Thursday, 21 February 2013

Memahami Autisme - Bagian 8

Memahami Autisme
Berbagai Terapi Bagi Penyandang Autis
Bagian 8
 Bukan Untuk Menyembuhkan, Tapi Untuk Mengontrol Gejala


Terapi Perilaku
Terapi perilaku yang dikenal adalah ABA (Applied Behavioral Analysis) yang diciptakan oleh O. Ivar Lovaas PhD dari University of California Los Angles (UCLA). Sering disebut sebagai terapi Lovaas.
Terapi ini berupaya untuk melakukan perubahan pada anak autistik dalam arti perilaku yang berlebihan dikurangi dan perilaku yang berkekurangan (belum ada) ditambahkan.
Dalam terapi ini, anak biasanya dilatih 5x8 jam dalam seminggu dan diajarkan secara one on one. Anak diajarkan perintah sederhana seperti duduk, melihat mata, berdiri, dst. Diharapkan dengan mengikuti terapi ini anak mampu memahami perintah dan patuh terhadap perintah.
Sekarang ABA telah mengalami modifikasi dari sistem terapi yang kaku dan keras menjadi lebih fleksibel. Tujuannya agar anak menjadi nyaman dan tidak malah menjadi 'robot'.
Fokus penanganan terletak pada pemberian reinforcement (penguatan) positif atau reward setiap kali anak berespons benar sesuai instruksi yang diberikan. Tidak ada hukuman (punishment), tetapi bila anak berespons negatif (salah/tidak tepat) atau tidak berespons sama sekali maka ia tidak mendapatkan reinforcement positif yang ia sukai tersebut. Dengan begitu, diharapkan anak meningkatkan kemungkinan anak untuk berespons positif dan mengurangi kemungkinan ia berespons negatif (atau tidak berespons) terhadap instruksi yang diberikan.

Terapi Okupasi
Biasanya, motorik halus pada anak-anak autis tidak baik, lemah dan tidak terampil, gerak-geriknya kaku dan kasar. Karena itu perlu distimulasi melalui terapi okupasi untuk melatih keterampilan motorik halusnya dengan benar. Umumnya yang dilatih berhubungan dengan tangan dan jari-jari seperti: menjentik, menggenggam, memegang pensil, menjumput, menempel, menggunting, dll.

Terapi Wicara
Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam berbicara dan berbahasa. Anak-anak tersebut biasanya mengalami keterlambatan bicara atau bahkan sama sekali tidak mau berbicara. Oleh karena itu, terapi wicara diperlukan untuk melatih otot-otot mulut anak agar bisa berbicara dengan baik.
Hal yang perlu diperhatikan orangtua sebelum mengikutkan anak dalam terapi wicara adalah setidaknya anak sudah mulai mau berusaha mengeluarkan suara atau meniru kata-kata yang diucapkan orang lain.

