Memahami Autisme
Sejuta Anak Indonesia Menyandang Autisme
Bagian 1
“Kadang-kadang, berhenti adalah bagian paling penting dari perjalanan kita...”
Awal April lalu, PBB menetapkannya sebagai Hari Memahami Autisme Sedunia. Mengapa ada kata ‘Memahami’nya? Walau kata ‘autis’ cukup dikenal – terbukti dari banyaknya tulisan mengenai hal ini di media, begitu pula dengan sederetan seminar populer – namun ternyata tidak banyak orang yang betul-betul memahami soal ‘spektrum gangguan’ ini. Bahkan para orangtua dari anak-anak penyandang autisme sekali pun. Maklum, khususnya di Indonesia, tidak sedikit penulis yang menyajikan artikel tentang autisme secara keliru; baik di koran, majalah maupun blog. Banyak pula seminar tentang autisme menghadirkan pakar yang tidak memiliki kompetensi. Begitulah, masih belum ada kesadaran di kalangan cendekiawan Indonesia, untuk menolak ‘rejeki’ berseminar dengan jujur mengatakan kepada panitia yang mengundangnya, “Maaf, saya tidak berkompeten bicara tentang autisme. Silahkan saja hubungi dokter A atau doktor B yang memang meneliti tentang autisme.”
Autisme adalah Gangguan Perkembangan Kompleks
Autisme adalah gangguan perkembangan yang kompleks yang biasanya muncul pertama kali pada usia antara 0 – 3 tahun. Autisme ini disebabkan oleh gangguan syaraf yang mempengaruhi fungsi normal otak, khususnya pada bidang kecakapan berkomunikasi dan berinteraksi sosial. Baik anak-anak maupun orang dewasa berautis biasanya menunjukkan kesulitan dalam berkomunikasi verbal maupun non-verbal, berinteraksi sosial, serta kegiatan bermain atau bersenggang.
Autisme adalah salah satu dari lima gangguan (awam menyebutnya ‘penyakit.’ Yang benar adalah ‘gangguan.’) di bawah payung Gangguan Perkembangan Pervasif (PDD) – suatu kategori gangguan syaraf yang dicirikan oleh “kerusakan hebat dan besar pada beberapa bidang perkembangan.”
Sangat perlu difahami, autisme bukanlah suatu gangguan tunggal, melainkan suatu spektrum. Bayangkan saja spektrum cahaya, dari merah, jingga, hijau, sampai ungu. Artinya? Tiap anak/orang yang menderita autisme akan menunjukkan serangkaian perilaku yang berbeda-beda dan dengan derajad ringan-berat yang berbeda-beda pula.
Dua anak, dengan diagnosis yang sama, bisa berperilaku berbeda sama sekali satu sama lain dan mempunyai kemampuan yang berbeda pula. Jadi, tiap anak sangat unik. ‘Spektrum warna’nya berbeda dari anak lainnya. Tidak ada satu pun penyandang autisme yang sama.
Diperkirakan biaya seumur hidup merawat seorang anak dengan autisme antara $3,5 – 5 juta atau setara dengan 35 – 50 milyar Rupiah.
Seberapa Banyak Penyandangnya?
Autisme adalah PDD yang paling banyak. Pada Februari 2007, Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (the Centers for Disease Control and Prevention) menerbitkan laporan prevalensi autisme. Setiap 150 kelahiran, satu di antaranya menderita autisme. Secara kasar, ini berarti sekitar satu juta orang Indonesia sekarang menderita salah satu bentuk autisme. Dan jumlah ini terus meningkat.
Berdasarkan statistik, pertumbuhan autisme sekitar 10 – 17 persen per tahun. Dalam satu dasawarsa mendatang, diperkirakan penduduk Indonesia yang terkena autisme bisa mencapai 2,5 juta jiwa.
Meskipun prevalensi kejadian autisme di seluruh dunia sama, namun empat kali lebih banyak terkena pada anak laki-laki daripada anak perempuan.
Autisme tidak mengenal suku, ras, atau batas-batas sosial; tingkat pendapatan keluarga; pilihan gaya hidup; atau tingkat pendidikan. Ringkasnya, autisme bisa mengena pada setiap keluarga dan tiap anak.
Identifikasi Dini Bisa Mengubah Kehidupan
Anda mungkin pernah mendengar istilah yang berbeda-beda untuk menjelaskan anak-anak di dalam spektrum ini, seperti ‘mirip autistik,’ ‘kecenderungan autistik,’ ‘spektrum autisme,’ ‘autisme yang berfungsi tinggi atau rendah,’ dan ‘autisme yang lebih mampu atau kurang mampu.’ Namun lebih penting daripada istilah yang dipakai untuk menjelaskan autisme itu adalah memahami bahwa apa pun diagnosisnya, anak-anak penyandang autisme bisa belajar dan berfungsi normal serta menunjukkan perbaikan jika diberikan perawatan dan pendidikan yang tepat dan layak.
Setiap anak autis adalah seorang individu. Dan seperti semua individu lainnya, memiliki satu kepribadian dan kombinasi sifat-sifat yang unik. Sebagian individu dengan autisme ringan mungkin hanya menunjukkan keterlambatan bahasa dan sulit berinteraksi sosial. Mereka mungkin sulit mengawali dan/atau mempertahankan percakapan. Komunikasinya acap digambaran sebagai berbicara kepada orang lain alih-alih bercakap-cakap dengan orang lain (umpamanya, berbicara sendiri tentang masalah kesukaannya meskipun orang-orang lain berusaha menimpali dengan berbagai komentar).
