Tuesday 10 July 2012

Pedoman Untuk Ayah Baru

Guide For A Rookie Dad

Ketika anak lelaki pertama kami lahir, aku belum lulus kuliah dan masih baru mulai bekerja, yang berarti, selain karena belum punya banyak uang, aku cukup banyak berada di rumah menemani istri dan bayiku. Kadang-kadang, kalau aku melihat ia kelelahan, aku berusaha membantu dengan menyuruhnya tidur. “Jangan khawatir,” ucapku kepada Intan. “Aku akan menjaganya. Kau beristirahat saja.”
Sayangnya, Azza mulai rewel. Aku berusaha menenangkannya. Tetapi baru sebentar sudah terdengar duk, duk, duk, suara kaki Intan menuruni tangga seakan-akan rumah kebakaran. Walau ia tak pernah mengucapkan kata-kata ini, namun urgensi gerakannya dan bahasa tubuhnya meneriakkan, “Apa yang kau lakukan sampai membuat bayiku menangis?!” Seakan-akan ia tahu, hanya dalam sepersekian detik, apa yang tengah terjadi dan apa yang harus ia lakukan.
Lama kelamaan kami suka mencandai keadaan itu, namun pada awalnya aku menganggapnya sebagai ketakpercayaan dan interferensi. Aku ingin punya kesempatan belajar menenangkan Azza sendiri. Dan aku butuh waktu dan ruang agar berhasil. Aku tak akan mencapai apa-apa kalau setiap kali aku diselamatkan.
Apa yang tidak kusadari adalah bahwa perilaku istriku lebih banyak disebabkan oleh dirinya sendiri daripada soal diriku. Aku tak memahami tekanan yang ia rasakan untuk secara kilat menjadi seorang ibu yang mampu maupun kebutuhannya yang sangat besar untuk membawa keteraturan pada dunianya yang mendadak berubah. Dan itu berarti mampu tenang bersama bayinya.
Tampaknya janggal memulai tulisan tentang hubungan ayah dan bayinya dengan kisah mengenai ayah dan ibu. Akan tetapi, menurutku, memang dari titik itulah kita musti mulai karena, bila seorang ibu punya ikatan langsung dengan bayinya, hubungan seorang ayah adalah melalui sang ibu dan, pada awalnya, hubungan ayah-bayi tidak bisa sama sekali meniadakan sang ibu.
Bila seorang ayah baru ingin membangun hubungannya bayinya ia harus ingat bahwa hubungan itu berkembang di dalam konteks hubungan ibu-bayi. Kalau kita tidak memahami hal ini, kita akan tersandung masalah.
***

Ada kalanya kita merasa tak perlu memikirkan hal ini. Peran-peran jender jelas terbagi dan bayi dianggap wilayah wanita. Namun sekarang, para ayah sudah menginvasi kawasan itu. Dalam budaya kita, kebanyakan ayah ingin – dan mulai diharapkan oleh masyarakat – untuk terlibat dengan bayi mereka. Ini memang baik. Namun kita perlu ingat bahwa sebagian realitas masa lalu masih kukuh berdiri sampai sekarang.
Perempuan masih secara sosial dan biologis diprogram menjadi orangtua jauh lebih kuat daripada laki-laki. Para ibu merasa “berwenang” atas bayinya dan, di kebanyakan keluarga, mereka menerima peran itu sejak dini. Jadi, ketika seorang ayah melangkah untuk menggendong bayinya, ia seperti tentara asing yang masuk wilayah negara lain. Karenanya, ia perlu sedikit memahami dunia itu.
Hal pertama yang musti cepat disadari adalah betapa dalam hubungan ibu dengan anaknya. Ia mencintai, atau paling tidak jatuh cinta. Jelas tak sama dengan cinta kepada kekasih, tetapi intensitas emosionalnya dan obsesinya serupa. Kadang-kadang ia bertindak seakan-akan dunia ini milik mereka berdua – sisanya sama sekali tidak relevan.
Ayah yang perhatian akan segera menangkap hal ini dan merasakan kalau ada sesuatu yang sangat penting yang terjadi antara istrinya dan bayi barunya. Banyak ayah yang terpesona terhadap hubungan tersebut dan lebih memilih untuk menjaga jarak agar tak mengganggu relasi indah itu.
Dari satu sisi, sikap membiarkan ini baik karena hubungan ibu-bayi yang baru tumbuh itu perlu didukung. Dan ayah bisa memainkan peran penting dengan “mothering the mother.” Akan tetapi, ayah juga perlu mengembangkan ikatan emosional dengan bayinya, yang berarti ia juga harus turut campur mengasuh, merawat dan meluangkan cukup waktu dengan bayinya; meski itu berarti ia terpaksa menjadi seorang “intruder.” • Dono Baswardono (dono.baswardono@gmail.com)




Pedoman Praktis untuk Ayah Baru
Menggendong bayi. Selendang dan ransel memungkinkan Anda berdekatan dengan bayi tanpa harus menyibukkan kedua tangan Anda. Bayi biasanya tenang di dalam gendongan – dan ini kemudian menguatkan ikatan emosional antara ia dan Anda.

Lengan Anda = Bantal Nyaman. Kalau bayi Anda selalu mencari payudara ketika Anda menggendongnya, cobalah posisi ini: pegang bayi Anda telungkup dengan pipinya menempel pada bagian lembut lengan bawah Anda dan tangan Anda melingkupi kelangkangnya. Ada yang mengatakan posisi ini membuat bayi bisa mengeluarkan gas sehingga tidak kembung. Saya tak tahu pasti, namun yang jelas lengan lelaki tampaknya pas dengan kepala bayi.

Nyanyikan Lagu. Bernyanyi adalah cara terbaik untuk mendapat respon bayi Anda; ia akan menatap Anda lekat-lekat. Jangan pedulikan apa yang Anda nyanyikan dan bagaimana suara Anda.

Kembangkan Gaya Anda. Memang sulit bagi seorang ayah mengembangkan gaya pengasuhan sendiri kalau istrinya selalu mengawasi di balik bahunya. Bagaimanapun, usahakanlah karena itu penting. Berduaanlah dengan bayi Anda, bisa dimulai selama 10 – 15 menit, kemudian bertahap makin lama. Pagi hari adalah waktu yang tepat untuk mencoba ini karena biasanya bayi sedang dalam suasana hati enak, dan istri Anda masih membutuhkan tidur lebih lama.

Bermuka Badaklah. Istri Anda akan sering mengoreksi Anda. Acapkali ia seperti ingin segalanya dilakukan dengan caranya. Ini normal. Itu hanyalah caranya untuk mengatur keadaan yang kerap dirasanya tak terkendali (lagipula, kadang-kadang ia memang benar). Semua ini akan mereda begitu keyakinan dirinya menguat dan kepercayaannya terhadap kecakapan Anda makin besar. •

Dr. Dono Baswardono, Psych, Graph, AISEC, MA, PH.D - Marriage & Family Therapist
Untuk konsultasi, hubungi di 087881705466 atau pin 2849C490. :)

No comments:

Post a Comment