlomba-lomba memasukkan anaknya ke kursus-kursus matematika seperti sempoa dan kumon, juga olimpiade Matematika. Menurutnya, belajar sempoa atau metoda apa pun yang digunakan untuk bisa menghitung lebih cepat, relatif tidak menggunakan otak. “Yang mereka pakai cuma otot,” tandasnya sambil mengangkat tangan kanannya dan memperlihatkan otot bisep yang menyembul di sana.

Untuk membuktikan pernyataannya tentang kursus-kursus matematika yang menjamur, Iwan bereksperimen dengan sejumlah soal cerita. Ternyata, anak-anak yang "pintar" di kursus-kursus tersebut kelabakan menyelesaikannya. Problemnya? Matematika itu persoalan nalar, otak. Bukan hanya kecepatan menghitung.

Biarkan Anak Mencari Jawabannya Sendiri
Masih tidak percaya? Mari, kami ajak Anda untuk kembali ke ruangan lokakarya tersebut. Atmosfir ruangan berubah semakin hangat saat para guru dan orangtua dipertemukan dengan kesalahan-kesalahan cara mengajarkan matematika terhadap anak-anak. Seringkali anak-anak kita ajarkan dengan menggunakan jalan pintas ketimbang menemukannya sendiri.

Ini contoh lainnya yang menarik lagi. Ada dua pertanyaan:
1. Mengapa kalau kita membuat perkalian, selalu di mulai dari belakang?
.........................123
.............................5 x
Perhatikan angka lima di bawah angka 3

2. Tetapi jika modelmya pembagian, justru angka pembaginya itu diletakkan di depan
contoh: 2/ 123 \ = ....
Perhatikan angka 2 yang berada di depan bilangan 123

Padahal ternyata bisa juga dimulai dari mana pun. Memangnya tidak boleh kalau
mengalikan sesuatu dimulai dari ratusan, puluhan lalu satuan? Pada contoh di
atas, perkalian 123 x 5 bisa diselesaikan dengan mengalikan ratusan, lalu puluhan,
lalu satuan. Jadi, tidak musti dimulai dulu dari satuan, terus ke puluhan, terus ke ribuan.

Sambil menjelaskan, Iwan menyisipkan penjelasan tentang alat peraga bernama multi base system. Alat peraga ini berfungsi efektif untuk – selain menghitung juga mengenalkan dimensi kepada anak yang sudah sekolah. Satuan diwakili dengan kancing, puluhan (berisi angka sepuluh) diibaratkan satu penggaris, ratusan dicontohkan dengan bungkus cd berbentuk kubus. Lalu ribuan, merupakan jumlah kepingan bungkus cd yang berjumlah 10.

Penjelasannya, bungkus cd yang mewakili ratusan mengenalkan luas – bayangkan ada 10 penggaris yang disusun ke samping. Sedangkan ribuan, mengenalkan bentuk tiga dimensi. Ada volume di sana – bayangkan 10 keping cd yang disusun. Jadi, selain berhitung, siswa juga diajarkan mengenali bentuk, memahami ruang, memahami luas dan volume. Bagaimana dengan pengalaman Anda? Tidak pernah kan ketika sekolah dulu mendapat pelajaran seperti ini?

"Nah, biarkanlah anak dan siswa mencoba, eksplorasi, kreatif," saran Iwan. Jika anak dibiarkan mencari sendiri, nanti mereka akan bisa menemukan sendiri ternyata mengalikan dengan jumlah ratusan itu, jauh lebih lama dibandingkan dengan mengalikan dari belakang. "Tring!" (bayangkan gambar lampu menyala ada di atas kepala anak Anda). Anak akhirnya tahu cara yang paling efektif untuk menyelesaikan soal yang dihadapinya. Cara-cara seperti ini, tidak perlu dilakukan guru. Tapi biarkan anak-anak yang menemukannya sendiri. Explore and discover!

Matematika, pada dasarnya adalah bernalar, reasoning. Jadi, kuncinya bukan pada menghafal sejumlah rumus. Iwan mengimbuhi, “Rumus itu sebaiknya ditemukan, karena matematika juga berdasar pada pengenalan pola-pola.” Semakin lama menyimak penjelasan Iwan ini, kebanyakan orangtua larut dalam pikirannya sendiri. "Coba kalau anak saya nanti belajar dengan cara menyenangkan seperti ini. Pasti bakal mengalahkan bapaknya," begitu harapan mereka.

Matematika dari Tuhan vs Bikinan Manusia
Seorang ibu mengacungkan tangannya, "Bagaimana cara kita mengajarkan bilangan bulat yang relatif tidak logis?" Rupanya ia juga seorang guru. "Tidak logis apanya Bu," Iwan mencoba menelisik. "Begini Pak, saya sering kesulitan mengajarkan bilangan bulat negatif. Contohnya, negatif 2. Tidak logisnya adalah saat ia dikalikan dengan saudara yang juga negatif, tiba-tiba ia berubah positif. Kan kalau kita pakai logika berhutang misalnya, jadi tidak logis Pak. Masak hutang 3 dikali hutang 3, malah jadi punya penghasilan berjumlah 9?" Peserta lain manggut-manggut, seakan mengamini pemikiran Ibu guru tersebut.

Di bagian ini Iwan menjelaskan semacam doktrin teologis. “Memang benar Bu. Konon katanya bilangan yang asli dari Tuhan itu hanya 1 sampai dengan 9. Selebihnya adalah buatan manusia. 0 buatan manusia, -2, -3, buatan manusia, 1/4/ 1/5 buatan manusia juga. Jadi yang betul-betul asli itu memang dari 1 sampai dengan 9.”

Iwan meneruskan, "Pertanyaan yang ibu sampaikan tadi merupakan salah satu contoh pengajaran matematika yang tidak berdasar pada realitas. Seringkali kita mencekoki siswa dengan hal-hal yang abstrak, tidak nyata. Akibatnya siswa kesulitan memahami matematika yang sepertinya melangit, mengawang-awang! Tapi bukan berarti bilangan bulat negatif dan sebagainya tidak berguna lho Bu! Banyak untungnya juga lho bilangan-bilangan ciptaan manusia.”

Untuk lebih membuat peserta faham, Iwan memberikan contoh. Jika ada orang membeli barang seharga Rp 750,00 dan ia menyodorkan uang lima ribuan, maka berapakah kembaliannya?" Hampir seluruh isi ruangan dengan cepat dan seperti berlomba berteriak, “Empat ribu dua ratus lima puluh!” Iwan tersenyum mendengarnya dan meneruskan, “Tentu semua bisa cepat menjawab, tapi pertanyaannya belum selesai. “Apa yang biasa dilakukan pedagang saat menyerahkan uang kembaliannya kepada pembeli? Apakah dengan membuat coretan seperti ini?”
...5000
.....750_
...4250

“Ternyata tidak! Apa yang dilakukan pedagang biasanya menggenapkan uang 750 dengan 250 rupiah, lalu menambahkan uang ribuan satu persatu: ...dua ribu, tiga ribu, empat ribu, lima ribu. Lengkap sudah!” Sebagian wajah peserta tampak terperangah, seperti mulai mengerti arah penjelasan dosen yang kerap menulis di Jurnal Matematika di Jepang ini. Lalu ia mengingatkan, “Bu, Pak, mohon maaf, tapi cara-cara pengembalian uang seperti pedagang ini jarang kita ajarkan kepada anak-anak kan? Yang kita ajarkan selalu membuat coretan dengan mengurangi bilangan yang besar dulu, kemudian bilangan yang kecil.” Kini peserta seperti baru saja dicemplungkan ke dalam kolam dingin. Tersadar, mereka pun berkali-kali manggut-manggut. "Benar juga ya," di sana-sini terdengar gumaman.

Lalu, sebelum menutup perjumpaan, Iwan yang umurnya berkepala empat ini lagi-lagi memberi amaran. “Yang ingin saya sampaikan adalah mari kita mulai mengenalkan matematika dengan fun, asyik. Selama ini kita terlalu serius mengajarkannya. Mengajarkan sekian banyak rumus yang tidak pernah dicari tahu dari mana datangnya, mengenalkan sekian banyak hitungan tanpa menggali bahwa matematika itu sebetulnya berkaitan dengan kreativitas. Pengenalan pola-pola!” DB


Ari Legowo, Dosen Mechanical Engineering di International Islamic University Malaysia (IIUM), ayah satu putri (Amaliyah Miyazono Legowo).
“Bikin puisi juga perlu matematika”

Menurut dosen IIUM ini, matematika penting untuk semua disiplin ilmu. “Semuanya menggunakan matematika dan turunannya, baik itu logika, aritmatika, aljabar, geometri, kalkulus; walaupun memang kadarnya berbeda. Kalau ekonomi paling banyak menggunakan aritmatik dan logika saja, ilmu hukum menggunakan unsur logika dan aritmatika sederhana, kedokteran menggunakan statistik, logika, sampai ilmu seni juga menggunakan geometri dan logika. bikin puisi juga perlu matematika lho,” urainya panjang lebar.

Sebagai orangtua yang memiliki latar belakang pendidikan eksata, Ari sadar betul bahwa matematika sangat penting untuk semua aspek kehidupan. “Saya sudah mengajarkan matematika pada Lea sejak dini, saat dia sudah bisa diajak berkomunikasi kira-kira menjelang 1 tahun,” akunya.

Pertama kali Ari memberikan putrinya mainan berupa balok dari kayu yang bisa disusun. “Saya takjub melihat imajinasi Lea, dia menyusun balok-balok itu jadi berbagai bentuk sesuai dengan apa saja yang pernah dilihatnya sehari-hari. Dia juga bisa menceritakan balok-balok yang sudah disusun,” terangnya.

Ari juga mengakui, “Kadang Lea lebih cepat menangkap masalah matematika setelah diajar guru di sekolah, mungkin karena ada unsur persaingan dengan teman ya, jadi dia merasa harus bisa seperti teman-temannya di sekolah atau mungkin lebih takut sama guru, he he he...,” gelak ahli aeronautika ini. DB

TIPS dari Dr. Ari Legowo untuk orangtua dalam mengajar matematika kepada anak-anak:
• Pacu anak dengan membacakan cerita yang memiliki banyak unsur science, cerita yang melibatkan bentuk-bentuk yang mudah diingat anak, atau tebak-tebakan angka.
• Jangan memaksakan anak untuk cepat menguasai matematika, kalau anak kurang menyukai matematika. Cobalah menyamarkan dengan bercerita tentang logika, dan hitungan. DB

Sumber Penulisan:
- Dr. Iwan Pranoto, Departemen Matematika, Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesha 10, Bandung 40132. E-mail: pranoto@dns.math.itb.ac.id.
- Dr. Arilegowo, Department of Mechanical Engineering, International Islamic University Malaysia.

Tuesday 22 March 2011

SEKUINTAL DOA

SEKUINTAL DOA

Batuk, entah keberapa ratus, muntah kembali dari lelaki kurus itu. Suaranya yang kering dengan cepat memantul dari satu dinding ke dinding lainnya dan menghunjam ke dada semua penghuninya. Istri dan ketiga anaknya hanya bisa menatap kosong ke arah tulang-tulang iga yang turun naik dengan amat cepat itu. Desis nafasnya bagai peluit yang ditiup pelan-pelan.

Sang istri beringsut ke dapur – atau lebih tepatnya, satu-satunya ruangan yang mereka miliki di rumah itu yang juga menjadi kamar tidur mereka berlima dan kamar bermain anak-anak. Walau sudah tahu, ia tetap membuka kaleng-kaleng bekas yang tadinya menjadi wadah beras, gula, garam dan bumbu-bumbu. Ia tetap berharap salah satu wadah itu, terutama wadah beras, masih menyisakan beberapa butir agar ia bisa menanak nasi, yang siapa tahu bisa mengurangi derita suaminya, dan anak-anak. Kosong. Hanya udara berbau lapuk yang menguar.

Hujan membuat udara di ruangan itu makin lembab. Anak sulungnya, perempuan, telah berdiri di sampingnya. Ia membisikkan sesuatu. Sang ibu terdiam. Ia tak setuju tetapi apa lagi yang bisa dilakukannya?

Pintu berkeriut ketika anak perempuan itu menerobos hujan. Ia melompati got yang walau kini tampak penuh dengan air hujan, ia tahu kalau di bawahnya menggumpal lumpur yang berkerak. Ia mendengar suara-suara dari televisi di rumah tetangga. Ia menengok ke atas, ke arah kamar benderang di lantai dua rumah besar itu. Ia tersenyum membayangkan kehangatannya. Ia kembali berlari.

Beberapa warung kecil dilewatinya. Ia sudah beberapa kali ke sana. Ada yang masih buka, dan yang lain telah tutup, mungkin karena hujan. Mungkin juga karena toko yang hendak ditujunya.
Toko itu tampak ramai. Ia tahu kira-kira apa jawaban yang akan diterimanya, namun ia harus mencobanya, demi ayah dan adik-adiknya; juga untuk ibu yang selalu mengelus-elus rambutnya yang panjang jika ia mengatakan kalau ia lapar sampai akhirnya ia tertidur.

