Wednesday, 28 August 2013

Bila Anak Terlalu Lengket

Mama, Aku Nggak Mau Ditinggal!

Tanya: Putri saya Keisha selalu menangis setiap pulang sekolah ketika saya tidak berada di rumah. Begitu pula kalau Keisha bangun tidur, saya tidak ada di sebelahnya. Pokoknya Keisha tidak bisa kalau tidak ada saya. Tentu hal ini merepotkan saya, padahal saya musti bekerja. Kadang saya musti keluar kota urusan pekerjaan. Bagaimana mengatasinya? Terima kasih. Tania-Pulomas

Jawab: Faktor Penyebab
1. Kelekatan berlebih anak terhadap orangtuanya. Anak hanya dekat dengan orangtuanya saja, tapi jarang merasakan interaksi dengan orang lain. Sehingga, ketika tidak ada orangtuanya, dia merasa tidak aman dan takut. Karena itu, orangtua musti sadar bahwa sikap orangtua yang terlampau melindungi atau mengarahkan perilau anak membuat buah hati cenderung ragu untuk berinisiatif dan takut jika tindakannya salah.
2. Pengalaman dibohongi orangtuanya. Mungkin sebelumnya orangtua pernah meninggalkan si kecil. Alhasil, anak merasa ditinggalkan orangtuanya diam-diam. Tindakan ini menyebabkan anak dibohongi dan dia pun lebih berjaga-jaga karena merasa takut ditinggalkan orangtuanya.

Kuncinya, Beri Penjelasan!
• Usahakan setiap kali hendak bepergian sampaikan kepada anak, Moms akan pergi ke mana, berapa lama dan mengapa, sehingga dia merasa tidak terabaikan. Misalnya, Mama pergi ke kantor dulu ya Nak. Nanti, Mama pulang pukul lima sore.
• Upayakan Moms melakukan komunikasi, menelepon, umpamanya. Carilah waktu yang tepat, misalnya saat anak pulang dari sekolah agar dia tidak menangis ketika tiba di rumah. Atau bila ada pengasuh yang mendampingi si kecil, Moms bisa memberikan kontak orangtua yang bisa dihubungi, sehingga anak bisa kapan saja menghubungi orangtuanya.
• Bila si kecil bersama pengasuhnya atau orang terdekatnya, Moms musti menyampaikan hal-hal yang harus dilakukan ketika anak menangis. Beritahu pula bagaimana cara mengalihkan perhatian anak saat ia menangis sepulang sekolah, seperti mengajak anak menonton film kesukaannya atau bermain.

Tip Agar Anak Bisa Ditinggal
• Tanamkan sikap berani dan kenyamanan kepada dirinya sendiri maupun orang lain. Bisa diajarkan lewat sosialisasi bersama teman sebaya, lingkungan baru atau aktivitas baru.
• Biasakan anak memiliki pola tidur yang konsisten, seperti bangun pagi, jam tidur siang dan malam yang teratur. Upaya ini adalah trik menghindarkan tangisan anak karena terbangun dalam kondisi sendirian.
• Jangan lupa memberi penguatan berupa pujian bila anak terbangun atau pulang ke rumah tanpa menangis, sehingga dia tahu jika dirinya berhasil menampilkan perilaku yang diharapkan.
• Jika si kecil masih tidur bersama orangtua, biasakan secara perlahan agar dia belajar tidur sendiri atau ditemani bersama orang lain, pengasuh, misalnya.
• Hindari sikap orangtua yang terlalu melindungi atau memanjakan anak, apalagi bila hal itu adalah kompensasi kurangnya waktu bersama anak karena orangtua bekerja. Sebenarnya, melindungi atau memanjakan itu adalah hal yang baik, sebaliknya jika berlebih tidak bisa menumbuhkan kemandirian anak.
• Perhatikan dengan seksama bagaimana interaksi anak dengan pengasuhnya untuk mendapatkan gambaran mengenai kelebihan atau kekurangan dari hubungan yang terjalin antara anak dengan pengasuh. Usahakan agar anak ditemani oleh orang yang bisa membuatnya merasa nyaman selama orangtua berada di tempat kerja. Dengan demikian, anak dapat merasakan bahwa ada orang lain, selain orangtuanya yang bisa menemaninya untuk bermain dan melakukan aktivitas lainnya di rumah.

Dr. Dono Baswardono, Psych, Graph, AISEC, LMFT, MA, Ph.D – Marriage & Family Therapist
Untuk penjadwalan konsultasi, hubungi Hita di 0878-8170-5466 atau pin BB: 259DDE69.

Thursday, 21 February 2013

Memahami Autisme - Bagian 8

Memahami Autisme
Berbagai Terapi Bagi Penyandang Autis
Bagian 8
 Bukan Untuk Menyembuhkan, Tapi Untuk Mengontrol Gejala


Terapi Perilaku
Terapi perilaku yang dikenal adalah ABA (Applied Behavioral Analysis) yang diciptakan oleh O. Ivar Lovaas PhD dari University of California Los Angles (UCLA). Sering disebut sebagai terapi Lovaas.
Terapi ini berupaya untuk melakukan perubahan pada anak autistik dalam arti perilaku yang berlebihan dikurangi dan perilaku yang berkekurangan (belum ada) ditambahkan.
Dalam terapi ini, anak biasanya dilatih 5x8 jam dalam seminggu dan diajarkan secara one on one. Anak diajarkan perintah sederhana seperti duduk, melihat mata, berdiri, dst. Diharapkan dengan mengikuti terapi ini anak mampu memahami perintah dan patuh terhadap perintah.
Sekarang ABA telah mengalami modifikasi dari sistem terapi yang kaku dan keras menjadi lebih fleksibel. Tujuannya agar anak menjadi nyaman dan tidak malah menjadi 'robot'.
Fokus penanganan terletak pada pemberian reinforcement (penguatan) positif atau reward setiap kali anak berespons benar sesuai instruksi yang diberikan. Tidak ada hukuman (punishment), tetapi bila anak berespons negatif (salah/tidak tepat) atau tidak berespons sama sekali maka ia tidak mendapatkan reinforcement positif yang ia sukai tersebut. Dengan begitu, diharapkan anak meningkatkan kemungkinan anak untuk berespons positif dan mengurangi kemungkinan ia berespons negatif (atau tidak berespons) terhadap instruksi yang diberikan.