Terapi Sensori Integrasi (SI)
Merangsang pengorganisasian informasi melalui sensori-sensori (sentuhan, gerakan, kesadaran tubuh dan gravitasi keseimbangan/penciuman, pengecapan dan pendengaran). Tujuan terapi ini anak mampu memroses berbagai informasi sensorik yang kompleks dengan lebih baik.
Misalnya anak sangat sensitif terhadap sinar, maka dalam terapi ini anak dibiasakan dengan cahaya, anak diperkenalkan dengan tempat terang dan gelap. Contohnya menggunakan lampu disko dengan maksud melatih anak untuk beradapatasi dengan cahaya.
Umumnya anak autis tidak suka dengan sentuhan lembut, misalnya dipeluk atau dielus kepalanya akan menolak. Untuk itu anak bisa dilatih beradaptasi dengan menyikat tubuh anak dengan sikat halus.
Terapi Diet CFGF (Casein Free – Gluten Free)
Anak-anak autis biasanya memiliki daya tahan tubuh yang kurang baik. Menurut para pakar ditemukan banyak gangguan metabolisme pada tubuh anak autis. Hal ini bisa disebabkan oleh infeksi virus, jamur atau bakteri, terutama dalam usus. Adanya gangguan pencernaan yang menyebabkan berbagai macam alergi makanan, keracunan logam berat, seperti timbal, air raksa, dan arsenik. Akibatnya, terjadi gangguan kekebalan tubuh (imunodefisiensi) sehingga anak sering sakit.
Juga diakibatkan banyaknya exorphin (casomorphin dan gliadorphin) yaitu protein yang berasal dari casein (susu sapi) dan gluten (protein gandum) yang tidak dapat dicerna anak. Sehingga memberikan efek seperti morphin. Fungsi otak yang dipengaruhi morphin adalah bidang perilaku, perhatian, kecerdasan dan emosi.
Karena itu, diberlakukan pola makan atau diet makanan untuk anak autis dan hiperaktif yang dikenal dengan Gluten Free Casein Free (GFCF). Jadi, anak diet susu sapi dan protein gandum, misalnya roti, mi, sereal dan biskuit.
Kalau begitu, tidak semua anak-anak autis perlu diet. Dilihat dari respon anak terhadap makanan tertentu. Umumnya sekitar 70-80% anak-anak autis perlu diet CFGF, sedangkan sisanya 20-30% diet tidak berpengaruh sama sekali.
Cara mudah dan murah untuk melihat apakah anak autis perlu diet atau tidak adalah dengan mencoba melakukan diet CFGF terlebih dahulu. Lakukan diet sekitar 4 bulan dan dilihat apakah ada perubahan pada anak. Hal ini perlu waktu, observasi dan kesabaran.
Jika setelah melakukan diet CFGF anak menjadi lebih mudah tidur, hiperaktifnya berkurang, menjadi lebih mudah patuh, maka ada perubahan perilaku pada anak tersebut. Setelah 4 bulan, anak diberi lagi makanan yang mengandung casein dan gluten, jika gejala autisme muncul kembali maka anak perlu diet.
Selain cara di atas, lebih praktis melakukan tes darah untuk mengetahui adanya food alergy atau tidak. Tetapi proses ini sangat memerlukan biaya yang relatif mahal pasalnya sampel musti dikirim ke Amerika terlebih dahulu. Semua terapi di atas dilakukan secara bertahap diseuaikan dengan kondisi dan kebutuhan anak.

Mengontrol Gejala, Bukan Menyembuhkan
Pemberian obat untuk anak autis ditujukan untuk mengontrol gejala-gejala autis, bukan untuk menyembuhkan. Autis bukanlah penyakit, melainkan gangguan. Sampai sekarang belum ada obat yang bisa menyembuhkan gangguan autisme.
Pemberian obat-obatan autisme diperlukan bagi anak autis yang sangat agresif dengan maksud mengurangi agresivitas anak yang sekiranya membahayakan. Pemberian obat tersebut sudah melalui penelitian yang panjang bagi anak-anak autism dan sudah mendapat persetujuan dari FDA (Food and Drugs Administration), yakni pemberian risperidon. Dengan taraf tertentu, pemberian obat tersebut bisa menyebabkan komunikasi anak autis menjadi lebih baik.
Selain itu, anak autis cenderung hiperaktif yang menyebabkan susah fokus atau memusatkan atensinya. Jika hiperaktifnya sanagt menonjol dan mengganggu, bisa ditambahkan dengan pemberian obat hiperaktif seperti Metilfenidat. Obat untuk mengurangi hiperaktif ini biasanya baru boleh diberikan saat anak berusia 6 tahun ke atas.
Pemberian semua dosis obat untuk anak autis berbeda-beda, disesuaikan dengan usia dan kebutuhannya. Tidak semua anak berespon terhadap obat-obat yang diberikan. Jika tidak betrespon maka anak autis tidak perlu mengonsumsi obat-obatan. Karena itu lah reaksi obat pada anak berbeda-beda dan perlu observasi lebih lanjut. DB
Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D – Marriage & Family Therapist, Sexologist, Psychoanalyst, Graphologist. Untuk konsultasi, hubungi Hita di 0878-8170-5466 atau pin 2849C490.

1 comment:

  1. Pusat Terapi dan Tumbuh Kembang Anak (PTTKA) Rumah Sahabat Yogyakarta melayani deteksi dini anak berkebutuhan khusus dengan psikolog, terapi wicara, sensori integrasi, fisioterapi, behavior terapi, Renang& musik untuk anak berkebutuhan khusus, terapi terpadu untuk autism, ADD, ADHD, home visit terapi & program pendampingan ke sekolah umum. informasi lebih lanjut hubungi 0274 8267882 atau buka www.pttkarumahsahabat.com

    ReplyDelete