Badannya yang basah kuyup membuat baju dan rambutnya menempel lekat. Orang-orang memandanginya. Walau ia sudah berusaha membuang sisa-sisa air hujan sebelum masuk, namun tak ayal lantai supermarket itu basah juga. Ia memandangi rak-rak yang penuh dengan makanan. Dilihatnya pula lemari pendingin yang penuh dengan susu kemasan. Kerongkongannya bergerak, ia menelan ludah membayangkan kedua adiknya meminumnya dengan rakus.

Ia berjalan pelahan menuju meja kasir. Kasir berteriak memintanya keluar. Karyawan lain mendekat, ikut memarahi gadis kecil yang hanya membuat kotor toko mereka. Pelanggan-pelanggan lain menoleh, berusaha mencari tahu apa yang telah mengganggu kenikmatan berbelanja mereka.
Dari sebuah pintu, muncul seorang lelaki tanpa seragam yang segera berdiri di belakang mesin kas. Agaknya, ia pemilik toko ini, orang yang mengeluarkan uang untuk mendapat waralaba. “Ada apa?” tanyanya tajam, walau ia bisa menduga apa yang bakal keluar dari mulut gadis ini.

“Ayah saya sakit keras, sudah dua bulan ini tidak bisa bekerja. Adik-adik saya sudah beberapa hari tidak makan. Bolehkah saya berhutang? Nanti kalau gaji saya sebagai tukang cuci sudah diberi, saya akan langsung bayar hutang saya,” suaranya gemetar, lebih karena rasa takut daripada kedinginan.

“Disini tidak bisa berhutang tahu! Ini bukan warung. Sana pulang, pinjam saja kepada saudara kalian!” tolaknya sambil menuding pintu keluar. Namun gadis itu hanya diam terpaku, karena tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya.

Si pemilik toko hendak berteriak kembali, namun suara bariton seorang lelaki paruh baya menghentikannya. “Biarkan saja pak. Saya yang akan membayar apa yang dibutuhkan anak perempuan ini,” suaranya yang berwibawa membuat pemilik toko hanya bisa merunduk melihat tombol-tombol mesin kas.

Namun, mendadak satu pikiran menggerayangi otaknya, dan ia tak mau menyerah. Ia tak mau dipermalukan. “Tak usah pak. Biar saya saja yang menanggung belanjaannya,” ia membalas dengan tersenyum kecut penuh arti. Gadis itu seperti tak percaya mendengarnya, ia masih berdiri kaku di tempatnya semula.

“Baiklah, apa kamu membawa daftar belanjaan?” si pemilik toko bertanya, ketika Bapak tua itu mendekat. “Letakkan daftar belanjaanmu di timbangan ini. Aku akan memberimu barang apa saja, gratis, sesuai dengan berat daftar belanjaanmu.” Pria yang kini telah berdiri dekat meja kasir itu terhenyak mendengar akal-akalan si pemilik toko ini. Ia berusaha mengendalikan amarahnya. Sementara, para karyawan dan pengunjung toko lainnya telah berkerumun dekat meja kasir.

Gadis itu merogoh kantung roknya, dan mengeluarkan secarik kertas yang kini lengket karena basah. Digenggamnya erat-erat, berjalan mendekat, lalu dengan hati-hati, seakan tak mau melepasnya, ia meletakkan gumpalan kertas itu di tatakan timbangan. Belasan pasang mata tak percaya akan pandangan mereka: timbangan itu berbunyi keras karena menghantam dasar.

Rasa malu, marah, dan keakuan bercampur aduk di dalam hati pemilik toko. “Jangan diam saja, sana ambil barang yang kau perlukan,” teriaknya kepada gadis itu, dan kepada salah seorang karyawan yang berada di dekatnya, “Bantu anak itu!”

Gadis itu mengambil beberapa bungkus mie instan dan meletakkannya di timbangan, namun timbangan itu seperti tak banyak bergerak. Ia kini setengah berlari, mengambil sebungkus susu. Timbangan itu mulai bergerak, namun masih belum seimbang. Ia berlari mengambil gula, seakan takut waktu akan membuat timbangan itu berubah sendiri, tetapi lagi-lagi masih belum seimbang. Diambilnya garam, bumbu-bumbu dapur, dua botol saos sambal, beberapa bungkus jahe instan, dan kue-kue kering, tetapi tetap saja timbangan itu belum seimbang. Akhirnya ia berlari ke ujung rak dan berdiri sejenak, meragukan pikirannya sendiri, namun akhirnya ia membungkuk berusaha mengangkat kantung beras yang bertuliskan Rojolele 20 kg. Kedua tangannya yang kurus tak sanggup mengangkatnya. Pelayan toko memegang tangannya, mereka berpandangan dan gadis itu tersenyum. Rasa sejuk mengalir ke sekujur tubuh pelayan toko itu. Ia mengangkat karung beras itu sambil tersenyum, berjalan ke arah timbangan dengan diikuti semua mata yang ada di toko itu.

Waktu seakan berhenti ketika pemuda itu meletakkan karung itu. Seperti adegan superlambat di dalam film the Matrix. Mikrodetik demi mikrodetik berjalan... pelahan-lahan timbangan itu bergerak dan akhirnya berhenti... seimbang persis.

Keheningan terus menggantung. Bahkan bunyi rinai hujan di atap toko dan lalu lalang angkutan kota di depan toko seperti teredam. Orang-orang berusaha keras menahan keluarnya nafas mereka, seakan takut suaranya akan memecah kesunyian ini.

Seperti robot, pemilik toko itu akhirnya memasukkan sendiri semua barang itu ke dalam tas plastik. Suara kemereseknya membangunkan semua orang, namun mereka tetap tak beranjak dari tempat berdiri masing-masing. Diserahkannya dua tas plastik itu ke pelayannya yang kemudian membantu gadis yang hatinya berbunga-bunga itu keluar dari toko. Hujan masih mengguyur tetapi gadis itu berjalan menembusnya dengan tertatih-tatih karena kedua lengannya penuh beban. Dari mulutnya terdengar senandung pujian.

Sementara di dalam toko, orang-orang kembali berpencar, kembali sibuk berbelanja seakan-akan tak terjadi apa-apa. Hanya pak Tua itu yang masih berdiri di depan meja kasir. Si pemilik toko masih tak percaya akan apa yang dialaminya. Tangannya yang gendut mengambil gumpalan kertas itu dan berusaha membukanya. Mulutnya membacanya pelan-pelan tapi cukup terdengar oleh pak Tua, “Tuhan, hanya Engkau yang bisa menolong kami.” Dono Baswardono

PS: Jangan pernah meremehkan kekuatan doa. Hanya Tuhan yang tahu seberapa berat doa kita.

Kerokan: Bolehkah Untuk Anak-anak?

Untuk Menyembuhkan Masuk Angin, Jangan Kerok Anak Anda!

Saya mempunyai putra yang saat ini baru berumur satu tahun. Pernah suatu kali dia mengalami masuk angin. Saat itu juga langsung saya berikan dia campuran minyak kayu putih dengan irisan bawang merah. Lalu saya oleskan di punggungnya. Ibu saya sih menyarankan untuk mengeriknya dengan bawang. Tapi saya tidak mau. Karena saya takut pori-porinya melebar dan semakin sering masuk angin. Yang ingin saya tanyakan, bolehkah anak-anak dikerok? Apakah benar ada hubungannya dengan pori-pori yang melebar dengan seringnya masuk angin? Kalau dalam kedokteran apakah istilah masuk angin itu? Apakah ada efeknya jika terlalu banyak memberikan minyak telon pada bayi? Bagaimana halnya dengan minyak kayu putih? Terima kasih.

Jawab: Sebenarnya, istilah awam masuk angin itu kalau dalam istilah kedokteran adalah common cold. Kadang-kadang orang menyebutnya dengan sakit flu. Pada dasarnya common cold ini adalah penyakit yang 2-3 hari hilang dengan sendirinya. Tapi memang semua itu bergantung pada daya tahan tubuh seseorang. Seperti putra Ibu misalnya. Bisa jadi dia terkena common cold.
Penyakit ini disebabkan oleh virus. Pada umumnya penyakit ini mempunyai gejala seperti demam. Demam di sini bisa dengan suhu yang sedang saja (hangat), atau demam tinggi. Gejala lainnya seperti nyeri kepala, nafsu makan menurun (anorexia), mual, muntah, kembung, kadang disertai dengan diare atau susah buang air besar (konstipasi). Dan biasanya anak-anak itu mengalami gejala seperti kembung dan muntah.

Cara yang ibu lakukan (mengolesi minyak kayu putih dicampur dengan bawang) itu sebenarnya merupakan pengobatan tradisional yang sudah turun temurun dilakukan oleh para orang tua. Dan itu masih diperbolehkan dalam ilmu kedokteran.

Tapi sangat tidak disarankan jika si kecil terserang common cold atau yang lebih dikenal masuk angin, ibu mengobatinya dengan cara mengerik tubuhnya. Karena tujuan utama dari pengobatan tradisional itu adalah menghangatkan. Tapi, kalau usaha menghangatkan itu dilakukan dengan cara dikerok, maka akan terjadi kerusakan pada kulit anak. Selain itu si kecil pasti akan menjadi trauma. Karena kulitnya sudah merasa disakiti.

Mengenai apakah ada kaitannya antara sering dikerok dengan seringnya masuk angin, tentu tidak ada. Memang, seseorang yang dikerok pori-porinya akan semakin melebar, tapi tidak betul kalau itu yang menyebabkan seseorang akan sering menderita common cold. Karena proses infeksi influeza atau common cold berasal dari udara. Begitu juga cara penularannya.

Jadi kalau ada orang yang sedang flu, dan kondisi kita sedang lemah, bukan tidak mungkin kita akan cepat tertular. Begitu pula dengan buah hati Ibu.

Biasanya, common cold ini bisa hilang sendiri dalam waktu singkat. Tapi kalau kondisi tubuh anak tidak dalam keadaan fit, maka bisa berlanjut menjadi batuk-pilek.

Cara menanggulangi anak-anak yang terkena common cold bisa dilakukan dengan cara mengoleskan campuran minyak telon atau minyak kayu putih yang diberi irisan bawang. Campuran minyak ini dioleskan pada punggung, perut atau ubun-ubun kepala si kecil. Selain itu anak yang terserang sakit “masuk angin” ini harus istirahat cukup, banyak tidur, makan makanan yang bergizi, dan tidak lupa mengonsumsi vitamin C. Misalnya saja dari buah-buahan jeruk, jambu biji, dan mangga. Ini semua bertujuan untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya. Sehingga kalau dia terserang penyakit serupa, tubuhnya mampu menyembuhkan dirinya sendiri. DB

Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D
Untuk konsultasi, permintaan seminar-training, dan mengikuti "Aura-Graphology Psychodiagnostics," hubungi Intan di 0813-1641-0088

.

AURA – GRAPHOLOGY PSYCHODIAGNOSTICS

AURA – GRAPHOLOGY PSYCHODIAGNOSTICS

Apa sih aura itu?
Aura adalah gelombang elektro-magnetik. Dari bayi di dalam kandungan sampai manula yang mau meninggal, semua memancarkan gelombang ini; mulai dari infra merah sampai ultra violet. Gelombang mikro berfrekuensi rendah dan merah infra (panas tubuh) berhubungan dengan fungsi jasmaniah (struktur DNA, metabolisma, sirkulasi, dsb) sedangkan yang berfrekuensi tinggi terkait dengan aktivitas kesadaran kita, seperti berfikir, kreativitas, niat, dan emosi. Nah, bagian terakhir ini paling penting dan bisa dilihat dengan mata telanjang oleh siapa saja.

Bagaimana cara melihat aura?
Bisa dengan kamera Kirlian (buatan Rusia, berukuran besar, seperti mesin MRI, dan HANYA ada delapan (8) di dunia, yang semuanya berada di Eropa) atau dengan mata telanjang oleh siapa saja yang berlatih (yaitu mendalami ilmu psikologi dan/atau kedokteran dan mengambil sub-spesialisasi psikologi/kedokteran aura).

Umur berapa bisa dilihat auranya?
Sejak bayi masih di dalam kandungan, mulai trimester tiga. Jadi, mulai nol tahun, bayi, batita, balita, anak-anak, remaja, dewasa, sampai manula.

Bagaimana cara interpretasi aura?
Metoda interpretasi psikologi yang ilmiah didasarkan pada teori-teori ‘Psikologi Dalam’ (Depth Psychology) seperti psikoanalisis. Jadi, interpreter aura harus seorang psikolog dan/atau psikiater.