Terapi Okupasi
Biasanya, motorik halus pada anak-anak autis tidak baik, lemah dan tidak terampil, gerak-geriknya kaku dan kasar. Karena itu perlu distimulasi melalui terapi okupasi untuk melatih keterampilan motorik halusnya dengan benar. Umumnya yang dilatih berhubungan dengan tangan dan jari-jari seperti: menjentik, menggenggam, memegang pensil, menjumput, menempel, menggunting, dll.

Terapi Wicara
Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam berbicara dan berbahasa. Anak-anak tersebut biasanya mengalami keterlambatan bicara atau bahkan sama sekali tidak mau berbicara. Oleh karena itu, terapi wicara diperlukan untuk melatih otot-otot mulut anak agar bisa berbicara dengan baik.
Hal yang perlu diperhatikan orangtua sebelum mengikutkan anak dalam terapi wicara adalah setidaknya anak sudah mulai mau berusaha mengeluarkan suara atau meniru kata-kata yang diucapkan orang lain.

Terapi Sensori Integrasi (SI)
Merangsang pengorganisasian informasi melalui sensori-sensori (sentuhan, gerakan, kesadaran tubuh dan gravitasi keseimbangan/penciuman, pengecapan dan pendengaran). Tujuan terapi ini anak mampu memroses berbagai informasi sensorik yang kompleks dengan lebih baik.
Misalnya anak sangat sensitif terhadap sinar, maka dalam terapi ini anak dibiasakan dengan cahaya, anak diperkenalkan dengan tempat terang dan gelap. Contohnya menggunakan lampu disko dengan maksud melatih anak untuk beradapatasi dengan cahaya.
Umumnya anak autis tidak suka dengan sentuhan lembut, misalnya dipeluk atau dielus kepalanya akan menolak. Untuk itu anak bisa dilatih beradaptasi dengan menyikat tubuh anak dengan sikat halus.
Terapi Diet CFGF (Casein Free – Gluten Free)
Anak-anak autis biasanya memiliki daya tahan tubuh yang kurang baik. Menurut para pakar ditemukan banyak gangguan metabolisme pada tubuh anak autis. Hal ini bisa disebabkan oleh infeksi virus, jamur atau bakteri, terutama dalam usus. Adanya gangguan pencernaan yang menyebabkan berbagai macam alergi makanan, keracunan logam berat, seperti timbal, air raksa, dan arsenik. Akibatnya, terjadi gangguan kekebalan tubuh (imunodefisiensi) sehingga anak sering sakit.
Juga diakibatkan banyaknya exorphin (casomorphin dan gliadorphin) yaitu protein yang berasal dari casein (susu sapi) dan gluten (protein gandum) yang tidak dapat dicerna anak. Sehingga memberikan efek seperti morphin. Fungsi otak yang dipengaruhi morphin adalah bidang perilaku, perhatian, kecerdasan dan emosi.
Karena itu, diberlakukan pola makan atau diet makanan untuk anak autis dan hiperaktif yang dikenal dengan Gluten Free Casein Free (GFCF). Jadi, anak diet susu sapi dan protein gandum, misalnya roti, mi, sereal dan biskuit.
Kalau begitu, tidak semua anak-anak autis perlu diet. Dilihat dari respon anak terhadap makanan tertentu. Umumnya sekitar 70-80% anak-anak autis perlu diet CFGF, sedangkan sisanya 20-30% diet tidak berpengaruh sama sekali.
Cara mudah dan murah untuk melihat apakah anak autis perlu diet atau tidak adalah dengan mencoba melakukan diet CFGF terlebih dahulu. Lakukan diet sekitar 4 bulan dan dilihat apakah ada perubahan pada anak. Hal ini perlu waktu, observasi dan kesabaran.
Jika setelah melakukan diet CFGF anak menjadi lebih mudah tidur, hiperaktifnya berkurang, menjadi lebih mudah patuh, maka ada perubahan perilaku pada anak tersebut. Setelah 4 bulan, anak diberi lagi makanan yang mengandung casein dan gluten, jika gejala autisme muncul kembali maka anak perlu diet.
Selain cara di atas, lebih praktis melakukan tes darah untuk mengetahui adanya food alergy atau tidak. Tetapi proses ini sangat memerlukan biaya yang relatif mahal pasalnya sampel musti dikirim ke Amerika terlebih dahulu. Semua terapi di atas dilakukan secara bertahap diseuaikan dengan kondisi dan kebutuhan anak.

