Sunday 13 March 2011

Reaksi Anak-anak pada Kematian

Reaksi Anak-anak pada Kematian

Ketika terjadi kematian anggota keluarga, anak-anak sering menanggapinya dalam cara yang tidak terduga, membuat orang-orang dewasa bingung dan ragu-ragu bagaimana mendekati mereka untuk membantu mereka mengatasi rasa dukanya. Karena anak-anak yang masih kecil kurang bisa menangkap konsep-konsep abstrak, kebanyakan psikolog perkembangan menganggap anak-anak yang umurnya kurang dari dua tahun belum bisa memahami konsep kematian.

Orangtua yang khawatir bagaimana mengatasi duka anak-anak musti memahami tahap-tahap perkembangan setiap anaknya. Lebih baik menjawab hanya pertanyaan yang anak-anak ajukan. Kita terlalu sering menganggap anak-anak meminta informasi lebih banyak daripada yang bisa mereka cerna. Seperti orangtua dari anak perempuan berumur enam tahun yang bertanya, “dari mana asalku?” Setelah menjelaskan panjang lebar bagaimana bayi berkembang dari satu benih kecil, anak itu dengan wajah polosnya menukas, “Oh aku pikir kita berasal dari Surabaya!”

Ungkapkan kebenaran kepada anak-anak. Bersikap terbuka. Yakinkan bahwa Anda selalu ada pada saat mereka membutuhkan. Dengarkan pertanyaan mereka dengan awas. Kemudian jawab dengan ringkas dan jujur. Kalau anak puas dengan jawaban itu, tunggulah sampai ia bertanya lebih lanjut sebelum Anda mengelaborasi lebih dalam. Dengan cara ini anak akan memperoleh pengetahuan sesuai kesiapannya dan ia akan mulai mengumpulkan informasi yang bisa membantunya membentuk konsep kematian.

Jangan takut mengungkapan duka Anda di depan anak-anak. Menyembunyikan perasaan duka hanya akan membuat anak-anak merasa bahwa mengekspresikan kesedihan merupakan hal yang tidak pantas atau tidak baik. Kesedihan, kemarahan, rasa bersalah dan kesepian adalah perasaan yang sangat wajar muncul setelah kita kehilangan orang tercinta. Jika anak-anak tumbuh berkembang dengan melihat ekspresi perasaan-perasaan itu, maka mereka nantinya juga akan bisa menunjukkan perasaan itu secara normal dan alamiah.

Kematian di Mata Anak Prasekolah
Ketika anak-anak berangkat besar dan belajar kecakapan-kecakapan baru, persepsi mereka terhadap kematian pun ikut berubah. Misalnya, anak-anak prasekolah yang berumur 3-5 tahun biasanya belum tahu kalau kematian bersifat final. Mereka masih menganggapnya sebagai kehidupan yang berlanjut, bertahap atau sementara. Mereka percaya kalau orang itu sudah pergi tapi hidup berlanjut seakan orang lain. Orang yang mati dianggapnya hidup di tempat lain seperti “surga,” “kuburan” atau “tempat yang jauh.” Anak-anak prasekolah biasanya menganggap kematian bisa dibalikkan – suatu keyakinan yang diperkuat oleh tokoh-rokoh kartun yang “mati” dan “hidup” lagi.
Pada umur ini, kecemasan, kalau ada, adalah karena perpisahan dan bukan karena mengetahui finalitas kematian. Kebanyakan anak prasekolah ini sudah puas dengan penjelasan sederhana di mana orang yang meninggal itu tinggal. Mereka punya kesadaran bahwa kehidupan orang itu sudah habis tapi dibandingkannya dengan orang tidur.

Personifikasi Kematian Menurut Anak Umur 5-9 Tahun
Antara umur 5-9 tahun, anak-anak mulai bisa mempersonifikasi kematian. Anak-anak pada tahap ini cenderung memandang kematian sebagai orang yang terpisah, misalnya sebagai “malaikat”, “tulang belulang,” dsb. Mereka tahu kalau kematian bersifat final, tapi mereka menganggapnya tidak berlaku umum. Dengan kata lain, mereka pikir kalau Anda berlari lebih cepat, atau “mengakali si pencabut nyawa” maka kita bisa menghindari kematian. Mereka juga percaya bahwa kematian itu tidak akan terjadi pada dirinya atau orang-orang yang dikenalnya.

Persepsi Finalitas Kematian pada Anak Berumur 10 tahun
Setelah lebih dari 10 tahun, anak-anak bukan hanya memahami kalau kematian itu final, tapi juga tidak bisa dielakkan. Konotasi kematian pada umur ini, pra-remaja, biasanya adalah kesedihan dan takut akan agresi. Kematian dianggap terutama sebagai perpisahan dan kesendirian atau takut akan tindakan kekerasan seseorang.

Pada tahap ini, fantasi atau magis mewarnai pikiran mereka mengenai kematian. Anak cenderung percaya bahwa berbagai kejadian berlangsung dalam cara tertentu karena pikiran seseorang. Misalnya, kalau dua orang anak bermain-main di pinggir jalan lalu salah seorang di antara mereka terserempet mobil, maka anak yang selamat akan punya perasaan bahwa dirinyalah yang menjadi penyebab kecelakaan itu. Begitu pula, jika salah seorang saudara kandungnya meninggal, anak sering percaya bahwa hal itu terjadi karena pikirannya atau karena ia telah berbuat nakal sehingga kakak/adiknya mati.