Bisa mengetahui apa saja?
Banyak sekali informasi yang bisa didapat dari interpretasi aura; antara lain: belahan otak yang dominan; tingkat intelijensi (IQ) dan komponen-komponennya; pola belajar dan bekerja yang sesuai; seluruh peta bakat (bakat komunikasi/bahasa, kreatif-artistik ataukah bakat logika-teknik, sampai bakat kewirausahaan), komponen bakat yang lebih menonjol (yang aktif atau yang reseptif); kecerdasan emosional (EQ) yaitu kemampuan memahami perasaan sendiri dan berempati; tinggi-rendahnya kecerdasan mentalnya (MQ - kemampuan fokus, konsentrasi, daya tahan terhadap stres, dll); rasa percaya diri; pola motivasinya (apakah menaik, menurun, atau naik-turun); pola hubungan sosial; intuisi; karakter dan kepribadian (bahkan untuk mendiagnosis gangguan kepribadian, gangguan belajar, dll); bakat kepemimpinan (leadership), pola kerjasama, juga kebugaran, kesehatan dan gangguan/penyakit.

Apakah aura tiap orang berbeda?
Ya, tiap orang itu manusia unik, tidak satu pun yang sama.

Apakah aura seseorang bisa berubah?
Susunan warna pada cakra kedua tidak berubah; sejak masih di 7 bulan di kandungan sampai sesaat sebelum meninggal. Yang bisa berubah adalah ‘warna situasional, ’ lebar-sempitnya tiap warna, dan intensitas warnanya (muda-tua/terang-gelap).

Apa itu Graphology dan Doodle Test?
Keduanya adalah alat ukur psikologi yang sangat akurat untuk memetakan kepribadian balita yang belum bisa menulis (doodle test) dan anak/orang yang bisa menulis (graphology).

Untuk mengikuti AURA-GRAPHOLOGY PSYCHODIAGNOSTICS yang dilakukan oleh Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D, hubungi Intan di 0813-1641-0088 dan ikuti artikel-artikel tentang parenting melalui facebook: dono baswardono.

JADWAL AURA-GRAPHOLOGY PSYCHODIAGNOSTICS


YOGYA, Jumat-Sabtu, 25-26 Maret 2011. Di Cafe Dixie, Gejayan.
SEMARANG, Minggu 27 Maret 2011. Di lobby Hotel Amaris.
JAKARTA, Minggu 3 April 2011, Sabtu-Minggu 9-10 April 2011.
BANDUNG, Sabtu-Minggu 16-17 April 2011, di Warung Pasta, Jl. Ganesha.
SURABAYA, Jumat-Sabtu 22-23 April 2011, di Resto Kemiri 4.
MALANG, Minggu 24 April 2011, di lobby Hotel Trio 2.
PENDAFTARAN: Hubungi Intan di 0813-1641-0088.

Wednesday 16 March 2011

Anak-anak pun Bisa Celaka dan Sakit Gara-gara Mainan Beracun

Anak-anak pun Bisa Celaka dan Sakit Gara-gara Mainan Beracun
Pilihlah Mainan yang Aman, Sehat dan Mencerdaskan

Pada tiap tahap perkembangan, anak-anak menghadapi tantangan-tantangan baru dan risiko yang berbeda-beda. Dengan menyadari beragam bahaya yang terkait dengan mainan pada tiap tahap perkembangan, kita sebagai orangtua akan bisa melindungi anak-anak dengan lebih baik, sekaligus menjamin mereka bisa bermain dengan menyenangkan dan aman.

Paling tidak seperempat juta anak dirawat karena kecelakaan di rumah-rumah sakit di setiap tahun. Dan tragisnya, sekitar seribu anak meninggal akibat kecelakaan – lebih dari sebab lainnya.

Merek Amerika dan Eropa tapi Bikinan Cina dan Vietnam
Kebanyakan mainan merek ternama berasal dari Amerika dan Eropa. (Mainan berbau teknologi ada juga yang asal Jepang.) Namun pabrik pembuatnya tidak ada yang bercokol di kedua benua itu. Kebanyakan dibuat di Cina, Vietnam dan negara-negara lain yang gaji buruhnya murah.

Nah, mainan-mainan yang belakangan ini kerap ditarik dari peredaran itu kebanyakan dipabrikasi di Cina. Ini terjadi karena standar keamanan yang ditetapkan di Eropa dan Amerika jauh lebih tinggi dibandingkan Cina maupun, Indonesia misalnya. Boleh jadi, jika mengikuti standar Indonesia, tidak satu pun mainan itu yang perlu ditarik dari pasar. Dianggap aman saja untuk dipakai anak-anak.

Dengan demikian, semuanya terpulang kembali kepada keputusan orangtua: apakah akan mencegah terjadinya penyakit dan kecelakaan pada anak-anaknya akibat mainan yang sesungguhnya beracun dan berisiko atau menyerah dan menunggu tindakan pemerintah yang selama ini toh nyaris tak peduli pada kesejahteraan anak-anak.

Mengapa Mainan yang Mengandung Timbal Berbahaya?

Mainan yang ditarik dari peredaran sejak beberapa bulan ini adalah karena tingginya kadar timbal di cat permukaannya. Timbal sangat berbahaya bagi kesehatan anak-anak.

Mainan Berbahaya – Daftar Tindakan
.
Mainan berbahaya ada di mana-mana. Jutaan mainan berbahaya ditarik karena beragam alasan. Penyebab paling jamak adalah magnit, kadar timbal terlalu tinggi, dan bagian-bagian kecil mainan yang gampang lepas. Kalau Anda khawatir akan mainan berbahaya di rumah Anda, daftar singkat di hal 10-11 bisa Anda lakukan untuk mencegahnya.

Aman di Taman Bermain.
Amankan anak Anda dengan mengikuti Tip Keamanan Dasar di Taman Bermain ini. Apakah anak Anda punya beberapa alat bermain sendiri di halaman rumah atau anak Anda bermain di taman bermain umum, pastikan keamanan tempat bermain itu dan pelihara keamanan itu untuk menghindari kecelakaan yang tak perlu. Ikuti tip keamanan ini saat memasang alat-alat permainan di rumah.

Bermain Aman di Halaman
Tahukah Anda ada banyak risiko bahaya di halaman Anda sendiri yang bisa membuat anak Anda celaka? Sangat penting menerapkan batasan-batasan keamanan bagi anak-anak ketika mereka bermain di luar rumah. Ikuti tip di halaman 10 – 11 ini.

Mainan Organik.
Mainan organik semakin populer. Orangtua yang peduli pada masalah seperti modifikasi genetik, pestisida, antibiotika dalam makanan, pemanasan global dan semacamnya, biasanya akan merasa lebih nyaman dan tenang jika bayi dan anak-anaknya bermain dengan mainan organik.

Sama seperti makanan organik, mainan organik dibuat dari bahan-bahan yang seratus persen alamiah. Mainan ini umumnya mengandung kapas organik seratus persen, kayu organik seratus persen, dan serba ‘seratus persen’ lainnya.

Mainan Bersahabat dengan Lingkungan
.
Bukan hanya aman, kini juga ngetren mainan yang ramah lingkungan. Mainan akrab lingkungan ini terbuat dari bahan-bahan aman dan alamiah yang tidak merusak alam. ‘Mainan hijau’ – begitu sebutannya – sebenarnya tidak sulit ditemukan. Sudah cukup banyak perusahaan di seluruh dunia yang mulai memroduksi mainan hijau ini. DB


Yang Bagus Untuk Balita, Tak Cocok Untuk Bayi
Tidak semua mainan cocok untuk umur berapa pun. Kebanyakan mainan hanya sesuai untuk tahap perkembangan tertentu.

Mainan Kakak Bukan Untuk Bayi.
Bayi yang sedang menjelajah suka sekali memasukkan apa saja ke dalam mulutnya. Mereka berisiko menelan sesuatu, termasuk mainan, dan tersedak. Tidak sedikit bayi yang tersedak ketika bermain ‘kerincingan’ atau mainan ‘pencet-pencetan.’ Kunci pencegahannya adalah pengawasan orangtua. Mainan yang ditujukan untuk anak-anak yang sudah lebih besar, utamanya mainan yang bagian-bagiannya berukuran kecil, harus dijauhkan dari bayi dan anak-anak yang masih kecil.

Belajar Merangkak.
Ketika bayi belajar merangkak atau berjalan, kotak atau keranjang mainan bisa menjadi penghalang yang sangat berbahaya. Begitu pula dengan mainan yang berserakan di lantai. Termasuk bola-bola kecil. Lebih baik singkirkan segala mainan, bahkan perabotan, pada saat ia hendak berjalan tertatih-tatih atau merangkak.

Sepeda Bukan untuk Anak Baduta.
Sepeda roda tiga dan mainan-mainan lain yang dikendarai sangat berbahaya bagi anak-anak usia baduta. Mengapa? Karena kecakapan koordinasi motorik mereka belum berkembang sempurna. Tak urung, banyak anak kecil yang mengalami luka dan lecet ketika ermain sepeda. Pilihlah mainan yang sesuai dengan usia perkembangan anak-anak dan pastikan mereka bersepda di tempat-tempat yang aman.

Jangan Bermain Tembak-tembakan.
Mainan-mainan berpeluru dan mainan lain yang bagian-bagiannya bisa terbang sangat menarik bagi anak usia sekolah. Padahal mainan itu bisa menyebabkan beragam luka, khususnya cacat pada mata. Kalau Anda membolehkan anak-anak bermain dengan pistol-pistolan, panah-panahan, ketapel, dan semacamnya, selalu dampingi dan awasi mereka. Dan tegaskan kepada anak-anak agar tidak pernah sekali pun mengarahkan projektilnya kepada siapa pun.

Balon Bisa Menyedak

.
Balon memang bisa membuat gembira siapa saja. Tetapi balon juga mengandung risiko tersedak terbesar untuk anak-anak usia berapa pun. Karena itu, jangan biarkan anak-anak meniup sendiri balonnya. Anda atau orang dewasa lainnya yang harus meniup. Lebih baik lagi kalau pakai pompa udara saja.

Kalau balonnya pecah, jangan pernah membolehkan mereka bermain dengan potongan-potongannya. Apalagi mengunyah-ngunyahnya. Jangan pula meminta mereka untuk membuat balon-balon super kecil dengan cara menyedot potongan-potongan balon pecah itu. Satu lagi, jangan bolehkan mereka menggigit-gigit balon – baik yang pecah maupun yang masih padat berisi udara. DB


Sebelum dan Setelah Membeli Mainan: Agar Anak Selalu Aman

Sekeranjang Pencegahan
.
Sebelum Anda membeli sebuah mainan untuk anak Anda, periksalah apakah mainan itu sesuai bagi usia anak Anda, dan apakah cukup aman bagi mutiara kecil Anda. Ada empat petunjuk yang bisa Anda ikuti untuk membeli mainan yang tepat dan aman bagi anak Anda.
• Gunakan dan perhatikan betul-betul label “recommeded age” sebagai pedoman. Biasanya berupa angka yang ditulis besar dan tebal, seperti “3+” yang artinya cocok untuk anak berumur tiga tahun atau lebih. Itu juga berarti, tidak cocok dan bisa berbahaya untuk anak-anak yang umurnya belum tiga tahun. Belilah mainan yang benar-benar sesuai dengan usia anak Anda.
• Hindari mainan apa saja yang ujung-ujung tajam, runcing dan lancip.
• Jika membeli boneka (manusia, hewan), periksalah mata, hidung, ekor, kaki dan tangannya. Apakah ada bagian yang kasar dan keras? Apakah cukup kencang sehingga tidak bisa ditarik lepas oleh anak-anak?
• Jika membeli mainan yang ukurannya agak besar, pastikan pula bahwa bagian-bagiannya tidak berukuran terlalu kecil; misalnya roda-roda mobil.
Setelah Membeli.
Pencegahan bukan hanya pada saat sebelum membeli. Setelah mainan dibeli dan sebelum diserahkan kepada anak Anda, lakukan beberapa langkah pencegahan:
• baca baik-baik pesan-pesan di kemasan mainan dan ikuti semua instruksinya;
• buang semua kemasan mainan, seperti plastik, selofen dan styrofoam;
• ajari anak Anda untuk memakai mainan secara selayaknya;
• buang mainan rusak yang tidak dapat diperbaiki;
• pastikan baterai dalam mainan dipasang dengan tepat;
• jangan bolehkan anak Anda tidur sambil membawa mainan yang dijalankan dengan tenaga baterai atau listrik;
• awasi anak-anak yang tengah bermain dengan balon dan buang pecahan-pecahan balon yang meletus;
• buang mainan-mainan yang dipasang di samping dan digantung di atas ranjang bayi begitu bayi Anda mulai bisa menekan dengan tangan dan kakinya;
• periksa mainan-mainan anak Anda secara berkala. DB

Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D
Untuk konsultasi dan permintaan seminar-workshop, hubungi Intan di 0813-1641-0088.

Gunakan Produk Health and Care Baby Setelah Usia Bayi Di Atas Enam Bulan

Gunakan Produk Health and Care Baby Setelah Usia Bayi Di Atas Enam Bulan
Gel Rambut Akibatkan Ketombe Berat Pada Anak

Maraknya aneka produk health and care baby membuat para ibu senang membeli dan menggunakan untuk anak-anaknya. Mulai dari bedak, baby cream, cologne, baby lotion hingga hair lotion dipakaikan ke anak. Wangi tentu saja. Ternyata, menurut para dokter, sesungguhnya bayi belum membutuhkan hal tersebut. Lantas bagaimana penggunaan produk health and care baby yang benar?