Mengontrol Gejala, Bukan Menyembuhkan
Pemberian obat untuk anak autis ditujukan untuk mengontrol gejala-gejala autis, bukan untuk menyembuhkan. Autis bukanlah penyakit, melainkan gangguan. Sampai sekarang belum ada obat yang bisa menyembuhkan gangguan autisme.
Pemberian obat-obatan autisme diperlukan bagi anak autis yang sangat agresif dengan maksud mengurangi agresivitas anak yang sekiranya membahayakan. Pemberian obat tersebut sudah melalui penelitian yang panjang bagi anak-anak autism dan sudah mendapat persetujuan dari FDA (Food and Drugs Administration), yakni pemberian risperidon. Dengan taraf tertentu, pemberian obat tersebut bisa menyebabkan komunikasi anak autis menjadi lebih baik.
Selain itu, anak autis cenderung hiperaktif yang menyebabkan susah fokus atau memusatkan atensinya. Jika hiperaktifnya sanagt menonjol dan mengganggu, bisa ditambahkan dengan pemberian obat hiperaktif seperti Metilfenidat. Obat untuk mengurangi hiperaktif ini biasanya baru boleh diberikan saat anak berusia 6 tahun ke atas.
Pemberian semua dosis obat untuk anak autis berbeda-beda, disesuaikan dengan usia dan kebutuhannya. Tidak semua anak berespon terhadap obat-obat yang diberikan. Jika tidak betrespon maka anak autis tidak perlu mengonsumsi obat-obatan. Karena itu lah reaksi obat pada anak berbeda-beda dan perlu observasi lebih lanjut. DB
Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D – Marriage & Family Therapist, Sexologist, Psychoanalyst, Graphologist. Untuk konsultasi, hubungi Hita di 0878-8170-5466 atau pin 2849C490.

Memahami Autisme - Bagian 7

Memahami Autisme
Diduga Kuat Faktor Genetika Menyebabkan Autisme
Bagian 7


Tidak ada penyebab tunggal autisme yang telah diketahui. Tetapi umumnya disebabkan oleh abnormalitas dalam struktur atau fungsi otak. Scan otak mememperlihatkan perbedaan bentuk dan struktur otak anak-anak penderita autisme dibandingkan anak-anak lain. Para pakar terus mengkaji sejumlah teori, termasuk hubungan antara hereditas, genetika dan gangguan kesehatan.
Di dalam banyak keluarga muncul pola autisme atau gangguan lain yang terkait; artinya, ada faktor genetika autisme. Meskipun tidak ada satu pun gen yang sudah dikenali sebagai penyebab autisme, para peneliti terus mencari ketidakteraturan bagian-bagian kode genetika yang mungkin diwarisi anak penderita autisme.
Juga tampak bahwa sebagian anak terlahir rentan autisme. Sayangnya, peneliti belum berhasil mengidentifikasi ‘pemicu’ tunggal yang menyebabkan berkembangnya autisme.
Ilmuwan lain menyelidiki kemungkinan bahwa di dalam kondisi tertentu, sekelompok gen yang tidak stabil bisa mengganggu perkembangan otak, sehingga menimbulkan autisme. Sementara periset lainnya menelisik gangguan-gangguan selama kehamilan atau persalinan serta faktor-faktor lingkungan, seperti infeksi virus, ketakimbangan metabolik, dan paparan pada bahan-bahan kimia.

Kerentanan Genetika
Autisme cenderung terjadi lebih sering pada individu-individu yang memiliki kondisi kesehatan tertentu, seperti sindroma Fragile X, tuberous sclerosis, sindroma rubella kongenital, dan phenylketonuria (PKU) yang tak dirawat. Beberapa zat berbahaya yang dikonsumsi selama hamil juga meningkatkan risiko terkena autisme.

Faktor-faktor Lingkungan
Riset mengindikasikan bahwa faktor-faktor selain genetika juga meningkatkan kemungkinan autisme, seperti racun-racun lingkungan (mis, logam berat seperti merkuri). Zat-zat beracun itu belakangan ini lebih banyak tersebar di lingkungan kita dibandingkan pada masa lalu.
Mereka yang menderita autisme (atau yang berisiko) sangat rentan karena kemampuannya memetabolisasi dan mendetoksifikasi paparan ini bisa sangat berkurang. DB


KOMPONEN MEDIS AUTISME
Sistem Pencernaan

Autisme bisa mengubah bakteri-bakteri ‘baik’ yang menghuni saluran pencernaan sehingga menimbulkan penyakit pencernaan seperti diare dan sembelit. Beberapa gejala makin memburuk akibat makanan tertentu, seperti produk susu dan gandum. (Baca “Autism Spectrum Disorders and the Immune System” yang ditulis oleh Paula Goines, B.S., Paul Ashwood, Ph.D., dan Judy Van de Water, Ph.D.).

Sistem Kekebalan Tubuh
Riset membuktikan bahwa masalah sistem kekebalan tubuh bisa menjadi salah satu penyebab atau akibat autisme. Stres psikologis, paparan pada bahan kimia dan infeksi bisa bersama-sama memperberat kelemahan sistem kekebalan. Anak-anak yang berisiko autisme sangat rentan pada bahan kimia yang bisa memicu respon sistem kekebalan yang tidak tepat yang kemudian mempengaruhi sistem syaraf yang tengah berkembang. (baca “Can Exposure to Environmental Toxicants Influence Autism Susceptibility?” karya Isaac N. Pessah, Ph.D.).

Racun Berbahaya
Penemuan ilmiah menunjukkan bahwa banyak anak penderita autisme atau yang berisiko ternyata memiliki kelemahan metabolisme. Kelemahan ini akan mengurangi kemampuan mereka dalam membuang racun dan logam berat lainnya. Menumpuknya racun dalam tubuh ini bisa merusak otak dan sistem syaraf serta melambatkan perkembangan.
Racun-racun ini termasuk methylmercury, arseni, timbal dan kadmium, yang masuk tubuh lewat udara, makanan dan air. Dalam waktu lama, racun itu menimbulkan serangkaian penyakit dan kerusakan organ, termasuk kanker; kerusakan ginjal, saluran cerna dan sistem syaraf; bahkan kematian. Toksin ini sangat berbahaya bagi janin, bayi, dan anak-anak. (baca “We’re Loaded with Toxins: Analyzing the Toxic Body Burden of Americans” oleh Judy Chinitz Gorman). DB



Gangguan Autistik (299.00 DSM-IV)
Ciri-ciri pokok Gangguan Autistik adalah adanya kelemahan atau abnormalitas dalam perkembangan komunikasi dan interaksi sosial, serta sekumpulan minat dan aktivitas yang sangat terbatas. Manifestasi gangguan ini sangat bervariasi, bergantung pada tingkat perkembangan dan umur kronologis seseorang. Gangguan Autistik kadang-kadang disebut sebagai Autisme Masa Bayi Awal, Autisme Masa Kanak-kanak atau Autisme Kanner.