Bagaimana Reaksi “Normal” Anak pada Kematian
Anak-anak yang saudara atau orangtuanya meninggal akan sangat terkejut dan bingung. Apalagi, biasanya, pada saat itu tidak ada anggota keluarga yang bisa membantu mereka karena semuanya sama-sama terkejut dan berduka sehingga tak mampu bertanggungjawab merawat anak-anak seperti biasanya.

Orangtua musti menyadari respon normal anak-anak terhadap kematian di dalam keluarganya, serta tanda-tanda bahaya. Menurut para psikolog anak dan remaja, relatif normal kalau sampai beberapa minggu setelah kematian keluarganya, anak-anak menganggap anggota keluarganya itu masih hidup. Namun kalau sampai berbulan-bulan anak ini masih menolak kematian itu atau menghindari rasa duka itu merupakan respon yang tidak sehat dan bisa menjadi gangguan yang lebih berat.

Seorang anak yang takut menghadiri upacara pemakaman jangan dipaksa untuk pergi. Namun sebaiknya ia mengikuti kegiatan kebaktian atau berdoa bersama, salat jenasah atau salat ghoib. Ia bisa ikut menyalakan lilin, berdoa atau mengunjungi tempat pemakaman.

Begitu anak-anak bisa menerima kematian, mereka akan menunjukkan perasaan sedih berulang kali dalam rentang waktu yang sangat panjang, dan acapkali pada saat-saat yang tidak terduga. Kerabat yang masih hidup musti meluangkan banyak waktu bersama dengan anak ini untuk meyakinkan bahwa ia bisa mengungkapkan perasaan-perasaannya secar terbuka dan bebas.

Jika orang yang telah mati memiliki posisi penting dalam stabilitas dunia anak-anak, reaksi alamiah anak-anak adalah marah. Kemarahan ini bisa ditunjukkan dalam permainan yang riuh, mimpi buruk, amok atau banyak perilaku lainnya. Tidak jarang anak ini marah kepada anggota keluarga yang masih hidup.

Setelah salah seorang atau kedua orangtuanya wafat, banyak anak bertingkah lebih muda daripada seharusnya alias kekanak-kanakan atau kebayi-bayian. Untuk sementara ia menjadi “bayi” kembali, minta disuapi, diberi perhatian berlebih, dielus, dan bicara seperti bayi.

Anak-anak yang masih kecil biasanya meyakini kalau merekalah penyebab apa yang terjadi di sekitar mereka. Anak kecil mungkin percaya kalau orangtua, kakek-nenek, atau saudaranya meninggal karena ia pernah “berharap” orang itu mati. Anak ini merasa bersalah karena keinginannya “menjadi kenyataan.”

Tanda-tanda Bahaya
Karena itu, orangtua musti mewaspadai tanda-tanda bahaya seperti di bawah ini”
 Masa depresi yang terlalu lama, di mana anak kehilangan minat pada kegiatan dan kejadian sehari-hari.
 Sulit tidur, tidak berselera makan, terus menerus takut sendirian untuk waktu yang lama.
 Bertingkah kebayi-bayian dalam waktu yang sangat lama.
 Berlebihan menirukan orang yang meninggal. Mengulang-ulang pernyataan ingin ikut orang yang wafat.
 Tidak mau berkawan dan bergaul lagi.
 Prestasi sekolah menurun tajam atau malah tidak mau pergi sekolah.
Ini semua merupakan pertanda diperlukannya bantuan profesional. Psikolog atau psikiater anak bisa membantu anak ini untuk menerima kematian dan membantu keluarga dan kerabat lainnya supaya bisa menolong anak ini melewati proses berduka.

Mengatasi Rasa Bersalah pada Anak-anak
Rasa bersalah merupakan reaksi khas terhadap kematian, pada umur berapa pun, sehingga orangtua musti berhati-hati untuk tidak meremehkannya. Perasaan ini bisa sangat mempengaruhi kemampuan anak mengekspresikan dirinya dan untuk sembuh dari pikiran yang menyakitkan itu.

Orangtua musti menyadari bahwa pikiran anak bahwa ia “bertanggungjawab” atas kematian seseorang jangan sampai diabaikan begitu saja. Ungkapan mereka semacam itu musti didengar baik-baik, lalu menenangkan mereka bahwa kematian itu bukan kesalahan mereka. Orangtua juga musti mendorong anak untuk mengeluarkan seluruh perasaannya dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan terbuka yang memungkinkan dialog berlanjut.

Jawaban orangtua seperti “jangan aneh-aneh” atau “jangan salahkan dirimu” hanya akan membuat anak menyembunyikan rasa sakitnya. Pernyataan seperti itu sama sekali tidak akan meyakinkan anak bahwa ia bebas dari kesalahan.

Kehilangan adalah bagian integral proses kematangan anak. Tanpanya, kita akan gagal membangun fungsi mekanisma untuk mengatasi persoalan yang penting dalam membawa kita melewati berbagai krisis kehidupan.

Ingat, sebagai orang dewasa, kita memiliki kriteria yang berbeda dalam menghadapi kematian dan duka dibandingkan anak-anak atau remaja. Sebagian orangtua mungkin merasa kalau anaknya tidak berduka “secara normal.” Kenormalan ini tak bisa diukur dengan memakai penggaris orang dewasa, tapi harus disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan anak. DB

Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D
Untuk konsultasi dan permintaan seminar – workshop, silahkan menghubungi Intan di 0813-1641-0088.

No comments:

Post a Comment