Sejak usia 0 bulan bayi sudah dipercantik dengan berbagai produk health and care oleh orangtuanya. Mulai dari sabun mandi bayi, syampo bayi, krim bayi, cologne bayi, pelembab bayi, krim rambut bayi bahkan hingga gel rambut untuk menambah penampilan bayi terlihat menarik pun dipakaikan. Dan tentu saja si bayi belum bisa menolaknya.

Padahal, bayi usia 0-6 bulan belum membutuhkan produk health and care. Sebab, bayi sebenarnya belum menguarkan bau tak sedap. Bahkan, bayi memiliki bau khas sendiri yang menurut Midi lebih enak mencium wangi khas bayi. Lebih alami dan enak.

Sayangnya, banyak orangtua yang lebih senang mewangikan tubuh dan merawat tubuh bayi dengan berbagai produk health and care. Bahkan, sering kali para ibu tidak melihat apakah memang si bayi sudah membutuhkan atau belum untuk dipakaikan semisal, krim bayi, cologne hingga krim rambut.

Bayi Hebat
Bayi usia 0-6 bulan sebenarnya belum membutuhkan produk health and care. Ya, karena bayi di usia tersebut mendapat konsumsi makanan hanya dari ASI ibunya saja. Belum mengenal makanan dari luar, dan itu membuat bau tubuh bayi masih khas.
Selain itu juga, bayi sangat hebat. Sebab, bayi bisa mengatur kelembaban kulitnya sendiri secara otomatis. Orangtua hanya tinggal menjaga kebersihan saja dengan, antara lain, tidak memandikan berlama-lama, memakai sabun sesuai pH bayi (sabun bayi). Jadi belum perlu banyak memakai beragam produk health and care baby.

Lipatan Kulit.
Setelah anak di atas usia enam bulan dan mulai mendapat makanan selain ASI, orangtua boleh saja memberikan produk health and care. Tetapi itu pun terbatas dan harus memperhatikan cara pemakaiannya. Pemilihan produk health and care harus disesuaikan dengan kebutuhan si bayi atau anak.

Contohnya, untuk melembabkan kulit yang kering, bisa dipakai krim bayi. Sebab, permukaan kulit bayi memang lebih lebar dan besar dibandingkan kulit orang dewasa, sehingga mudah kering. Karena itu, perlu diberikan krim yang bisa melembabkan.
Krim bayi untuk mengatasi kulit kering atau, kulit bayi yang sering mengalami gesekan di area lipatan kulit bayi. Biasanya pada anak yang masih sering memakai diapers.

Bedaki dengan Spons Padat.
Untuk pemakaian bedak, boleh saja. Hanya saja, banyak para ibu yang enggan memakai bedak karena salah cara membedaki anaknya. Pada umumnya, bedak tabur yang dipakai dibubuhi ke seluruh tubuh anak dengan memakai spons besar dengan model bulu-bulu banyak dan besar. Dan itu yang membuat taburan bedak terbang ke mana-mana dan membuat anak batuk.

Kadang orangtua juga keliru dalam cara membedaki anak. Misalnya, di area kemaluan dibedaki dengan cara sembarangan, pok... pok... pok. Bedak dibubuhi banyak. Padahal serbuk bedak bisa masuk ke alat kelamin anak.

Tips agar dalam membedaki anak-anak, memakai spons padat (tanpa bulu-bulu) seperti yang biasa dipakai para wanita untuk berias. Sebab, dengan memakai spons padat, serpihan bedak tidak akan terbang. Tak hanya itu saja, ia juga mengingatkan bagian tubuh yang dibedaki tak perlu hingga alat kelamin si anak. Cukup tubuhnya saja dan ketiak.

Jangan Beri Losyen Rambut dan Pengharum Tubuh
Sedangkan untuk cologne dan hair lotion, sebenarnya belum dibutuhkan anak. Apalagi kebanyakan cologne dan hair lotion, wangi dan berwarna. Justru pewangi dan pelarut tersebut yang membahayakan.
Sering juga ada kandungan alkoholnya, meski sedikit. Itu bisa menyebabkan iritasi hingga alergi pada bayi. Sebaiknya tidak banyak menggunakan cologne dan hair lotion.

Kalaupun ingin memakai cologne, lebih baik jangan langsung kontak dengan kulit anak. Sebaiknya, cologne diteteskan ke baju anak saja. Sebab, prinsip dasar kelainan atau alergi terhadap bahan tertentu, bahan tersebut harus menempel dalam waktu lama untuk bisa memicu alergi.

Uji Alergi di Belakang Telinga.
Cara untuk menguji apakah produk health and care yang digunakan menimbulkan alergi atau tidak, dengan memakai di bagian lipatan tangan atau belakang kuping. Selama 1x24 jam, lihat adakah perubahan, misalnya kulit memerah. Itu bisa menjadi indikasi anak tidak cocok. Segera ganti produknya. Anak yang memiliki riwayat alergi kemungkinan lebih besar alergi terhadap produk health and care yang dipakai.

Gel Rambut Sebabkan Ketombe

.
Banyak bayi sudah memakai hair lotion. Bahkan anak-anak ada juga yang memakai gel rambut. Meski komposisi bahannya relatif aman, tetapi pemakaian hair lotion dan gel rambut anak perlu perhatian lebih dari orangtuanya. Khususnya, bagaimana menjaga kebersihan rambut.

Apalagi gel rambut biasanya dipakai dalam jangka waktu cukup lama menempel di rambut. Jika tidak dibersihkan benar-benar, maka bisa mengakibatkan ketombe pada anak-anak.

Kecil-kecil sudah ketombean. Bahkan yang paling ekstrim adalah, ketombe berat atau disebut dengan dermatitis seboroik di mana kulit kepala mengeras seperti koreng.

Sedangkan untuk pemakaian syampo, untuk rambut anak yang tidak terlalu tebal dan tidak beraktivitas padat, cukup dua hari sekali.

Sebenarnya tidak ada dampak membahayakan untuk anak yang memakai produk health and care. Sebab, semua kandungan yang ada sudah disesuaikan dengan kebutuhan kulit bayi. Namun, tetap saja orangtua harus kembali melihat apakah memang usia si bayi atau anak sudah perlu dan membutuhkan aneka produk health and care tersebut.

Jadi bukan hanya sekadar untuk mempercantik dan mewangikan anak saja. Tetapi juga tetap perhatikan cara dan pemilihan produk dengan mengenali komposisinya. Ia mengatakan, kebanyakan produk health and care memakai jojoba oil untuk melembabkan, Zin C, Vitamin E, susu hingga camomile. Pada dasarnya semua produk itu untuk melembabkan kulit bayi.

Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D

Untuk konsultasi dan permintaan seminar-workshop, hubungi Intan di 0813-1641-0088.

Jangan Gunakan Losyen Anti Nyamuk Setiap Hari!




Salah satu produk lainnya yang digunakan pada kulit adalah losyen anti nyamuk. Bahkan saat ini, sudah dipasarkan losyen anti nyamuk khusus anak-anak. Disebut-sebut losyen anti nyamuk mengandung zat berbahaya.

Bahan yang dipakai sebagai campuran dalam losyen anti nyamuk yaitu DEET (N,N-diethyl-m-toluamide). DEET adalah bahan kimia yang bersifat insect repellent (anti nyamuk). Penggunaan DEET bertujuan untuk menghilangkan bau amis yang disukai nyamuk menjadi bau tertentu yang tidak disukai nyamuk.

DEET dalam dosis tinggi dapat menimbulkan gangguan ginjal. Tetapi, DEET yang terdapat pada losyen anti nyamuk biasanya memiliki dosis rendah. Paling-paling hanya menimbulkan iritasi.

Meskipun boleh dikatakan pemakaian losyen anti nyamuk tidak berbahaya, namun disarankan agar penggunaan losyen anti nyamuk dibatasi. Sebaiknya jangan dipakai setiap hari, apalagi pori-pori kulit bayi dan anak-anak lebih kecil dibanding pori-pori orang dewasa. Pori-pori ini digunakan untuk pernapasan kulit. Jika pori-pori tertutup dengan minyak, tak terjadi pernapasan kulit. Selain itu, bila terjadi iritasi, pemakaiannya harus segera dihentikan! DB

Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D
Untuk konsultasi dan permintaan seminar-workshop, hubungi Intan di 0813-1641-0088.

Tuesday 15 March 2011

AGAR ANAK GEMAR DAN TERATUR BELAJAR


Mendukung Anak Agar Gemar Belajar di Sekolah Maupun di Rumah

Terjebak dalam pertengkaran soal pekerjaan rumah (PR)? Atau menghabiskan waktu berjam-jam dengan anak Anda menyelesaikan projek sekolah? Tak tahu apa yang harus dilakukan jika anak Anda lupa menyerahkan tugas – beberapa hari berturut-turut? Jengkel dengan para pakar yang mengatakan kit...a harus membantu anak-anak menikmati sekolahnya dan menjadi seorang siswa yang mandiri? “Bagus,” pikir Anda, “tapi bagaimana?”

Anak-anak kita bisa menjadi siswa yang mandiri secara bertahap. Mereka belajar dengan kecepatannya sendiri dan Anda bisa mendukung proses ini di rumah dengan mengembangkan apa yang mereka minati dan memberikan panduan lembut jika mereka membutuhkan bantuan.

Apa yang terjadi di rumah banyak berkaitan dengan mendukung kesuksesan anak Anda sebagai seorang pembelajar – dan ini bukan hanya memastikan ia mengerjakan PR-nya atau belajar untuk ulangan. Anda juga musti membantu anak-anak belajar bagaimana merasa mampu dan bersikap positif terhadap apa yang mereka pelajari.

Salah satu caranya adalah mulai dengan membantu anak-anak mengorganisasi dirinya sendiri (sesuai dengan tahap perkembangannya); membuat jadwal untuk mengerjakan tugasnya dan menemukan cara bagaimana agar mereka bisa mematuhi jadwal itu, sehingga tugas-tugas sekolah menjadi satu bagian menarik dari kehidupan usai sekolahnya, tetapi bukan satu-satunya bagian.

Meski tidak ada resep ajaib, ada banyak cara membantu anak-anak merencanakan waktu mereka, menyelesaikan PR-nya, dan melakukan yang terbaik di sekolah. Strategi ini bisa menolong anak Anda senang belajar.

Motivasi belajar harus menjadi kesenangan intrinsik anak-anak, bukan suatu ganjaran eksternal. Kadang-kadang ini sungguh sulit, karena tidak semua hal yang dipinta kepada anak untuk mereka kerjakan adalah hal yang menarik baginya.

Agar anak Anda punya dorongan dari dalam dan bisa menganalisis sendiri, berikan masukan spesifik, alih-alih pujian atau ganjaran umum yang meragukan. Daripada berkata, “Bagus kamu telah mengerjakan PR,” Anda bisa menjelaskan apa yang Anda maksud dengan ‘bagus’ itu. Daripada mengatakan, “Jawaban kamu belum lengkap,” minta anak Anda untuk memperinci gambaran seorang tokoh dalam cerita yang ditulisnya. Dengan cara ini, anak-anak akan mampu belajar mandiri dan mengerjakan sendiri apa pun yang dibuatnya.

TIPS: Kalau Anak Mengalami Kesulitan Belajar
Tak peduli betapa keras Anda mendorongnya, bisa saja anak Anda mengalami kesulitan akademis, entah dihadap PR yang sulit atau projek sekolah yang cukup berat. Alhasil, ia mengalami frustrasi atau bahkan stres. Bagaimana agar ia bisa mengatasinya? Orangtua musti berbuat apa?

Biarkan Anak Frustrasi
Ketika anak mengalami kesulitan mengerjakan PR atau hal yang berkaitan dengan sekolahnya, mereka acapkali marah dan jengkel, bahkan terkadang sampai meledak-ledak. Orangtua pun terheran-heran sambil bertanya-tanya, “Apa salahku?” Anda tidak berbuat salah sama sekali.

Kadang-kadang jika anak merasa tidak dimengerti di sekolah atau frustrasi karena mata pelajaran tertentu, mereka menjadi marah atau memprovokasi orangtuanya. Ini adalah caranya untuk membuat Anda merasa tidak berdaya atau marah, sama dengan yang dirasakannya. Seakan-akan anak Anda hendak berkata, ‘Maukah Ayah/Ibu mengambil rasa tak berdayaku untuk sementara?’ atau ‘Aku ingin Ayah/ibu merasakan apa yang aku alami’.

Ambil Jeda
Apabila anak Anda berteriak, “Aku tak bisa mengerjakannya!” sambil membuang pensilnya, sebaiknya Anda menjauh sebentar darinya. Mungkin ia perlu melampiaskan sedikit kekesalannya. Kembalilah dalam 5 – 10 menit kemudian dan mulailah lagi. (Waktu 5 menit ini bisa menyelamatkan Anda dari pertengkaran atau perdebatan yang bisa makan waktu sangat lama, apalagi jika menghitung beban emosional kejengkelan.) Ini juga meberi peluang bagi anak untuk “menyelamatkan mukanya” dan mulai lagi, bahkan jika tanpa membicarakan kesluitan sebelumnya atau ledakan kemarahannya.