A. Total enam (atau lebih) jejar dari (1), (2), dan (3), dengan paling tidak dua dari (1), dan masing-masing satu dari (2) dan (3):
(1) Kelemahan kualitatif dalam interaksi sosial, terwujud dalam paling tidak dua dari berikut ini:
• kelemahan nyata dalam pemakaian perilaku nonverbal darab seperti tatapan mata ke mata, ekspresi wajah, postur tubuh, dan bahasa tubuh untuk mengatur interaksi sosial.
• Gagal mengembangkan hubungan teman sebaya yang layak sesuai dengan tahap perkembangannya.
• Kurang spontan dalam berbagi kesenangan, minat, atau keberhasilan dengan orang lain (misalnya, kurang memperlihatkan, membawa, atau menunjuk barang-barang yang disukai).
• Kurang berbalasan sosial atau emosional.
(2) Kelemahan kualitatif dalam komunikasi seperti tercermin dari paling tidak salah satu dari berikut ini:
• Keterlambatan dalam, atau sama sekali kurang, perkembangan bahasa ujaran (tidak disertai dengan usaha untuk mengkompensasi melalui cara-cara lain berkomunikasi seperti mimik muka atau isyarat).
• Pada individu-individu dengan ujaran yang cukup, kelemahan nyata dalam kemampuan mengawali atau memelihara percakapan dengan orang lain.
• Penggunaan bahasa yang diulang-ulang atau stereotip atau bahasa idiosinkratik.
• Kurang bermain pura-pura yang spontan dan bervariasi atau bermain meniru sosial yang sesuai dengan tingkat perkembangannya.
(3) Pola perilaku, minat dan aktivitas stereotip yang diulang-ulang, seperti tercermin dari paling tidak salah satu dari berikut ini:
- Preokupasi luas dengan salah satu atau lebih pola minat stereotip yang abnormal baik intensitasnya maupun fokusnya.
- Kesetiaan yang jelas tidak fleksibel pada rutinitas atau ritual khusus yang tidak fungsional.
- Lagak motorik stereotip dan berulang-ulang (misalnya, tangan atau jari-jari mengepak-ngepak atau berputar-putar, atau gerakan seluruh tubuh yang kompleks).
- Preokupasi kukuh pada bagian-bagian barang tertentu.
B. Keterlambatan atau fungsi abnormal dalam paling tidak salah satu dari bidang-bidang berikut ini, dengan kemunculan pertama sebelum umur 3 tahun:
• interaksi sosial
• bahasa yang dipakai dalam komunikasi sosial
• permainan imajinatif atau simbolik.
C. Gangguan ini tidak lebih baik dikelompokkan sebagai Gangguan Rett atau Gangguan Disintegrasi Masa Kanak-kanak.

Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D – Marriage & Family Therapist, Sexologist, Psychoanalyst, Graphologist. Untuk konsultasi, hubungi Hita di 0878-8170-5466 atau pin 2849C490.

Memahami Autisme - Bagian 6

Memahami Autisme
Kuesioner Penting Bagi Orangtua
Bagian 6


M-Chat (Modified Checklist for Autism in Toddlers) adalah daftar pertanyaan yang dapat digunakan sebagai pegangan orangtua atau terapis untuk menentukan derajat spektrum autisma anak. Berikut adalah pertanyaan penting bagi orangtua:
1. Apakah anak anda senang diayun?
2. Apakah anak anda tertarik bermain dengan anak lain?
3. Apakah anak anda suka memanjat barang-barang, naik tangga?
4. Apakah anak anda senang "ci-lu-ba"?
5. Apakah anak anda pernah bermain pura-pura melakukan sesuatu misalnya bicara di telpon atau memelihara anak dengan boneka, main dokter-doteran?
6. Apakah anak anda menggunakan telunjuk untuk menunjuk saat minta sesuatu?
7. Apakah anak anda menunjuk untuk memerlihatkan perhatiannya pada sesuatu?
8. Apakah anak anda bermain sewajarnya dengan mainan kecil seperti mobil-mobilan, balok kayu, dsb. lebih dari sekedar gigit-gigit dan banting-banting?
9. Apakah anak anda pernah memperlihatkan/membaca benda untuk diperlihatkan ke orang tuanya?
10. Apakah anak anda bisa melihat anda ke mata lebih dari satu dua detik?
11. Apakah anak anda nampak terlalu sensitif terhadap kebisingan (sering menutup telinga)?
12. Apakah anak anda memberi senyum balasan atas senyuman anda?
13. Apakah anak anda bisa menirukan ekspresi wajah anda misalnya senyum atau merengut?
14. Apakah anak anda menjawab panggilan namanya?
15. Apabila anda menunjuk ke suatu benda/mainan, apakah anak anda mengikuti dengan pandangannya?
16. Apakah anak anda bisa ikut melihat ke benda yang anda lihat?
17. Apakah anak anda menggerakkan jari dengan cara yang tidak biasa di dekat mukanya?
18. Apakah anak anda mencoba menarik perhatian anda pada aktivitasnya?
19. Pernahkan anda berpikir bahwa anak anda tuli?
20. Apakah anak anda memahami yang dikatakan orang?
21. Apakah anak anda menunjukkan pandangan kosong atau mondar mandir tanpa tujuan?
22. Apakah anak anda melihat ke wajah anda untuk mengetahui adanya reaksi saat menemui sesuatu yang aneh?
Apabila jawabannya lebih banyak “tidak,” maka sebaiknya berkonsultasi dengan profesional yang ahli dalam perkembangan anak dan mendalami bidang autisme. DB
Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D – Marriage & Family Therapist, Sexologist, Psychoanalyst, Graphologist. Untuk konsultasi, hubungi Hita di 0878-8170-5466 atau pin 2849C490.