Berikut ini beberapa tanda yang bisa Anda amati pada diri anak-anak Anda untuk menengarai apakah ia menderita autisme atau tidak:
• kurang mampu atau terlambat dalam bahasa ucap
• menggunakan bahasa secara berulang-ulang dan/atau perangai motorik yang repetitif (contohnya, tangan mengepak-ngepak seperti burung, memutar-mutar benda)
• sedikit atau tidak mau bertatap mata langsung
• kurang berminat berhubungan dengan teman sebaya
• kurang bermain spontan atau bermain pura-pura
• fiksasi yang kukuh pada bagian-bagian benda tertentu.
Kendala Menyatukan Pencerapan Indrawi
Bagi kebanyakan orang, integrasi panca indra membantu kita memahami apa yang tengah kita alami. Misalnya, indra peraba, pembauan dan perasa bekerja bersama-sama saat kita mengalami makan buah jeruk yang dikupas: merasakan kulit jeruk, baunya yang segar, dan jusnya meleleh turun melewati kerongkongan.
Bagi anak-anak penyandang autisme, integrasi panca indra ini termasuk hal yang sulit, sehingga mereka bisa menjadi berlebihan atau kurang aktif. Mengupas kulit jeruk sungguh-sungguh bisa dialami sebagai hal yang menyakitkan, dan bau jeruk bisa membuatnya muntah.
Sebagian anak autis sangat peka pada suara. Bahkan suara sehari-hari yang bagi kita sangat normal bisa terasa sangat menyakitkan bagi mereka. Banyak pakar merasa bahwa sebagian perilaku khas autisme, seperti daftar di atas, sebenarnya akibat dari gangguan integrasi panca indra.
Penyandang autisme juga memroses dan menanggapi informasi secara unik. Dalam beberapa kasus, perilaku agresif dan/atau melukai diri sendiri juga muncul. Orang/anak dengan autisme bisa pula memiliki ciri-ciri berikut ini:
• mendesak kesamaan; menolak perubahan
• sulit mengungkapkan kebutuhan-kebutuhannya; dengan memakai isyarat atau menunjuk alih-alih dengan kata-kata
• mengulangi kata-kata atau frasa alih-alih memakai bahasa responsif yang normal
• tertawa (dan/atau menangis) tanpa alasan jelas; menunjukkan kegelisahan dengan alasan-alasan yang tidak jelas bagi orang lain
• lebih suka sendirian; perangai menyisihkan diri
• tantrum (marah meledak-ledak)
• sulit bergaul dengan orang lain
• tak ingin memeluk atau dipeluk
• sedikit atau tidak mau bertatap mata
• tidak tanggap terhadap metoda-metoda pengajaran normal
• suka bermain sendiri
• memutar-mutar benda
• kelekatan obsesif pada benda-benda tertentu
• jelas sangat peka atau tidak peka pada rasa sakit
• tidak punya rasa takut nyata akan berbagai bahaya
• tampak kegiatan fisik yang sangat berlebihan atau sebaliknya diam ekstrim
• kecakapan motorik halus/kasar yang tak seimbang
• tidak tanggap pada pertanda verbal; bertingkah seakan-akan tuli, walau hasil tes pendengarannya normal.
(Coba lihat film ‘Mercury Rising’ yang dibintangi oleh Bruce Willis. Ciri-ciri di atas digambarkan dengan klasik oleh aktor muda Miko Hughes (Simon). Ia menggambarkan seorang anak penyandang autisme yang amat fokus mengisi teka-teki dan begitu cerdasnya hingga mampu membongkar kode rahasia ciptaan pakar komputer yang disembunyikan dalam majalah puzzle.)
Melawan Mitos
Sayang sekali, banyak mitos dan kekeliruan tentang autisme. Berlawanan dengan persepsi umum, banyak anak autistik yang bisa bertatap mata; walau memang kurang sering atau berbeda dari anak khas lainnya. Banyak anak autis bisa mengembangkan bahasa fungsional yang baik. Juga ada yang mengembangkan sejenis kecakapan komunikasi, seperti bahasa isyarat atau memakai gambar-gambar. Anak-anak ini tidak ‘mengatasi’ autisme, tetapi gejala-gejalanya bisa berkurang ketika usianya makin besar dan menerima perawatan yang tepat.
Salah satu mitos paling merusak tentang anak-anak autistik adalah mereka tidak dapat menunjukkan rasa sayang. Walau anak-anak ini memroses rangsangan indrawi secara berbeda, namun mereka dapat dan sungguh-sungguh bisa mengasihi. Hanya saja, memang membutuhkan kesabaran orangtua untuk menerima dan memberikan cinta kasihnya menurut syarat-syarat anak-anak ini.
Mengenai ungkapan kasih ini, saya sangat menyarankan Anda untuk menonton film pemenang Festifal Film Berlin ke-56, “Snow Cake.” Sigourney Weaver berperan sebagai Linda, seorang ibu penyandang autisme yang tinggal bersama putri tunggalnya yang normal dan kreatif, Vivienne (Jayne Eastwood). Linda bukan hanya mampu merawat anaknya, tetapi juga membanjirinya dengan perhatian, kegembiraan, dan kasih. Bahkan lebih dari yang biasa dilakukan oleh orangtua ‘normal’. DB
Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D – Marriage & Family Therapist, Sexologist, Psychoanalyst, Graphologist. Untuk konsultasi, hubungi Hita di 0878-8170-5466 atau pin 2849C490.
No comments:
Post a Comment