Jangan Selalu Mencoba Percakapan Rasional
Kalau anak sangat gelisah, boleh jadi kegalauannya timbul karena ia menghadapinya secara rasional. Jadi, sebaiknya tunggu saja, daripada berdebat atau menasehati anak soal kondisi yang dihadapinya. Begitu anak sudah tenang, barulah Anda bisa membicarakannya.

Biarkan Anak Berbuat Salah
Memang sulit untuk tidak mengoreksi kesalahan yang dibuat anak dalam mengerjakan PR atau tugas sekolahnya. Namun kebanyakan guru pasti meminta Anda untuk tidak mengambil alih tugas anak kecuali kalau anak Anda meminta bantuan atau guru yang memintanya. Guru biasanya ingin tahu apa yang difahami anak didiknya, bukan apa yang difahami orangtua tentang materi pelajaran anaknya.

Tetapkan Batas Waktu
Kebanyakan guru tidak berharap anak-anak yang masih kecil mengerjakan tugas sekolah lebih dari setengah jam untuk setiap materi. Pastikan hal ini dengan bertanya kepada guru anak Anda. kalau anak Anda kesulitan (walau sudah aktif mencobanya) dan melebihi batas waktu yang ditentukan, tulislah catatan kepada gurunya yang menjelaskan bahwa itulah semua yang bisa dikerjakan anak.

Hubungi Sekolah
Apabila projek sekolah malah berakhir dalam serangkaian kegalauan, perdebatan dan berbagai kesulitan lainnya, segeralah bicarakan dengan guru dan pihak sekolah. Jangan menunggu sampai pertemuan orangtua murid-guru berikutnya. Guru membutuhkan masukan Anda agar ia dan Anda bersama-sama bisa menemukan pengertian baru dan strategi pembelajaran yang pas untuk anak Anda.

Bantulah Anak Anda Belajar Mengatur Diri Sendiri
Ini merupakan kecakapan sepanjang hidup yang bisa diajarkan, walau memang relatif sulit. Anda bisa membantu anak menemukan trik-trik yang cocok bagi dirinya, dengan cara menceritakan kiat-kiat Anda sendiri mengatur sesuatu.

Anda bisa mendorongnya untuk memberi label pada segala sesuatu. Susun strategi, seperti membuat ‘Daftar Hal yang Harus Dikerjakan’ sebelum anak meninggalkan sekolah (misalnya, meletakkan kembali buku matematika ke dalam tas ransel). Jadwalkan pula untuk membersihkan isi tasnya sepekan sekali dan meja belajarnya sehingga kertas tidak berserakan. Bersabarlah dan cobalah untuk tidak menyalahkan anak.

Sadari Bahwa Sekolah Bukan Berarti Bebas Masalah
Tidak satu pun orangtua yang pernah membesarkan anak tanpa bersitegang soal tugas-tugas sekolah. Ya, tidak ada strategi yang bebas konflik. Jangan khawatir, anak-anak kadang-kadang menganggap sekolah sebagai hal yang sangat menyenangkan dan menggairahkan – termasuk tuas-tugasnya. Tetapi, sesekali ia menganggapnya hanya sekadar sebagai kewajiban belaka. Tidak apa-apa. Yang penting, Anda bisa membantunya untuk menemukan struktur yang membuatnya selalu mengerjakan tugas-tugas sekolah – apa pun bentuknya. DB

Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D
Untuk konsultasi mengenai gangguan belajar dan masalah belajar lainnya maupun permintaan seminar-training-workshop, silahkan menghubungi Intan di 0813-1641-0088.

Monday 14 March 2011

Tuhan Yang Terkasih

Yts Tuhan

Selamat pagi, Tuhan yang Mahabaik. Aku tahu Engkau sudah mengenalku sejak lama, tapi kata Mama, kepada siapa pun aku harus memperkenalkan diri terlebih dahulu; jadi, namaku Talitha. Bulan lalu, aku ulang tahun ke sebelas dan sekarang kelas empat SD. Kau tahu, surat ini kuketik dengan menggunakan laptop pemberian Papa dan Mama dan kucetak dengan printer kado dari Paman, adik ayahku.

Sejak kecil aku memang sulit sekali menulis dengan jari-jariku yang jumlahnya genap itu. Kata dokter yang memeriksaku ketika TK dulu, aku menderita disgrafia dan asperger. Dia bilang kalau IQ-ku 138, tiga angka lagi aku bisa disebut genius. Tapi entah kenapa, aku kadang-kadang malah sulit sekali menangkap pelajaran di sekolah. Dan kalau melihat tulisanku yang miring ke sana ke mari, kebanyakan teman menyebutku bodoh. Bahkan ada beberapa guru yang juga menganggapku begitu. Baru melihat kertas ulanganku saja, mereka sudah memberi nilai jelek, padahal belum sempat membaca seluruh jawabanku.

Mama membawaku ke dokter setelah ia lelah mengajariku memegang pinsil. Ya, aku memang tak pernah bisa memegang krayon, pinsil, kapur, dan bolpen dengan baik. Kalau ia menyodorkan buku mewarnai, coretan krayonku malah mencuat ke mana-mana. Aku sudah berusaha keras, tapi tanganku terasa kaku, akibatnya huruf yang kubuat nyaris tak terbaca. Tanganku selalu kotor terkena spidol dan tinta yang belepotan di seluruh jariku.

Begitu aku naik ke kelas dua SD, tidak satu pun teman sekelasku yang mau memeriksa kertas ulanganku; padahal Ibu Guru selalu meminta kami untuk saling bertukar kertas ulangan untuk memberi nilai sesuai jawaban yang dia diktekan di depan. Aku bisa memaklumi teman-temanku, karena mereka tak bisa membaca tulisanku. Ada satu orang yang bisa, Maria, tapi sayangnya, dia sudah pindah ke Yogya.

Tuhan, kata dokter, otakku tidak bisa mengontrol apa yang dilakukan tanganku. Dia bilang, syaraf-syaraf di jari dan tanganku sebenarnya sehat saja. Jariku bisa merasakan kalau aku sedang memegang krayon atau pinsil. Tapi entah kenapa, otakku tidak bisa memberi perintah yang benar pada syaraf di tanganku. Jadi, aku musti memegang pinsil itu dengan erat, nyaris mencengkeramnya, agar otakku tahu kalau aku benar-benar sedang memegang pinsil.

Karena itulah aku sebenarnya lebih senang menyampaikan segala sesuatu dengan mulutku. Aku mahir sekali bercerita dan mendongeng, juga mendikte. Sayangnya, tidak semua guru membolehkanku menjawab dengan ucapan. Mereka memaksaku untuk menulis. Kalau diminta membuat karangan tertulis tentang perjalanan liburan, aku merasa seperti mendapat hukuman seumur hidup. Seandainya aku boleh bercerita di depan, aku dengan senang hati akan menceritakan rumah masa kecil Bung Karno di Blitar. Aku juga akan bercerita bahwa pahatan wayang kulit di sana berbeda dari gaya Yogya, Solo maupun Madura.

Tuhan, aku sangat sedih karena dalam bidang seni, nilai-nilaiku sangat buruk. Banyak sekali pemandangan indah di dalam kepalaku, tetapi tak satu pun yang bisa kutorehkan di atas kertas.

Meski sedih, aku tidak mengeluh koq, Tuhan. Karena aku tahu, Engkau memberiku pikiran-pikiran yang tajam dan sedikit selera humor. Setiap kali pelajaran berdebat, aku menyambutnya dengan bersemangat. Wajahku berbinar-binar, dan teman-teman memujiku kalau sangat hebat dalam berpidato. Setiap kali ada diskusi di kelas, aku selalu menonjol. Dengan cara itulah aku berusaha mendapatkan nilai-nilaiku.

Bila ada orang bertanya apa cita-citaku, dengan cepat kujawab, “Pengacara!” Aku yakin kalau aku akan berhasil di bidang itu. Aku ingin memeriksa kasus-kasus, seperti yang kulihat di televisi. Aku akan memaparkan semua kasus itu dengan jujur. Kata Papa, semuanya akan sia-sia kalau aku tidak jujur. Aku setuju.

Tuhan, aku menulis surat ini sebagai ungkapan terimakasihku karena Engkau telah membuatku sebagai anak yang istimewa. Kau menegaskan bahwa aku adalah ciptaanMu yang luar biasa. Kau juga meyakinkanku kalau Engkau akan setia menjagaku. Engkau tidak akan pernah meninggalkanku. Kau punya rencana sempurna untukku. Kau pasti memberiku masa depan dan harapan.

Mama dan Papa juga selalu mendorongku. Karena itulah, mereka menghadiahiku laptop untuk kubawa ke sekolah. Dan, syukurlah, Kepala Sekolah dan guru-guruku membolehkannya. DB

Gifted Underachiever: Anak Berbakat yang Tidak Berprestasi

Gifted Underachiever: Anak Berbakat yang Tidak Berprestasi

Anak saya sekarang kelas III SMP, sewaktu di kelas I SMP, Roland mengikuti test inteligensi dan menurut hasil testnya ia memperoleh nilai yang cukup tinggi. Tetapi nilai-nilai akademiknya hanya rata-rata saja, 6 atau 7. Apa mungkin anak berbakat tidak berprestasi?

Berbakat memang belum tentu berprestasi. Ada banyak faktor yang menentukan apakah seorang anak berbakat mampu meraih segudang prestasi atau bahkan tidak berprestasi sama sekali. Lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat serta dirinya sendiri tentunya sangat mempengaruhi seorang anak berbakat tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dirinya.

Definisi anak berbakat yang sangat populer dinyatakan oleh Lewis Madison Terman dan Joseph S. Renzulli. Menurut Terman seorang anak dapat dikatakan berbakat apabila memiliki nilai Intelligence Quotient (IQ) sama atau di atas 130 superior. Adapun kategori IQ adalah: 90-110 merupakan nilai rata-rata; 90-100 low average (rata-rata bawah), 100-110 high average (rata-rata atas).

Dalam pandangan Renzuli, anak berbakat memiliki gabungan tiga faktor yaitu inteligensi, kreativitas dan komitmen pada tugas. Artinya, anak berintelijensi tinggi belum tentu bisa digolongkan sebagai anak berbakat.

Seperti layaknya anak normal lainnya, tidak semua anak yang dilahirkan berbakat memiliki prestasi luar biasa. Dikatakan tidak berprestasi apabila potensi anak tidak sesuai dengan hasil yang dicapainya. Ada dua faktor penentu yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain keadaan anak itu sendiri, termasuk gaya belajarnya; sementara faktor eksternalnya bisa berupa dukungan lingkungan dan jenis sekolah yang diikuti.

Gangguan Emosional.
Anak berbakat tidak berbeda dengan anak normal, mereka tetap memiliki masalah emosional. Apabila keadaan emosi mereka tidak sesuai dengan pertumbuhan potensi yang mereka miliki, maka anak berbakat juga memiliki kecenderungan untuk tidak berprestasi. Ini yang perlu ditemukenali, diidentifikasi agar dia dapat mewujudkan potensinya secara utuh.

Begitu pula jika anak memiliki kebiasaan belajar yang buruk tentu akan dapat mempengaruhi prestasi anak berbakat. Kerana itu, anak perlu memiliki berbagai kecakapan belajar (study skills).

Kecakapan Akademik Dasar
.
Kecakapan akademik dasar diyakini sebagai salah satu faktor penentu berprestasinya anak berbakat. Tetapi jangan lupakan faktor lainnya seperti imajinasi dan kreativitas. Albert Einstein, fisikawan genius menyatakan ‘imagination is more important than knowledge’. Dengan kata lain memiliki daya imajinasi jauh lebih penting daripada sekadar mempunyai pengetahuan semata. Kelemahan pendidikan formal di Indonesia yaitu pengetahuan-pengetahuan yang diberikan wajib dihafal dan direproduksi. Apabila seorang anak dapat mengungkap, menghafal atau mereproduksi pengetahuan yang diberikan kepadanya dengan tepat maka ia akan memperoleh nilai tinggi. Di sini faktor imajinasi tidak dikembangkan. Tidak cukup membekali anak hanya dengan pengetahuan saja, daya kreativitas anak juga penting untuk dikembangkan.

Gaya belajar yang dimiliki anak berbakat memang tidak selalu sama dengan anak normal lainnya. Mereka memang cenderung mempunyai gaya belajar yang unik. Di sinilah peran penting guru, bahwa guru harus dapat mengamati dan memahami gaya belajar yang unik dari anak berbakat. Guru sebaiknya memberikan kesempatan atau peluang bagi anak untuk dapat mewujudkannya.

Dalam hal inilah pendidikan secara individul sangat penting karena fokusnya terletak pada perbedaan perorangan tiap anak berbakat. Sejak dini anak harus memupuk kebiasaan belajar yang baik sehingga dirinya termotivasi untuk mencari pengetahuan-pengetahuan yang dia inginkan. Jangan hanya mengikuti pola yang selalu diberikan oleh guru. Sedapat mungkin belajar dilakukan kontinu dan berusaha meningkatkan task commitment. Hal ini merupakan faktor intrinsik dalam diri anak.