Memahami Autisme - Bagian 5

Memahami Autisme
10 Langkah Penting Setelah Anak Anda Didiagnosis Menderita Autisme
Bagian 5


Bila seorang anak kecil berkata, “Aku sayang kepada Mama/Papa,” rasanya mustahil menemukan ada yang tidak beres di dunia.

Diagnosis Autisme
Tidak ada tes medis untuk mendiagnosis autisme. Diagnosis akurat harus berdasarkan pengamatan terhadap komunikasi, perilaku dan tingkat perkembangan individu. Namun, karena banyak perilaku yang berkaitan dengan autisme juga muncul pada gangguan-gangguan lainnya, maka berbagai tes medis bisa dilakukan untuk mengeluarkan atau mengidentifikasi kemungkinan penyebab dari gejala-gejala yang ditunjukkan.
Selintas, penderita autisme bisa tampak seperti mengalami keterbelakangan mental, gangguan perilaku, masalah pendengaran, atau bahkan perilaku ganjil dan eksentrik. Masalah semakin rumit karena kondisi-kondisi itu bisa terjadi bersamaan dengan autisme. Namun, sangat penting membedakan autisme dari kondisi lainnya. Mengapa? Karena diagnosis yang akurat dan identifikasi dini bisa memberikan dasar untuk mengembangkan program perawatan dan pendidikan yang tepat dan efektif.
Pengamatan singkat dalam satu situasi saja tidak bisa memberikan gambaran sesungguhnya dari perilaku dan kemampuan individu. Masukan orangtua – pengasuh serta guru – dan riwayat perkembangannya sangatlah penting untuk menegakkan diagnosis yang akurat.

Mengapa Identifikasi Dini Sangat Penting
Riset menunjukkan bahwa deteksi dini sangat berhubungan dengan perbaikan-perbaikan dramatis pada anak penderita autisme. Semakin dini seorang anak didiagnosis, semakin cepat pula anak ini bisa merasakan manfaat salah satu dari banyak perawatan dan pendidikan spesial.
Ikatan Dokter Anak Amerika merekomendasikan semua anak dites autisme oleh dokter keluarga dua kali sebelum umur dua tahun; yaitu pada umur 18 bulan dan 24 bulan. Para dokter juga menyarankan agar perawatan sudah dimulai walau diagnosis autisme baru berupa dugaan; tidak perlu menunggu sampai diagnosis formal.
Intervensi dini ini sangat penting. Anak-anak yang menerima terapi intensif bisa menunjukkan perbaikan luar biasa dalam seluruh fungsinya dan memiliki kehidupan yang produktif.

Alat-alat Tes dan Screening
Walaupun tidak ada tes komunikasi atau perilaku yang bisa mendeteksi autisme, namun ada beberapa alat uji yang sudah dikembangkan untuk mendiagnosis autisme:
• Sistem pemeringkatan CARS (Childhood Autism Rating Scale), yang dikembangkan oleh Eric Schopler pada awal 1970an, yang berdasar pada pengamatan perilaku. Dengan menggunakan skala 15 titik, dokter/psikolog bisa menilai hubungan anak dengan orang-orang lain, penggunaan tubuh, adaptasi pada perubahan, respon pendengaran, dan komunikasi verbal.
• Daftar Autisme pada Balita (CHAT) dipakai untuk menyaring autisme pada umur 18 bulan. Dikembangkan oleh Simon Baron-Cohen pada awal 1990an untuk melihat apakah autisme dapat dideteksi pada anak-anak kecil yang masih berumur 18 bulan. Alat uji ini memakai kuesioner pendek yang terdiri atas dua bagian: satu diisi oleh orangtua, yang lain oleh dokter anak.
• Kuesioner Penyaringan Autisme adalah skala dengan 40 pertanyaan yang dipakai untuk anak berumur empat tahun atau lebih tua. Alat ini menilai kecakapan komunikasi dan fungsi sosial.
• Ujian Saringan untuk Autisme pada Anak Umur Dua Tahun dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt. Ia memakai pengamatan langsung untuk mempelajari ciri-ciri perilaku pada anak-anak di bawah umur dua tahun. Ia mengidentifikasi tiga bidang kecakapan yang menunjukkan autisme: bermain, peniruan motorik, dan rendahnya perhatian.

Siapa yang Membuat Diagnosis? Siapa yang Merawat?
Tak peduli siapa yang pertama kali menduga anak Anda menderita autisme – Anda sendiri atau dokter keluarga – anak Anda harus dirujukkan kepada profesional yang memang spesialisasinya mendiagnosis gangguan spektrum autisme. Dia bisa seorang dokter spesialis anak dengan kekhususan perkembangan, seorang psikiater atau psikolog, dan profesional lain yang mampu mengamati dan melakukan tes dalam bidang-bidang khusus pada anak Anda.
Tim penilai dari berbagai bidang itu bisa mencakup semua atau beberapa dari profesional berikut ini (mereka juga mungkin terlibat dalam program perawatannya):
• Dokter spesialis anak, dengan kekhususan perkembangan – merawat masalah kesehatan dari anak-anak yang mengalami masalah atau keterlambatan perkembangan.
• Psikiater anak – seorang dokter spesialis kesehatan jiwa yang terlibat dalam diagnosis awal. Ia juga bisa memberikan resep obat dan membantu penyesuaian emosional, perilaku dan hubungan sosial anak Anda.
• Psikolog klinis – psikolog dengan spesialisasi masalah-masalah klinis. Ia akan membantu Anda memahami sifat dan dampak keterlambatan perkembangan, termasuk gangguan spektrum autisme. Ia melakukan tes psikologis dan penilaian, serta membantu dengan terapi modifikasi perilaku dan pelatihan kecakapan sosial.
• Terapis okupasional – berfokus pada kecakapan-kecakapan praktis agar anak bisa menolong dirinya sendiri yang penting dalam kehidupan sehari-hari, seperti berpakaian dan makan. Ia juga membantu dalam hal integrasi panca indra, koordinasi gerakan, dan kecakapan motorik halus.
• Terapis fisik – membantu memperbaiki penggunaan tulang, otot, persendian, dan syaraf untuk mengembangkan kekuatan otot, kecakapan motorik dan koordinasi.
• Terapis wicara/bahasa – terlibat dalam perbaikan kecakapan komunikasi, termasuk ujaran dan bahasa.
• Pekerja sosial - bisa memberikan jasa konseling atau bertindak sebagai manajer yang membantu mengatur perawatan dan jasa-jasa lainnya.

