Wednesday 23 March 2011

Matematika Itu Menyenangkan Lho!

Matematika Itu Menyenangkan Lho!

Oleh: Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D


Kebanyakan orangtua ketika bertemu dengan matematika akan lebih banyak mengerutkan kening daripada menyungging senyum. Tidak sedikit yang dulu punya kenangan buruk bersama pelajaran yang satu ini. Hanya sedikit yang benar-benar mengerti tentang matematika. Yang jelas, kalau berurusan dengan duit pasti tidak ada orangtua yang meleset! Ha ha, bukankah ini lebih realistis dibandingkan hitungan integral, bilangan negatif, dan rumus-rumus lainnya. Namun ini bukan berarti orangtua bisa lepas tangan dan menyerahkan semuanya kepada guru. Lalu bagaimana caranya agar kita bisa membantu anak-anak menyukai matematika?

Beberapa tahun lalu, saya dihenyakkan oleh sebuah lokakarya untuk para guru yang difasilitasi oleh departemen Matematika ITB. Pertemuan tersebut membuat para peserta manggut-manggut menyadari kekeliruan mereka selama ini. Para ahli matematika itu menunjukkan bahwa matematika sungguh menyenangkan.

Pertama-tama kami dikenalkan dengan soal hitungan. Katakanlah 30 x 15. yang ditanyakan tentu saja jawabannya berapa? Soal begini tentu saja mudah. Hampir semua orangtua, apalagi guru, bisa menjawab soal ini dengan cepat. Tapi komentar Iwan Pranoto, dosen matematika ITB, sungguh bikin keki. Dia bilang, "Bu, Pak. Kalau soal beginian bukan matematika namanya, karena tidak memakai otak." Tentu saja semua tidak setuju. "Coba, di mana letak tidak pakai otaknya Pak Iwan?" tanya seorang bapak. "Mudah saja. Kalkulator saya seharga lima ribu perak pun pasti bisa menjawabnya. Mudah kan? Tidak pakai otak kan?" yakinnya. Tidak seorang pun tertawa. Tampaknya para guru dan orangtua mencoba meyakini bahwa hitungan macam ini tidak ada otaknya.

Matematika Kok Pakai Otot
Iwan meneruskan, “Saat ini banyak sekali yang kita ajarkan tentang Matematika sama sekali tidak berdasar otak, tapi lebih ke otot.” Ia kemudian merujuk pada tren belakangan ini di mana orangtua berlomba-lomba memasukkan anaknya ke kursus-kursus matematika seperti sempoa dan kumon, juga olimpiade Matematika. Menurutnya, belajar sempoa atau metoda apa pun yang digunakan untuk bisa menghitung lebih cepat, relatif tidak menggunakan otak. “Yang mereka pakai cuma otot,” tandasnya sambil mengangkat tangan kanannya dan memperlihatkan otot bisep yang menyembul di sana.

Untuk membuktikan pernyataannya tentang kursus-kursus matematika yang menjamur, Iwan bereksperimen dengan sejumlah soal cerita. Ternyata, anak-anak yang "pintar" di kursus-kursus tersebut kelabakan menyelesaikannya. Problemnya? Matematika itu persoalan nalar, otak. Bukan hanya kecepatan menghitung.

Biarkan Anak Mencari Jawabannya Sendiri
Masih tidak percaya? Mari, kami ajak Anda untuk kembali ke ruangan lokakarya tersebut. Atmosfir ruangan berubah semakin hangat saat para guru dan orangtua dipertemukan dengan kesalahan-kesalahan cara mengajarkan matematika terhadap anak-anak. Seringkali anak-anak kita ajarkan dengan menggunakan jalan pintas ketimbang menemukannya sendiri.

Ini contoh lainnya yang menarik lagi. Ada dua pertanyaan:
1. Mengapa kalau kita membuat perkalian, selalu di mulai dari belakang?
.........................123
.............................5 x
Perhatikan angka lima di bawah angka 3

2. Tetapi jika modelmya pembagian, justru angka pembaginya itu diletakkan di depan
contoh: 2/ 123 \ = ....
Perhatikan angka 2 yang berada di depan bilangan 123

Padahal ternyata bisa juga dimulai dari mana pun. Memangnya tidak boleh kalau
mengalikan sesuatu dimulai dari ratusan, puluhan lalu satuan? Pada contoh di
atas, perkalian 123 x 5 bisa diselesaikan dengan mengalikan ratusan, lalu puluhan,
lalu satuan. Jadi, tidak musti dimulai dulu dari satuan, terus ke puluhan, terus ke ribuan.