Lingkungan Tidak Mendukung.
Anak berbakat bisa tidak berprestasi jika lingkungan kurang memberi kesempatan kepada anak untuk mewujudkan keunggulan potensinya. Lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat tidak mampu menggugah kreativitas, imajinasi dan inteligensi anak.

Misalnya saja dengan tidak menyediakan prasarana dan sarana yang diperlukan untuk dapat berprestasi unggul. Orangtua terkadang tidak memberikan buku yang baik bagi anaknya. Komik misalnya, bukanlah bacaan yang tepat bagi mereka. Seharusnya orangtua menyediakan buku yang mampu merangsang dan menggugah pemikiran anak serta mendorong minat baca mereka.

Begitu pula jika tidak tersedia permainan edukatif. Selama ini banyak orangtua yang memberikan permainan yang langsung dapat dimainkan saat itu. Seperti mobil atau boneka yang sudah jadi. Sebaiknya anak dilatih untuk bersibuk diri yang mampu merangsang kreativitas mereka. Contoh permainannya, bisa berupa lego dan puzzle. Mengisi teka-teki silang juga sangat baik bagi mereka. Pilihlah permainan yang berdasarkan daya imajinasi anak-anak.

Kelas Akselerasi.
Jenis sekolah yang diikuti anak berbakat pun sangat menentukan prestasi. Jika sekolah memberikan peluang dan kesempatan untuk mengembangkan seluruh potensinya maka anak berbakat dapat berprestasi. Agar bisa mengoptimalisasi bakat anak didik, sekolah bisa melakukan hal-hal seperti ini:
- Mengadakan program-program khusus bagi anak berbakat.
- Mengadakan kelas khusus atau akselerasi. Hanya saja, yang patut dicatat, akselerasi ini bukan melulu mempercepat proses pembelajaran. Yang lebih penting adalah memperkaya materi-materi khusus.
- Meningkatkan kreativitas anak. Pola belajar mengajar di Indonesia kebanyakan berupa materi yang diajarkan guru harus diikuti oleh semua murid. Murid tidak diberikan kebebasan untuk menumbuhkan kreativitasnya. Sebaiknya Guru memberikan kesempatan pada anak untuk kreatif.
- Orangtua membantu menyusun program dan berperan aktif dalam memikirkan kebutuhan anak.


Pondasi pertama pembentukan anak berbakat ada pada keluarga. Lima tahun pertama adalah dasar pembentukan kepribadian seseorang. Terkadang orangtua kurang menyadari hal itu. Mereka mengira dengan memasukkan anak ke SD pada usia 6 tahun, merupakan jalan yang tepat padahal anak-anak sudah mulai belajar sejak dini.

Agar anak berprestasi dibutuhkan 4P yaitu Pribadi (keunikan pribadi tiap orang), Pendorong (motivasi), Proses (bersibuk diri secara kreatif), Produk (kreasi atau inovasi unggul yang dihasilkan si anak).

Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D
Untuk konsultasi mengenai gangguan belajar dan masalah belajar lainnya maupun permintaan seminar-training-workshop, silahkan menghubungi Intan di 0813-1641-0088.

Jadilah Sahabat Bagi Penderita Learning Disabilities

Jadilah Sahabat Bagi Penderita Learning Disabilities

Orangtua sering bingung jika anaknya kehilangan dorongan belajar. Mereka juga tidak menyadari kalau sebenarnya terdapat gangguan pada sistem saraf otak si anak, sehingga mereka sering mengalami kesulitan dalam belajar (learning disabilities). Sebenarnya apa saja yang menyebabkan buah hati mereka sulit atau lemah dalam belajar?

Orangtua kadang marah atau menyalahkan anak jika mereka mengalami kesulitan belajar. Orangtua menjatuhkan vonis bahwa kesulitan belajar itu karena anak tidak fokus dalam menerima pelajaran di sekolah. Sebaiknya, orangtua hendaknya memahami terlebih dahulu apa yang menjadi masalah anak dalam menerima pelajaran. Karena dengan sikap dan cara yang tepat bukan mustahil potensi besar yang terpendam pada diri anak akan menjadi prestasi luar biasa.

Learning Disabilities. Sindrom sulit belajar pada anak sebenarnya bisa diatasi. Orangtua harus benar-benar memahami atas kemampuan dasar yang dimiliki anak-anak mereka. Kita harus menyadari bahwa setiap orang itu sangat berbeda dalam hal kemampuan dasar. Misalnya ada satu keluarga yang memiliki tiga orang anak, sudah pasti kemampuan anak-anak mereka berbeda. Kalaupun ada beberapa hal yang sama, itu lebih karena bakat. Ini didapat melalui keturunan yang diperoleh dari orangtua.

Lalu apa sebenarnya learning disabilities itu sendiri? Ini adalah kesulitan belajar yang disebabkan oleh adanya kelainan fungsi syaraf otak. Hal ini ditunjukkan oleh ketidaksempurnaan membaca, menulis, berbicara atau yang berhubungan dengan bahasa dan berhitung.

Salah Ucap, Salah Tulis, Salah Hitung.
Ada tiga macam kesulitan belajar yang sering dialami anak. Yang pertama adalah kesulitan membaca (disleksia), yaitu kesulitan belajar yang berhubungan dengan kata atau simbol-simbol tulis. Ini disebabkan oleh ketidakmampuan dalam menghubungkan antara lisan dan tulisan. Beberapa ciri anak yang menderita gangguan ini adalah sulit mengeja secara benar, sulit mengeja kata atau suku kata yang bentuknya serupa, kesulitan mengurutkan huruf-huruf dalam kata, dan kesalahan mengeja terus-menerus.

Jenis kedua adalah disgrafia, yaitu kesulitan belajar mengharmonisasi ingatan dan penguasaan gerak tangan ketika menuliskan angka dan huruf. Bagi anak-anak yang menderita gangguan ini, mereka akan kesulitan dalam menulis setiap kata-kata yang diucapkan gurunya saat pelajaran mendikte. Beberapa cirinya adalah bentuk huruf sering berubah, sulit memegang alat tulis (pulpen atau pensil sering terlepas dari tangan karena gugup atau tegang), sering salah menulis kata-kata (kelapa menjadi kepala), terlalu fokus pada tangannya ketika menulis, sering salah tulis walaupun sudah menyalin tulisan orang lain.

Yang terakhir adalah diskalkulia, yaitu kesulitan pada kemampuan kalkulasi secara sistematis, baik berhitung ataupun kalkulasi. Gejala anak penderita gangguan ini adalah sulit menghitung hitungan sistematis seperti misalnya menghitung jumlah uang kembalian, sulit menggunakan konsep waktu misalnya bingung mengurutkan masa lampau dan masa sekarang, dan sulit menghitung skor pertandingan.

Belum Tentu Underachiever.
Lantas, benarkah anak yang mengalami kesulitan atau lemah dalam belajar bisa dikatakan kalau dia juga underachiever? Underachiever atau overachiever lebih ke arah suatu ciri pribadi. Sehingga hubungannya dengan kemampuan belajar seorang anak tidak terlalu dekat.

Begitu pula dengan harga diri. Hal ini juga merupakan ciri pribadi seseorang. Karena pada dasarnya kelemahan seorang anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti faktor psikologik, lingkungan, dan faktor jasmani.

Sedangkan untuk anak yang menyandang autis tidak bisa dikatakan menderita kesulitan belajar (learning disabilities). Tidak semua anak-anak yang menyandang autis itu menderita lemah dalam menerima pelajaran yang diberikan.

Namun, jangan pernah menganggap remeh anak-anak yang menderita ganguan kesulitan belajar ini. Karena walaupun mereka mengalami gangguan tersebut, mereka juga mempunyai beberapa kelebihan. Diantara mereka tidak jarang yang berbakat di bidang musik, seni lukis atau aktivitas kreatif lainnya.

Cara Menumbuhkan Rasa Percaya Diri pada Anak Penderita Learning Disabilities



Mungkin banyak orang yang berpendapat bahwa anak yang menderita gangguan kesulitan belajar ini adalah anak yang idiot, bodoh, ataupun cacat jiwa. Semua anggapan itu salah. Gangguan ini dapat disembuhkan asalkan menggunakan metoda yang tepat. Orangtua bisa mengatasi masalah ini, antara lain dengan cara:
• Cobalah untuk memahami keadaan anak dengan cara jangan membandingkan dia dengan anak-anak lain dan jadilah motivator bagi si anak.
• Jangan terlalu banyak menuntut pada anak-anak
• Biarkan dia menulis dengan media selain buku, misalnya dengan komputer atau mesin ketik. Dengan menggunakan komputer diharapkan si anak akan tahu kesalahannya dalam mengeja dengan fasilitas yang ada di media tersebut.
• Yang tidak kalah penting adalah orangtua harus mampu membangun rasa percaya diri pada anak. Janganlah melecehkan atau menghina bila si anak berbuat kesalahan, karena ini dapat menyebabkan mereka rendah diri dan menjadi frustrasi.
• Selain itu latih mereka untuk terus menulis. Untuk menulis, orangtua tidak hanya memberikan tugas dalam bentuk tulisan, tapi juga bisa dalam bentuk gambar. Berikan tugas dan memang diminati mereka.

Tidak hanya itu, orangtua juga wajib menemukan potensi yang terpendam dalam diri anak-anaknya. Biarkan mereka menemukan potensinya selain menulis, membaca dan berhitung. Bebaskan mereka memilih bidang apa yang mereka minati, misalnya saja melukis, bermusik atau yang lainnya. Biarkan mereka bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya, karena ini juga dapat melatih mereka dalam berkomunikasi. DB

Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D
Untuk konsultasi mengenai gangguan belajar dan masalah belajar lainnya maupun permintaan seminar-training-workshop, silahkan menghubungi Intan di 0813-1641-0088.

Sunday 13 March 2011

Berita Tragis

BERITA TRAGIS

“Ketika saya masih kecil dan melihat hal-hal menakutkan di dalam berita, ibu saya selalu berkata kepada saya, ‘Lihat para penolong itu. Kamu akan selalu menemukan orang yang bersedia menolongmu’.”

Pada saat dunia mengalami krisis, sungguh mudah menganggap anak-anak kecil takkan tahu apa yang tengah terjadi. Yang jelas, anak-anak sangat peka pada perasaan orangtuanya. Mereka menyadari ekspresi muka dan nada suara orangtuanya. Anak-anak tahu kapan orangtuanya benar-benar khawatir, entah saat orangtuanya menonton berita di TV atau saat berbicara dengan orang lain. Tak peduli apa yang diketahui anak-anak soal krisis, namun sungguh menakutkan bagi mereka mengetahui kalau orangtuanya ketakutan.

Siapa yang Akan Merawatku?

Di masa krisis, anak-anak ingin tahu, “Siapa yang akan merawatku?” Mereka bergantung pada orang dewasa untuk keberlangsungan hidup dan keamanannya. Secara alamiah anak-anak masih memikirkan dirinya sendiri. Mereka perlu mendengar dengan jelas bahwa orangtuanya akan melakukan segala hal untuk merawatnya dan menjaga mereka tetap aman. Mereka juga perlu tahu bahwa orang-orang di pemerintahan, di masyarakat dan di dunia, dan bahkan orang-orang yang tidak mereka kenal, juga bekerja keras untuk membuatnya tetap aman.

Agar Anak Merasa Lebih Aman

Bertmain adalah salah satu cara terpenting bagi anak kecil untuk menghadapi kekhawatiran-kekhawatirannya. Tetapi bahkan bermain pura-pura menirukan apa yang ada di dalam berita juga bisa menakutkan, bahkan tidak aman. Karenanya orang dewasa perlu di dekat anak-anak untuk mengarahkan permainan itu menjadi tema-tema yang lebih positif, seperti daripada bermain perang-perangan lebih baik bermain menjadi dokter atau perawat yang menolong orang terluka atau berpura-pura menjadi pekerja sosial yang menyiapkan makanan bagi korban bencana.
Bila anak-anak merasa takut dan cemas, mereka biasanyamenjadi lebih lengket, rewel dan takut tidur pada malam hari. Menangis, perilaku agresif atau ngompol merupakan caranya untuk meminta lebih banyak kenyamanan dari orangtuanya. Sedikit demi sedikit, ketika orang-orang dewasa di sekitarnya lebih yakin, aman dan punya harapan, anak-anak juga akan mengikuti.

Gambar-gambar yang Menakutkan dan Membingungkan
Cara berita disajikan di televisi bisa sangat membingungkan bagi anak kecil. Segmen video yang sama bisa disajikan berulang-ulang sepanjang hari, seakan-akan tiap tayangan itu adalah kejadian yang berbeda-beda. Orang yang sudah mati hidup kembali dan mati lagi dan lagi.
Anak-anak menjadi sangat cemas karena mereka tak mengerti banyak soal siaran ulangan, close-up, dan sudut pengambilan kamera. Setiap bahaya yang disiarkan televisi tampaknya dekat dengan rumahnya karena adegan-adegan tragis itu terjadi di pesawat televisi yang ada di ruang keluarganya. Anak-anak tak tahu perbedaan antara apa yang dekat dan yang jauh... apa yang nyata dan yang pura-pura... atau apa yang baru (langsung) dan yang siaran ulangan.
Semakin kecil anak Anda, semakin besar kemungkinan ia tertarik pada adegan-adegan berita dengan wajah-wajah close-up, utamanya jika orang-orang itu menunjukkan perasaan yang amat kuat. Bila ada berita-berita tragis, citra di TV acapkali terlalu grafis dan mengganggu anak-anak kecil.