Pentingnya Kerjasama Orangtua dan Para Profesional
Orangtua dan para profesional sangat perlu bekerjasama demi kesejahteraan anak. Anda tak bisa menyerahkan segalanya kepada dokter. Memang para profesional itu akan menggunakan pengalaman dan pendidikannya untuk merekomendasikan perawatan-perawatan yang terbaik bagi anak Anda. Namun Anda memiliki pengetahuan unik mengenai kebutuhan dan kemampuan anak Anda sendiri yang juga harus dipertimbangkan agar perawatan atau terapi itu lebih individual, lebih sesuai bagi anak Anda.
Nah, kalau program perawatan sudah disusun, komunikasi antara orangtua dan profesional harus terus dijalankan, khususnya dalam memantau kemajuan si anak. berikut ini panduan untuk bekerjasama dengan para profesional:
• Dapatkan informasi sebanyak-banyaknya. Belajar sebanyak mungkin tentang kekurangan anak Anda sehingga Anda bisa menjadi peserta aktif dalam menentukan perawatannya. Jika Anda tidak memahami istilah-istilah yang dipakai oleh para profesional, segera tanyakan. Minta penjelasan. Jangan berpura-pura sok tahu. Jangan pedulikan kalau sang profesor atau doktor bilang, “begitu saja tidak tahu!” Mereka juga punya kewajiban untuk memberitahukannya kepada Anda.
• Selalu siap siaga. Persiapkan dengan matang setiap pertemuan dengan dokter, terapis dan guru. Tuliskan daftar pertanyaan dan kekhawatiran Anda. Kemudian catatlah jawaban-jawaban mereka.
• Teratur senantiasa. Banyak orangtua yang merasakan manfaat luar biasa dari menuliskan semua rincian tentang diagnosis anak mereka dan semua perawatannya, serta setiap pertemuan dengan profesional.
• Berkomunikasi terbuka. Pastikan untuk selalu membuka komunikasi – tak peduli bagaimana situasinya. Jika Anda tidak sepakat dengan saran dokter atau profesional lainnya, utarakan dan jelaskan secara rinci ketidaksetujuan Anda.

