Sunday 8 July 2012

Tuhan Yang Tersayang

Tuhan Yang Tersayang



Selamat pagi, Tuhan yang Mahabaik. Aku tahu Engkau sudah mengenalku sejak lama, tapi kata Mama, kepada siapa pun aku harus memperkenalkan diri terlebih dahulu; jadi, namaku Talitha. Bulan lalu, aku ulang tahun ke sebelas dan sekarang kelas empat SD. Kau tahu, surat ini kuketik dengan menggunakan laptop pemberian Papa dan Mama dan kucetak dengan printer kado dari Paman, adik ayahku.

Sejak kecil aku memang sulit sekali menulis dengan jari-jariku yang jumlahnya genap itu. Kata dokter yang memeriksaku ketika TK dulu, aku menderita disgrafia dan aspesger. Dia bilang kalau IQ-ku 138, tiga angka lagi aku bisa disebut genius. Tapi entah kenapa, aku kadang-kadang malah sulit sekali menangkap pelajaran di sekolah. Dan kalau melihat tulisanku yang miring ke sana ke mari, kebanyakan teman menyebutku bodoh. Bahkan ada beberapa guru yang juga menganggapku begitu. Baru melihat kertas ulanganku saja, mereka sudah memberi nilai jelek, padahal belum sempat membaca seluruh jawabanku.

Mama membawaku ke dokter setelah ia lelah mengajariku memegang pinsil. Ya, aku memang tak pernah bisa memegang krayon, pinsil, kapur, dan bolpen dengan baik. Kalau ia menyodorkan buku mewarnai, coretan krayonku malah mencuat ke mana-mana. Aku sudah berusaha keras, tapi tanganku terasa kaku, akibatnya huruf yang kubuat nyaris tak terbaca. Tanganku selalu kotor terkena spidol dan tinta yang belepotan di seluruh jariku.

Begitu aku naik ke kelas dua SD, tidak satu pun teman sekelasku yang mau memeriksa kertas ulanganku; padahal Ibu Guru selalu meminta kami untuk saling bertukar kertas ulangan untuk memberi nilai sesuai jawaban yang dia diktekan di depan. Aku bisa memaklumi teman-temanku, karena mereka tak bisa membaca tulisanku. Ada satu orang yang bisa, Maria, tapi sayangnya, dia sudah pindah ke Yogya.

Tuhan, kata dokter, otakku tidak bisa mengontrol apa yang dilakukan tanganku. Dia bilang, syaraf-syaraf di jari dan tanganku sebenarnya sehat saja. Jariku bisa merasakan kalau aku sedang memegang krayon atau pinsil. Tapi entah kenapa, otakku tidak bisa memberi perintah yang benar pada syaraf di tanganku. Jadi, aku musti memegang pinsil itu dengan erat, nyaris mencengkeramnya, agar otakku tahu kalau aku benar-benar sedang memegang pinsil.

Karena itulah aku sebenarnya lebih senang menyampaikan segala sesuatu dengan mulutku. Aku mahir sekali bercerita dan mendongeng, juga mendikte. Sayangnya, tidak semua guru membolehkanku menjawab dengan ucapan. Mereka memaksaku untuk menulis. Kalau diminta membuat karangan tertulis tentang perjalanan liburan, aku merasa seperti mendapat hukuman seumur hidup. Seandainya aku boleh bercerita di depan, aku dengan senang hati akan menceritakan rumah masa kecil Bung Karno di Blitar. Aku juga akan bercerita bahwa pahatan wayang kulit di sana berbeda dari gaya Yogya, Solo maupun Madura.
Tuhan, aku sangat sedih karena dalam bidang seni, nilai-nilaiku sangat buruk. Banyak sekali pemandangan indah di dalam kepalaku, tetapi tak satu pun yang bisa kutorehkan di atas kertas.

Meski sedih, aku tidak mengeluh koq, Tuhan. Karena aku tahu, Engkau memberiku pikiran-pikiran yang tajam dan sedikit selera humor. Setiap kali pelajaran berdebat, aku menyambutnya dengan bersemangat. Wajahku berbinar-binar, dan teman-teman memujiku kalau sangat hebat dalam berpidato. Setiap kali ada diskusi di kelas, aku selalu menonjol. Dengan cara itulah aku berusaha mendapatkan nilai-nilaiku.

Bila ada orang bertanya apa cita-citaku, dengan cepat kujawab, “Pengacara!” Aku yakin kalau aku akan berhasil di bidang itu. Aku ingin memeriksa kasus-kasus, seperti yang kulihat di televisi. Aku akan memaparkan semua kasus itu dengan jujur. Kata Papa, semuanya akan sia-sia kalau aku tidak jujur. Aku setuju.

Tuhan, aku menulis surat ini sebagai ungkapan terimakasihku karena Engkau telah membuatku sebagai anak yang istimewa. Kau menegaskan bahwa aku adalah ciptaanMu yang luar biasa. Kau juga meyakinkanku kalau Engkau akan setia menjagaku. Engkau tidak akan pernah meninggalkanku. Kau punya rencana sempurna untukku. Kau pasti memberiku masa depan dan harapan.

Mama dan Papa juga selalu mendorongku. Karena itulah, mereka menghadiahiku laptop untuk kubawa ke sekolah. Dan, syukurlah, Kepala Sekolah dan guru-guruku membolehkannya.

Tuhan, sekali lagi, aku sangat bersyukur karena Engkau memberiku karunia luar biasa. Memang hidupku kadang terasa berat, tapi aku malah senang karena Engkau memberi kesempatan-kesempatan yang hanya khusus untukku. Terimakasih telah memercayaiku untuk bisa mengatasi segala tantangan ini. Terimakasih telah menyintaiku tanpa syarat.

Aku yang juga menyintaimu,
Talitha.

No comments:

Post a Comment