Matikan TV
Ketika ada tragedi di berita, banyak orangtua bingung bagaimana menceritakannya kepada anak-anak. Kebanyakan diam saja atau malah diajak menonton bersama. Lebih sulit lagi kalau kita juga berjuang mengatasi perasaan kita sendiri terhadap apa yang kita lihat. Orang dewasa acap terkejut atas reaksinya terhadap berita begitu kuat. Ini karena berita bencana dan krisis di televisi membangunkan kembali rasa takut dan duka kita... bahkan jika sudah kita anggap terlupakan.
Kita jadi mudah membiarkan diri menonton berita krisis itu berlama-lama. (termasuk kisah tragedi dalam bentuk opera sabun, sinetron atau telenovela). Padahal, memaparkan diri kita pada begitu banyak tragedi bisa membuat kita merasa tak berdaya, tidak aman dan bahkan depresi. Nah, kalau ingin membantu anak-anak dan diri kita sendiri, kita harus mampu membatasi diri dalam menonton televisi. Anak-anak membutuhkan banyak waktu berama orangtuanya – jauh dari gambaran menakutkan dan menyedihkan di layar kaca.

Mengobrol
Bahkan kalau kita mau, rasanya tak mungkin memberi penjelasan yang bisa diterima anak-anak tentang begitu banyaknya perang, terorisme, pembunuhan, pemerkosaan, kebakaran, banjir, kemarau panjang, gempa bumi, dan taufan. Kalau mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan, jawaban terbaik kita adalah kembali bertanya kepadanya, “Menurutmu, apa yang terjadi?” Kalau jawaban mereka “Aku tak tahu,” maka balasan paling sederhana adalah seperti, “Mami sedih mendengar berita itu dan Mami khawatir. Tetapi Mami mencintaimu dan Mami maupun Papi selalu ada di sini untuk merawatmu.”
Kalau kita tidak membolehkan anak-anak menunjukkan perasaan sedih dan takut, mereka akan berusaha keras menyembunyikannya atau beranggapan dirinya salah atau tidak benar kapan pun perasaan seperti itu muncul. Mereka memang tidak memerlukan rincian peristiwa yang membuat diri kita sedih atau takut, tetapi kita dapat membantu anak-anak dengan menerima perasaan mereka sebagai hal yang alamiah dan normal. Maka mereka pun akan lebih gampang mengelola segala perasaannya.
Rasa marah juga bagian dari manusia, khususnya bila kita merasa tak berdaya. Salah satu pesan paling penting yang bisa kita berikan kepada anak-anak adalah, “Tidak apa-apa marah, tetapi sama sekali tidak boleh melukai orang lain.” Selain memberi anak-anak hak untuk marah, kita bisa mendorong mereka menemukan cara-cara konstruktif untuk melepaskan perasaannya. Dengan cara ini, kita memberi mereka peralatan bagus yang berguna sepanjang hidupnya dan membantu mereka menjadi “juru damai”, menjadi “para penolong” dunia masa depan.

Panduan Praktis
- Lakukan yang terbaik dengan tetap mematikan televisi, atau paling tidak batasi seberapa banyak anak Anda boleh melihat berita TV.
- Cobalah menenangkan diri Anda sendiri. Kehadiran Anda membuat anak-anak merasa lebih aman. Beri anak Anda tambahan kenyamanan dan rasa sayang jasmaniah, seperti pelukan atau berangkulan samabil membaca buku favorit. Kenyamanan fisik juga bisa menimbulkan rasa aman. Hal ini juga menguatkan ikatan emosional Anda berdua.
- Cobalah sebisa mungkin menjaga rutinitas. Anak-anak dan orang dewasa sangat bergantung pada pola hidup sehari-hari yang sudah diakrabinya.
- Rencanakan sesuatu yang bisa Anda nikmati bersama anak-anak, seperti berjalan-jalan, pergi piknik, meluangkan waktu hening, atau berdoa. Sungguh berguna mengetahui ada hal-hal kecil yang bisa kita lakukan untuk merasa lebih baik, baik pada saat suka maupun duka.
- Bahkan kalau anak-anak tidak menjelaskan apa yang sudah mereka lihat atau dengar dari berita, Anda perlu bertanya apa yang menurut mereka telah terjadi. Jika orangtua tak mengangkat tema itu, anak-anak akan dibiarkan dengan anggapannya sendiri yang keliru. Anda akan terkejut betapa banyak yang didengar anak Anda dari orang lain.
- Fokuskan perhatian pada para penolong, seperti polisi, regu pemadam kebakaran, perawat, dokter, dan sukarelawan. Sungguh menenangkan mengetahui ada banyak orang peduli yang berani menolong orang lain di dunia.
- Tunjukkan kepada anak-anak ketika Anda menyumbang atau ikut rapat organisasi sosial, menulis surat atau e-mail dukungan, atau mengambil langkah-langkah dukungan. Anak-anak akan menumbuhkan sikap positif jika melihat orang-orang dewasa di sekitarnya mengambil peran aktif yang berbeda-beda dan tidak menyerah dalam ketakberdayaan pada masa krisis. DB

Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D


Untuk konsultasi dan permintaan seminar – workshop, silahkan menghubungi Intan di 0813-1641-0088.

Reaksi Anak-anak pada Kematian

Reaksi Anak-anak pada Kematian

Ketika terjadi kematian anggota keluarga, anak-anak sering menanggapinya dalam cara yang tidak terduga, membuat orang-orang dewasa bingung dan ragu-ragu bagaimana mendekati mereka untuk membantu mereka mengatasi rasa dukanya. Karena anak-anak yang masih kecil kurang bisa menangkap konsep-konsep abstrak, kebanyakan psikolog perkembangan menganggap anak-anak yang umurnya kurang dari dua tahun belum bisa memahami konsep kematian.

Orangtua yang khawatir bagaimana mengatasi duka anak-anak musti memahami tahap-tahap perkembangan setiap anaknya. Lebih baik menjawab hanya pertanyaan yang anak-anak ajukan. Kita terlalu sering menganggap anak-anak meminta informasi lebih banyak daripada yang bisa mereka cerna. Seperti orangtua dari anak perempuan berumur enam tahun yang bertanya, “dari mana asalku?” Setelah menjelaskan panjang lebar bagaimana bayi berkembang dari satu benih kecil, anak itu dengan wajah polosnya menukas, “Oh aku pikir kita berasal dari Surabaya!”

Ungkapkan kebenaran kepada anak-anak. Bersikap terbuka. Yakinkan bahwa Anda selalu ada pada saat mereka membutuhkan. Dengarkan pertanyaan mereka dengan awas. Kemudian jawab dengan ringkas dan jujur. Kalau anak puas dengan jawaban itu, tunggulah sampai ia bertanya lebih lanjut sebelum Anda mengelaborasi lebih dalam. Dengan cara ini anak akan memperoleh pengetahuan sesuai kesiapannya dan ia akan mulai mengumpulkan informasi yang bisa membantunya membentuk konsep kematian.

Jangan takut mengungkapan duka Anda di depan anak-anak. Menyembunyikan perasaan duka hanya akan membuat anak-anak merasa bahwa mengekspresikan kesedihan merupakan hal yang tidak pantas atau tidak baik. Kesedihan, kemarahan, rasa bersalah dan kesepian adalah perasaan yang sangat wajar muncul setelah kita kehilangan orang tercinta. Jika anak-anak tumbuh berkembang dengan melihat ekspresi perasaan-perasaan itu, maka mereka nantinya juga akan bisa menunjukkan perasaan itu secara normal dan alamiah.

Kematian di Mata Anak Prasekolah
Ketika anak-anak berangkat besar dan belajar kecakapan-kecakapan baru, persepsi mereka terhadap kematian pun ikut berubah. Misalnya, anak-anak prasekolah yang berumur 3-5 tahun biasanya belum tahu kalau kematian bersifat final. Mereka masih menganggapnya sebagai kehidupan yang berlanjut, bertahap atau sementara. Mereka percaya kalau orang itu sudah pergi tapi hidup berlanjut seakan orang lain. Orang yang mati dianggapnya hidup di tempat lain seperti “surga,” “kuburan” atau “tempat yang jauh.” Anak-anak prasekolah biasanya menganggap kematian bisa dibalikkan – suatu keyakinan yang diperkuat oleh tokoh-rokoh kartun yang “mati” dan “hidup” lagi.
Pada umur ini, kecemasan, kalau ada, adalah karena perpisahan dan bukan karena mengetahui finalitas kematian. Kebanyakan anak prasekolah ini sudah puas dengan penjelasan sederhana di mana orang yang meninggal itu tinggal. Mereka punya kesadaran bahwa kehidupan orang itu sudah habis tapi dibandingkannya dengan orang tidur.

Personifikasi Kematian Menurut Anak Umur 5-9 Tahun
Antara umur 5-9 tahun, anak-anak mulai bisa mempersonifikasi kematian. Anak-anak pada tahap ini cenderung memandang kematian sebagai orang yang terpisah, misalnya sebagai “malaikat”, “tulang belulang,” dsb. Mereka tahu kalau kematian bersifat final, tapi mereka menganggapnya tidak berlaku umum. Dengan kata lain, mereka pikir kalau Anda berlari lebih cepat, atau “mengakali si pencabut nyawa” maka kita bisa menghindari kematian. Mereka juga percaya bahwa kematian itu tidak akan terjadi pada dirinya atau orang-orang yang dikenalnya.

Persepsi Finalitas Kematian pada Anak Berumur 10 tahun
Setelah lebih dari 10 tahun, anak-anak bukan hanya memahami kalau kematian itu final, tapi juga tidak bisa dielakkan. Konotasi kematian pada umur ini, pra-remaja, biasanya adalah kesedihan dan takut akan agresi. Kematian dianggap terutama sebagai perpisahan dan kesendirian atau takut akan tindakan kekerasan seseorang.

Pada tahap ini, fantasi atau magis mewarnai pikiran mereka mengenai kematian. Anak cenderung percaya bahwa berbagai kejadian berlangsung dalam cara tertentu karena pikiran seseorang. Misalnya, kalau dua orang anak bermain-main di pinggir jalan lalu salah seorang di antara mereka terserempet mobil, maka anak yang selamat akan punya perasaan bahwa dirinyalah yang menjadi penyebab kecelakaan itu. Begitu pula, jika salah seorang saudara kandungnya meninggal, anak sering percaya bahwa hal itu terjadi karena pikirannya atau karena ia telah berbuat nakal sehingga kakak/adiknya mati.

Bagaimana Reaksi “Normal” Anak pada Kematian
Anak-anak yang saudara atau orangtuanya meninggal akan sangat terkejut dan bingung. Apalagi, biasanya, pada saat itu tidak ada anggota keluarga yang bisa membantu mereka karena semuanya sama-sama terkejut dan berduka sehingga tak mampu bertanggungjawab merawat anak-anak seperti biasanya.

Orangtua musti menyadari respon normal anak-anak terhadap kematian di dalam keluarganya, serta tanda-tanda bahaya. Menurut para psikolog anak dan remaja, relatif normal kalau sampai beberapa minggu setelah kematian keluarganya, anak-anak menganggap anggota keluarganya itu masih hidup. Namun kalau sampai berbulan-bulan anak ini masih menolak kematian itu atau menghindari rasa duka itu merupakan respon yang tidak sehat dan bisa menjadi gangguan yang lebih berat.

Seorang anak yang takut menghadiri upacara pemakaman jangan dipaksa untuk pergi. Namun sebaiknya ia mengikuti kegiatan kebaktian atau berdoa bersama, salat jenasah atau salat ghoib. Ia bisa ikut menyalakan lilin, berdoa atau mengunjungi tempat pemakaman.

Begitu anak-anak bisa menerima kematian, mereka akan menunjukkan perasaan sedih berulang kali dalam rentang waktu yang sangat panjang, dan acapkali pada saat-saat yang tidak terduga. Kerabat yang masih hidup musti meluangkan banyak waktu bersama dengan anak ini untuk meyakinkan bahwa ia bisa mengungkapkan perasaan-perasaannya secar terbuka dan bebas.

Jika orang yang telah mati memiliki posisi penting dalam stabilitas dunia anak-anak, reaksi alamiah anak-anak adalah marah. Kemarahan ini bisa ditunjukkan dalam permainan yang riuh, mimpi buruk, amok atau banyak perilaku lainnya. Tidak jarang anak ini marah kepada anggota keluarga yang masih hidup.