Sambil menjelaskan, Iwan menyisipkan penjelasan tentang alat peraga bernama multi base system. Alat peraga ini berfungsi efektif untuk – selain menghitung juga mengenalkan dimensi kepada anak yang sudah sekolah. Satuan diwakili dengan kancing, puluhan (berisi angka sepuluh) diibaratkan satu penggaris, ratusan dicontohkan dengan bungkus cd berbentuk kubus. Lalu ribuan, merupakan jumlah kepingan bungkus cd yang berjumlah 10.

Penjelasannya, bungkus cd yang mewakili ratusan mengenalkan luas – bayangkan ada 10 penggaris yang disusun ke samping. Sedangkan ribuan, mengenalkan bentuk tiga dimensi. Ada volume di sana – bayangkan 10 keping cd yang disusun. Jadi, selain berhitung, siswa juga diajarkan mengenali bentuk, memahami ruang, memahami luas dan volume. Bagaimana dengan pengalaman Anda? Tidak pernah kan ketika sekolah dulu mendapat pelajaran seperti ini?

"Nah, biarkanlah anak dan siswa mencoba, eksplorasi, kreatif," saran Iwan. Jika anak dibiarkan mencari sendiri, nanti mereka akan bisa menemukan sendiri ternyata mengalikan dengan jumlah ratusan itu, jauh lebih lama dibandingkan dengan mengalikan dari belakang. "Tring!" (bayangkan gambar lampu menyala ada di atas kepala anak Anda). Anak akhirnya tahu cara yang paling efektif untuk menyelesaikan soal yang dihadapinya. Cara-cara seperti ini, tidak perlu dilakukan guru. Tapi biarkan anak-anak yang menemukannya sendiri. Explore and discover!

Matematika, pada dasarnya adalah bernalar, reasoning. Jadi, kuncinya bukan pada menghafal sejumlah rumus. Iwan mengimbuhi, “Rumus itu sebaiknya ditemukan, karena matematika juga berdasar pada pengenalan pola-pola.” Semakin lama menyimak penjelasan Iwan ini, kebanyakan orangtua larut dalam pikirannya sendiri. "Coba kalau anak saya nanti belajar dengan cara menyenangkan seperti ini. Pasti bakal mengalahkan bapaknya," begitu harapan mereka.

Matematika dari Tuhan vs Bikinan Manusia
Seorang ibu mengacungkan tangannya, "Bagaimana cara kita mengajarkan bilangan bulat yang relatif tidak logis?" Rupanya ia juga seorang guru. "Tidak logis apanya Bu," Iwan mencoba menelisik. "Begini Pak, saya sering kesulitan mengajarkan bilangan bulat negatif. Contohnya, negatif 2. Tidak logisnya adalah saat ia dikalikan dengan saudara yang juga negatif, tiba-tiba ia berubah positif. Kan kalau kita pakai logika berhutang misalnya, jadi tidak logis Pak. Masak hutang 3 dikali hutang 3, malah jadi punya penghasilan berjumlah 9?" Peserta lain manggut-manggut, seakan mengamini pemikiran Ibu guru tersebut.

Di bagian ini Iwan menjelaskan semacam doktrin teologis. “Memang benar Bu. Konon katanya bilangan yang asli dari Tuhan itu hanya 1 sampai dengan 9. Selebihnya adalah buatan manusia. 0 buatan manusia, -2, -3, buatan manusia, 1/4/ 1/5 buatan manusia juga. Jadi yang betul-betul asli itu memang dari 1 sampai dengan 9.”

Iwan meneruskan, "Pertanyaan yang ibu sampaikan tadi merupakan salah satu contoh pengajaran matematika yang tidak berdasar pada realitas. Seringkali kita mencekoki siswa dengan hal-hal yang abstrak, tidak nyata. Akibatnya siswa kesulitan memahami matematika yang sepertinya melangit, mengawang-awang! Tapi bukan berarti bilangan bulat negatif dan sebagainya tidak berguna lho Bu! Banyak untungnya juga lho bilangan-bilangan ciptaan manusia.”