Setelah salah seorang atau kedua orangtuanya wafat, banyak anak bertingkah lebih muda daripada seharusnya alias kekanak-kanakan atau kebayi-bayian. Untuk sementara ia menjadi “bayi” kembali, minta disuapi, diberi perhatian berlebih, dielus, dan bicara seperti bayi.

Anak-anak yang masih kecil biasanya meyakini kalau merekalah penyebab apa yang terjadi di sekitar mereka. Anak kecil mungkin percaya kalau orangtua, kakek-nenek, atau saudaranya meninggal karena ia pernah “berharap” orang itu mati. Anak ini merasa bersalah karena keinginannya “menjadi kenyataan.”

Tanda-tanda Bahaya
Karena itu, orangtua musti mewaspadai tanda-tanda bahaya seperti di bawah ini”
 Masa depresi yang terlalu lama, di mana anak kehilangan minat pada kegiatan dan kejadian sehari-hari.
 Sulit tidur, tidak berselera makan, terus menerus takut sendirian untuk waktu yang lama.
 Bertingkah kebayi-bayian dalam waktu yang sangat lama.
 Berlebihan menirukan orang yang meninggal. Mengulang-ulang pernyataan ingin ikut orang yang wafat.
 Tidak mau berkawan dan bergaul lagi.
 Prestasi sekolah menurun tajam atau malah tidak mau pergi sekolah.
Ini semua merupakan pertanda diperlukannya bantuan profesional. Psikolog atau psikiater anak bisa membantu anak ini untuk menerima kematian dan membantu keluarga dan kerabat lainnya supaya bisa menolong anak ini melewati proses berduka.

Mengatasi Rasa Bersalah pada Anak-anak
Rasa bersalah merupakan reaksi khas terhadap kematian, pada umur berapa pun, sehingga orangtua musti berhati-hati untuk tidak meremehkannya. Perasaan ini bisa sangat mempengaruhi kemampuan anak mengekspresikan dirinya dan untuk sembuh dari pikiran yang menyakitkan itu.

Orangtua musti menyadari bahwa pikiran anak bahwa ia “bertanggungjawab” atas kematian seseorang jangan sampai diabaikan begitu saja. Ungkapan mereka semacam itu musti didengar baik-baik, lalu menenangkan mereka bahwa kematian itu bukan kesalahan mereka. Orangtua juga musti mendorong anak untuk mengeluarkan seluruh perasaannya dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan terbuka yang memungkinkan dialog berlanjut.

Jawaban orangtua seperti “jangan aneh-aneh” atau “jangan salahkan dirimu” hanya akan membuat anak menyembunyikan rasa sakitnya. Pernyataan seperti itu sama sekali tidak akan meyakinkan anak bahwa ia bebas dari kesalahan.

Kehilangan adalah bagian integral proses kematangan anak. Tanpanya, kita akan gagal membangun fungsi mekanisma untuk mengatasi persoalan yang penting dalam membawa kita melewati berbagai krisis kehidupan.

Ingat, sebagai orang dewasa, kita memiliki kriteria yang berbeda dalam menghadapi kematian dan duka dibandingkan anak-anak atau remaja. Sebagian orangtua mungkin merasa kalau anaknya tidak berduka “secara normal.” Kenormalan ini tak bisa diukur dengan memakai penggaris orang dewasa, tapi harus disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan anak. DB

Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D
Untuk konsultasi dan permintaan seminar – workshop, silahkan menghubungi Intan di 0813-1641-0088.

Pasca Bencana: Memahami Pengalaman Berduka

Pasca Bencana:
Memahami Pengalaman Berduka


Apabila seseorang mati mendadak, entah akibat bencana alam, kecelakaan, pembunuhan, bunuh diri, atau sakit non-kronis, pasti ada orang-orang dekatnya, dari anak-anak sampai orangtua yang akan sangat terpengaruh oleh kematian itu. Kematian itu bukan hanya sama sekali tidak diharapkan, tapi juga menabrak pengertian kita tentang apa yang benar atau normal. Berbeda dengan kematian akibat kanker, stroke atau kondisi jantung yang sakit-sakitan, sifat penyakit ini membuat kita lebih siap menerima apa yang bakal terjadi. Lagipula, biasanya anggota keluarga yang telah renta yang menderita penyakit seperti itu. Meskipun begitu, kematian orang yang kita cintai tetap menimbulkan shock, bahkan jika kita sudah memperoleh tanda-tanda peringatannya.

Meskipun manusia adalah makhluk cerdas dan mampu mengendalikan banyak aspek kehidupan, akan tetapi tetap banyak yang tidak kita ketahui soal emosi manusia, cara kerja pikiran, atau peran ‘keberuntungan’ dan ‘peluang’ dalam kehidupan kita.

Akibatnya, nyaris tidak mungkin menjelaskan kepada ibu atau ayah yang berduka mengapa anak perempuan atau lelakinya – yang ia harapkan berumur lebih panjang daripada dirinya – ternyata dipanggil Tuhan telebih dahulu. Namun kita bisa memahami pengalaman berduka. Kita tahu, misalnya, bagaimana biasanya seseorang bereaksi sewaktu diberitahu kalau orang yang dicintainya telah mati.

Shock
Pada awalnya, reaksi terkejut ini merupakan puncak dari ketidakpercayaan. Pikirannya menolak berita yang tidak bisa diterima itu. Orang yang ditinggal mati secara emosional merasa kebas, sehingga wajar saja jika seorang ibu bahkan tidak menangis sama sekali atas kematian anaknya.

Marah
Reaksi berikutnya bisa berupa kemarahan. Sering kali orang-orang yang ditinggal mati mengungkapkan rasa marah yang tak bisa ditenangkan terhadap beberapa orang yang dianggapnya bertanggung jawab atas kematian orang yang dicintainya: entah dokter yang “tidak becus”, sopir yang “ceroboh”, atau teman yang “tidak peduli.” Bahkan Tuhan bisa disalahkan karena membiarkan tragedi seperti itu terjadi.
Pada saat yang sama, orang ini juga bisa marah pada diri sendiri. Ia ingin menghukum dirinya, bahkan sampai taraf luka berat atau mati. Kemarahan adalah perasaan yang sangat kuat dan acap tidak terkendali. Kemarahan ini kadang-kadang juga ditujukan pada orang yang meninggal. Kemarahan adalah salah satu aspek pengalaman berduka yang sulit bagi orang yang ditinggal mati.

Rasa Bersalah
Reaksi lain yang sering dialami oleh orang yang ditinggal mati adalah merasa bertanggung jawab atas kematian tersebut. Rasa bersalah yang tidak rasional ini bisa menerpa penduka dalam gelombang yang bertubi-tubi. Seorang ibu, misalnya, merasa bertanggung jawab atas kematian anaknya yang berada ribuan kilometer dari rumah. Atau ibu lain yang sudah menyimpan cairan pembersih lantai dengan sangat hati-hati, namun masih bisa ditemukan oleh anaknya yang kemudian bermain-main dengannya sehingga keracunan.

Malu
Dalam kasus bunuh diri, rasa bersalah itu juga bisa disertai dengan banjir rasa malu. Bunuh diri seorang anak atau pasangan hidup bisa diartikan secara tersirat, bahkan tersurat, sebagai tindakan penolakan. Ia dihadapkan pada kenyataan bahwa orang yang mati lebih suka mengakhiri hidupnya daripada meneruskan hidup dengannya. Hal ini membuat orang yang ditinggal merasa sangat malu dan kehilangan harga dirinya.

Preokupasi
Aspek kelima berduka yang sudah bisa diidentifikasi adalah keinginan orang-orang yang ditinggal – suami/istri, orangtua, kakak-adik – untuk menjelaskan dan menerangkan secara terinci segala hal seputar kematian itu. Setiap kali ada tamu datang, mereka mebulangi lagi keterangan itu, tanpa pernah letih. Ini adalah reaksi penting terhadap kehilangan ini, meski sering diabaikan dan kadang-kadang ditahan-tahan. Padahal ini adalah bagian dari proses berduka di mana orang-orang yang ditinggal mau mengakui dan menerima apa yang telah terjadi.

Gampang Dirayu
Ciri lain orang yang berduka adalah sangat mudah dibujuk atau dipengaruhi. Saya pernah melihat betapa seorang janda di Aceh, pasca tsunami, dengan mudah diminta untuk menjual lahan yang lebih luas dari masjid raya hanya seharga beberapa juta Rupiah. Atas nasehat keluarga atau teman, mereka dengan gampang menjual rumahnya utnuk pindah ke kota lain. Banyak duda segera kawin kembali setelah kematian istrinya. Berbagai keputusan besar yang tergesa-gesa ini bisa menambah bebannya sendiri di kemudian hari. Kerabat dan saudaranya musti memperhatikan hal ini untuk mengurangi potensi persoalan dan banyak kesulitan akibat ketergantungan dan kerentanan ini.

Mimpi Buruk
Aspek lain dari kehilangan orang yang dicintai secara mendadak adalah gangguan perilaku berupa serentetan mimpi buruk atau mimpi yang begitu nyata. Meski sangat melelahkan dan bahkan menakutkan, namun dalam banyak kasus, mimpi-mimpi pelahan-lahan akan hilang dengan sendirinya. Jika berlangsung terus sampai berbulan-bulan, perlu segera meminta bantuan psikoterapi.

Halusinasi
Orang yang berduka juga bisa terganggu oleh halusinasi yang dialaminya. Ia seperti “mendengar” dan “melihat” keberadaan orang yang telah meninggal. Banyak janda yang masih mengalami halusinasi ini sampai sepuluh bahkan belasan tahun setelah kematian suaminya. Namun tidak sedikit pula penelitian yang membuktikan bahwa pengalaman seperti itu malah menimbulkan rasa tenang dan tentram. Akan tetapi bagi orang yang tidak terbiasa menghadapi proses mental seperti itu, “kedatangan” atau “penampakan” orang yang telah meninggal – yang sesungguhnya adalah halusinasi – itu bisa sangat mengganggu, bahkan ada yang percaya kalau dirinya sudah gila. Pada umumnya, halusinasi ini, seperti mimpi yang begitu terang, akan hilang dengan sendirinya.

Perubahan Perilaku
Yang jauh lebih jamak terjadi adalah perubahan perilaku secara mendadak. Perubahan itu termasuk sulit tidur (insomnia); tak berselera makan; frekuensi merokok atau minum alkohol meningkat; tindakan atau ucapan yang diulang-ulang; keputusan impulsif seperti keluar dari pekerjaan atau memutuskan persahabatan yang sudah sangat lama; terus menerus marah atau ledakan perasaan; tindakan kekerasan terhadap keluarga, teman atau bahkan orang yang tak dikenal. Mereka yang ditinggalkan musti menyadari kemungkinan munculnya perilaku seperti itu dan seberapa besar taraf kenormalannya. Mereka juga musti waspada jika tingkah seperti itu mengancam melukai diri sendiri maupun orang lain. Jika berlanjut cukup lama, segeralah periksakan diri kepada psikoterapis.

Media Berita
Seringkali, dalam kasus-kasus kematian mendadak yang tak terduga-duga, khususnya yang bersifat tidak alamiah – bunuh diri, pembunuhan, kecelakaan atau bencana – lembaga-lembaga publik dan media massa menerobos masuk ke dalam kehidupan keluarga yang ditinggalkan. Padahal mereka sedang mengalami trauma dan luka kejiwaan. Mustinya lembaga semacam ini lebih memperhatikan privasi, martabat dan proses duka keluarga yang ditinggalkan. Perilaku wartawan dan kamerawan kerap tidak peka dan malah menimbulkan kerusakan psikis tambahan. Biasanya mereka hanya memuncakkan kesedihan orang-orang yang ditinggal mati. Begitu pula dengan para pejabat publik yang bermaksud baik, yang tugasnya menyelidiki hal-hal seputar kematian itu, musti bersikap hati-hati. Satu tindakan, gerak tubuh atau bahkan intonasi suara yang tersirat menyalahkan keluarga yang ditinggalkan atas kematian itu hanya akan menambah beban kehilangan tersebut.

Mengatasi Duka
Apa yang bisa dilakukan jika tragedi kematian menyerang? Ini adalah saat ketika orang yang berduka membutuhkan dukungan teman-teman, anggota keluarga lainnya, ulama atau pendeta, dan mungkin dokter atau psikolog. Namun, ini juga sekaligus saat-saat di mana dukungan dan bantuan itu besar kemungkinan ditolak oleh si penduka. Padahal ia mustinya berusaha sekuat tenaga untuk mengatasi dorongan menolak bantuan itu dan menyadari betapa berharganya bantuan orang luar ini, baik untuk jangka pendek maupun panjang.
Sebaliknya, saudara, kawan atau perawat musti terus mendampingi orang yang berduka ini dan membantu mereka kapan pun memungkinkan, bahkan meski harus menghadapi protes dan kemarahan. Berduka, seperti telah kita pelajari bersama, merupakan pengalaman emosional yang begitu menggunung untuk bisa dianggap sebagai soal pribadi. DB

Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D

– psikoanalis, konselor dan konsultan komunikasi strategis.
Untuk konsultasi dan permintaan seminar – workshop, silahkan menghubungi Intan di 0813-1641-0088.