Untuk lebih membuat peserta faham, Iwan memberikan contoh. Jika ada orang membeli barang seharga Rp 750,00 dan ia menyodorkan uang lima ribuan, maka berapakah kembaliannya?" Hampir seluruh isi ruangan dengan cepat dan seperti berlomba berteriak, “Empat ribu dua ratus lima puluh!” Iwan tersenyum mendengarnya dan meneruskan, “Tentu semua bisa cepat menjawab, tapi pertanyaannya belum selesai. “Apa yang biasa dilakukan pedagang saat menyerahkan uang kembaliannya kepada pembeli? Apakah dengan membuat coretan seperti ini?”
...5000
.....750_
...4250

“Ternyata tidak! Apa yang dilakukan pedagang biasanya menggenapkan uang 750 dengan 250 rupiah, lalu menambahkan uang ribuan satu persatu: ...dua ribu, tiga ribu, empat ribu, lima ribu. Lengkap sudah!” Sebagian wajah peserta tampak terperangah, seperti mulai mengerti arah penjelasan dosen yang kerap menulis di Jurnal Matematika di Jepang ini. Lalu ia mengingatkan, “Bu, Pak, mohon maaf, tapi cara-cara pengembalian uang seperti pedagang ini jarang kita ajarkan kepada anak-anak kan? Yang kita ajarkan selalu membuat coretan dengan mengurangi bilangan yang besar dulu, kemudian bilangan yang kecil.” Kini peserta seperti baru saja dicemplungkan ke dalam kolam dingin. Tersadar, mereka pun berkali-kali manggut-manggut. "Benar juga ya," di sana-sini terdengar gumaman.

Lalu, sebelum menutup perjumpaan, Iwan yang umurnya berkepala empat ini lagi-lagi memberi amaran. “Yang ingin saya sampaikan adalah mari kita mulai mengenalkan matematika dengan fun, asyik. Selama ini kita terlalu serius mengajarkannya. Mengajarkan sekian banyak rumus yang tidak pernah dicari tahu dari mana datangnya, mengenalkan sekian banyak hitungan tanpa menggali bahwa matematika itu sebetulnya berkaitan dengan kreativitas. Pengenalan pola-pola!” DB


Ari Legowo, Dosen Mechanical Engineering di International Islamic University Malaysia (IIUM), ayah satu putri (Amaliyah Miyazono Legowo).
“Bikin puisi juga perlu matematika”

Menurut dosen IIUM ini, matematika penting untuk semua disiplin ilmu. “Semuanya menggunakan matematika dan turunannya, baik itu logika, aritmatika, aljabar, geometri, kalkulus; walaupun memang kadarnya berbeda. Kalau ekonomi paling banyak menggunakan aritmatik dan logika saja, ilmu hukum menggunakan unsur logika dan aritmatika sederhana, kedokteran menggunakan statistik, logika, sampai ilmu seni juga menggunakan geometri dan logika. bikin puisi juga perlu matematika lho,” urainya panjang lebar.

Sebagai orangtua yang memiliki latar belakang pendidikan eksata, Ari sadar betul bahwa matematika sangat penting untuk semua aspek kehidupan. “Saya sudah mengajarkan matematika pada Lea sejak dini, saat dia sudah bisa diajak berkomunikasi kira-kira menjelang 1 tahun,” akunya.

Pertama kali Ari memberikan putrinya mainan berupa balok dari kayu yang bisa disusun. “Saya takjub melihat imajinasi Lea, dia menyusun balok-balok itu jadi berbagai bentuk sesuai dengan apa saja yang pernah dilihatnya sehari-hari. Dia juga bisa menceritakan balok-balok yang sudah disusun,” terangnya.

Ari juga mengakui, “Kadang Lea lebih cepat menangkap masalah matematika setelah diajar guru di sekolah, mungkin karena ada unsur persaingan dengan teman ya, jadi dia merasa harus bisa seperti teman-temannya di sekolah atau mungkin lebih takut sama guru, he he he...,” gelak ahli aeronautika ini. DB

TIPS dari Dr. Ari Legowo untuk orangtua dalam mengajar matematika kepada anak-anak:
• Pacu anak dengan membacakan cerita yang memiliki banyak unsur science, cerita yang melibatkan bentuk-bentuk yang mudah diingat anak, atau tebak-tebakan angka.
• Jangan memaksakan anak untuk cepat menguasai matematika, kalau anak kurang menyukai matematika. Cobalah menyamarkan dengan bercerita tentang logika, dan hitungan. DB

Sumber Penulisan:
- Dr. Iwan Pranoto, Departemen Matematika, Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesha 10, Bandung 40132. E-mail: pranoto@dns.math.itb.ac.id.
- Dr. Arilegowo, Department of Mechanical Engineering, International Islamic University Malaysia.

No comments:

Post a Comment