Apa yang Harus Dilakukan Setelah Mengetahui Anak Menderita Autisme?
Kerap, masa setelah diagnosis merupakan waktu yang sangat sulit bagi seluruh anggota keluarga. Penuh dengan rasa bingung, marah dan kesedihan. Itu semua perasaan yang normal. Tetapi masih ada kehidupan menunggu setelah diagnosis autisme ditegakkan.
Hidup bisa menjadi luar biasa indah bagi seorang anak yang menderita autisme dan semua orang yang punya hak istimewa mengenal anak ini. Meskipun tidak selalu mudah, namun Anda bisa belajar membantu anak Anda menemukan dunia yang menarik dan penuh kasih sayang.
Buku “Understanding Autism for Dummies” (Wiley Publishing, Inc., 2006) yang ditulis oleh Dr. Stephen M. Shore dan Linda G. Rastelli, MA, menyebutkan sepuluh langkah penting yang perlu diambil oleh keluarga setelah mengetahui anaknya menderita autisme.
1. Belajar dan membaca sebanyak mungkin. Walaupun informasi yang tersedia seperti membanjir, namun semakin banyak yang Anda baca dan pertimbangkan, semakin mudah bagi Anda untuk memahami informasi baru. Akan tetapi, selalu pertimbangkan setiap sumber informasi yang Anda dapatkan. Dan jangan fokus hanya pada satu jenis intervensi atau terapi; tidak ada satu jenis perawatan yang cocok untuk semua anak. Anda perlu menemukan sendiri kombinasi yang tepat bagi anak Anda.
2. Berjejaring dengan keluarga lain. Banyak keluarga yang dalam kondisi serupa bisa saling memberikan dukungan. Aktiflah dalam komunitas autisme dengan menghadiri pertemuan-pertemuan penguatan atau seminar untuk bertemu dengan orangtua lain yang juga tengah berjuang. Mereka tentu senang membagi pengalamannya. Kunjungi pula situs-situs komunitas dan pusat penelitian autisme; biasanya di sana juga disediakan daftar kelompok-kelompok pendukung dan berbagai organisasi yang terkait dengan autisme.
3. Tes, tes, dan tes. Periksakan anak Anda sejak dini untuk mendapatkan gambaran dasar kondisinya. Gambaran jelas soal kondisi biologis anak Anda akan memberikan peta arah perawatan dan terapi sesudahnya. Jika Anda tidak sanggup membiayai semua tes yang dibutuhkan, prioritaskan dengan bantuan dokter Anda.
4. Mencari sumber-sumber bantuan keuangan. Autisme bisa dengan cepat menyedot sumber daya keuangan Anda. Namun bersyukurlah ada beberapa lembaga yang bisa membantu Anda. Kalau sulit mendapatkan bantuan dari lembaga lokal atau nasional, coba ajukan permohonan lewat lembaga asing. Sayangnya, kebanyakan asuransi kesehatan di Indonesia tidak memasukkan autisme maupun spektrum PDD dalam polis mereka.
5. Mempertimbangkan perubahan gaya hidup secara mendasar. Karena perawatan autisme bisa sangat mempengaruhi keuangan Anda, sebaiknya Anda melakukan revolusi, seperti berpindah kerja atau pindah ke rumah yang lebih kecil. Pengorbanan jangka pendek juga perlu dilakukan agar ada biaya untuk merawat anak Anda. Juga, kalau Anda punya suami/istri, perlu diatur pembagian kerja dan tanggung jawab merawat anak Anda. Perawatan autisme membutuhkan pengorbanan, namun kerja keras Anda akan berbuah. Banyak orangtua yang senasib dengan Anda dengan senang hati menceritakan bahwa ganjaran emosionalnya melihat perkembangan anak Anda akan bertahan jauh lebih lama daripada sekadar hobi atau rumah Anda.
6. Menyusun program pendidikan/perilaku di rumah. Bila Anda sanggup membiayainya, program terstruktur satu guru-satu anak yang fokus pada perilaku dan pendidikan akan sangat membantu masa depan anak Anda. Program satu guru-satu anak ini umumnya paling berhasil untuk kebanyakan anak. Pastikan bahwa programnya punya reputasi yang sangat bagus serta sesuai dengan tujuan dan harapan Anda. Anda dan konsultan/guru sebaiknya menandatangani kontrak yang menyatakan siapa bertanggung jawab akan hal apa.
7. Memulai terapi. Anda mungkin akan dirujukkan ke dokter spesialis lain atau terapis lain, termasuk terapi fisik, okupasional, dan wicara. Terapi ini akan membantu anak Anda mendapatkan kecakapan fisik, sosial dan komunikasi. Berbagai asuransi biasanya mengganti biaya ini.
8. Menyesuaikan diet dan nutrisi. Karena banyak penderita autisme peka pada diet tertentu, pertimbangkan untuk mencoba diet khusus (seperti bebas gandum/bebas produk susu) untuk anak Anda. Berdasarkan tes kesehatan dan saran dokter, Anda juga harus mulai memberikan suplemen vitamin/mineral sesuai dengan kebutuhannya. Pastikan berkonsultasi dengan ahli gizi dan dokter anak yang keduanya pakar dalam hal autisme.
9. Jangan menyerah. Sikap sangat penting! Cobalah menjadi seorang yang sanggup menaikkan semangat keluarga Anda sendiri maupun tim profesional. Kalau bertemu dengan dokter atau profesional yang belum terbiasa dengan autisme, jangan ragu untuk memberi mereka informasi terbaru yang telah Anda dapatkan. Bersabarlah karena banyak perawatan dan terapi yang membutuhkan waktu untuk memperbaiki kondisi anak Anda. Dan yang terpenting, ingatlah untuk tersenyum dan tertawa bersama seluruh anggota keluarga.
10. Bersenang-senang dan bersantai. Sisihkan waktu untuk diri Anda sendiri. Anda juga tetap harus merawat diri sendiri agar bisa berguna bagi anak Anda. Dorong pasangan Anda untuk juga selalu menyegarkan jiwa, perasaan, pikiran dan tubuh. DB
Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D – Marriage & Family Therapist, Sexologist, Psychoanalyst, Graphologist. Untuk konsultasi, hubungi Hita di 0878-8170-5466 atau pin 2849C490.

Memahami Autisme - Bagian 4

Memahami Autisme
Gejala Utama Autisme: Kelemahan Interaksi Sosial
Bagian 4


Gangguan Perkembangan Pervasif (PDD) adalah istilah yang banyak dipakai kalangan profesional untuk merujuk pada anak-anak dengan autisme dan gangguan-gangguan terkait lainnya. Akan tetapi, para pakar memang belum sepakat mengenai label PDD ini.
Diagnosis PDD, termasuk autisme atau gangguan perkembangan lainnya, dilandaskan pada Pedoman dan Diagnostik Gangguan Jiwa Edisi ke empat (PPDGJ-IV). PPDGJ sendiri adalah versi Indonesia dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders - Fourth Edition (DSM-IV) yang diterbitkan oleh the American Psychiatric Association (di Indonesia, setara dengan Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia dan Ikatan Dokter Jiwa Indonesia).
Menurut DSM-IV, istilah PDD bukanlah satu diagnosis khusus, melainkan satu istilah payung. Di bawah golongan inilah akan ditegakkan beberapa diagnosis khusus.
Apa sih perlunya label diagnostik? Penggolongan ini dipakai untuk menunjukkan kesamaan-kesamaan di antara banyak individu. Gejala utama autisme lah yang membedakannya dari sindroma dan/atau kondisi lainnya. Lalu, apa gejala utama autisme? “Kecacatan mendasar dalam interaksi sosial” (Frith, 1989).
Diagnosis autisme menunjukkan adanya kelemahan dalam kecakapan komunikasi dan sosial, serta kurangnya serangkaian minat dan aktivitas. Karena tidak ada tes medis untuk menentukan ada tidaknya autisme atau PDD lainnya, maka diagnosis autisme didasarkan atas ada atau tidak adanya serangkaian perilaku tertentu. Misalnya, seorang anak didiagnosis mengalami PDD-NOS jika ia menunjukkan beberapa perilaku yang tampak dalam autisme, tetapi tidak memenuhi seluruh kriteria autisme. Tapi yang terpenting, apakah seorang anak didiagnosis menderita PDD (seperti autisme) atau PDD-NOS, perawatannya akan serupa.
Autisme adalah suatu spektrum gangguan, dengan gejala-gejala mulai dari ringan sampai berat. Sebagai suatu spektrum gangguan, tingkat keterlambatan perkembangan tiap anak sangatlah individual.
Kalau diagnosisnya PDD-NOS, alih-alih autisme, maka sang dokter atau psikolog yang mendiagnosisnya harus dengan jelas merinci perilaku-perilaku yang tampak. Hasil atau laporan evaluasi ini akan lebih berguna jika disebutkan secara spesifik, sehingga di kemudian hari bisa dipakai kembali oleh orangtua atau dokter lainnya untuk kepentingan evaluasi berikutnya.
Idealnya, bukan hanya dokter atau psikolog saja yang menegakkan diagnosis autisme, melainkan sekumpulan profesional. Tim ini tak hanya terbatas pada psikiater atau psikolog saja, tetapi juga ahli patologi wicara, dokter anak khusus perkembangan, dan dokter ahli syaraf. Bahkan orangtua dan guru juga perlu dilibatkan karena mereka memiliki informasi untuk membantu diagnosis anak tersebut. Peranan orangtua sangat penting untuk membantu diagnosis karena orangtua akan memberi informasi mengenai kronologi perkembangan anak, sehingga orangtua harus dilibatkan dalam melakukan diagnosis.
Jauh lebih penting, orangtua musti lebih peduli untuk menemukan perawatan pendidikan yang tepat bagi anaknya, sesuai kebutuhan anaknya, daripada menghabiskan usaha untuk mendapatkan diagnosis yang sempurna. Program-program yang dirancang khusus untuk anak autis akan jauh lebih bermanfaat. Sebaliknya, label PDD juga bisa membuat anak itu tidak mendapatkan perawatan dan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya.
Berikut ini kode penggolongan PDD menurut DSM-IV, beserta penjelasan singkatnya (lebih lengkapnya, baca halaman 9 dan 10):
• Autistic Disorder (299.00 DSM-IV)
• Asperger’s Disorder (299.80 DSM-IV)
• Rett’s Disorder (299.80 DSM-IV)
• Childhood Disintegrative Disorder (299.10 DSM-IV)
• PDD-NOS (299.80 DSM-IV).

Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D – Marriage & Family Therapist, Sexologist, Psychoanalyst, Graphologist. Untuk konsultasi, hubungi Hita di 0878-8170-5466 atau pin 2849C490.

Memahami Autisme - Bagian 3

Memahami Autisme
Gejala-gejala Ikutan Autisme
Bagian 3


Para penyandang autisme kadang-kadang menunjukkan gejala-gejala tertentu yang muncul sesuai perkembangan usianya. Sangatlah penting untuk tidak mencampuradukkan gejala yang timbul belakangan ini sebagai hal primer atau pokok. Bagaimana pun juga, gejala itu hanya bersifat sekunder dibandingkan sindroma autisme itu sendiri.
Apa saja sih gejala ikutan atau simptomatologi itu? Antara lain, gangguan obsesif-kompulsif (OCD), gangguan bipolar, depresi, gangguan kecemasan, epilepsi, dan gangguan kurang perhatian/hiperaktivitas (ADHD).
Berikut ini daftar gangguan/sindroma yang muncul sebagai perilaku yang serupa dengan gangguan autisme dan/atau menjadi lebih nyata (gampang terlihat) pada individu-individu penyandang autisme:
• sindroma Cornelia deLange
• sindroma Tourette
• sindroma Fragile X
• sindroma Williams
• sindroma Down
• Tuberous Sclerosis
• sindroma Landau-Kleffner (tuli)
• sindroma Rubella Kongenital (seperti yang dialami tokoh Helen Keller yang menderita buta dan tuli)
• Phenylketonuria (PKU) yang tak dirawat
• sindroma Kluver-Bucy
• sindroma Prader-Willi
• sindroma Lesch-Nyhan.

Gangguan Inderawi
Anak autis memiliki ambang batas penerimaan bunyi yang lebih rendah dibandingkan anak normal. Mereka kerap menutup telinga jika mendengar suara keras, seperti petasan, sirine atau gonggongan anjing.
Indera peraba juga lebih sensitif. Sentuhan yang menurut orang normal tidak terasa menyakitkan maka mungkin saja terasa berbeda bagi penyandang autis. Karenanya mereka menolak untuk disentuh, karena sentuhan kerap terasa menyakitkan bagi mereka.

Kejang-Kejang
Kejang atau konvulsi merupakan gerakan otot yang kuat dan tidak terkontrol datang secara tiba-tiba. Gejalanya, tidak sadar, mata terbalik ke atas, kedua kaki dan tangan kaku kemudian timbul gerakan kejutan yang kuat selama beberapa detik hingga menit. Setelah sadar dapat menyebabkan mual muntah pusing dan mengantuk hingga tertidur.
Kelainan genetik pada sel otak dapat mengakibatkan kejang-kejang. Jadi gangguan penyerta yang akan muncul sesuai dengan fungsi otak yang terganggu.

Retardasi Mental
Penyebab kelainan mental ini adalah faktor genetika atau tak jelas sebabnya (simpleks). Keduanya disebut retardasi mental primer. Sedangkan faktor sekunder disebabkan oleh faktor luar yang berpengaruh terhadap otak bayi waktu dalam kandungan atau anak-anak.
Faktor luar ini antara lain infeksi jaringan otak, keracunan kehamilan, ruda paksa sebelum lahir, serta gangguan pertumbuhan akibat kurang gizi berat dan lama. Penyebab lainnya adalah gangguan jiwa pada masa anak-anak dan kurangnya rangsangan sosial dari lingkungan.
Berat-ringannya retardasi mental tergantung tingkat kecerdasan anak, kemampuan dididik, dan kemampuan sosial atau kerja.
Para penyandang biasanya ditangani dengan pemberian pendidikan dan latihan khusus. Pendidikan itu didapat dari sekolah luar biasa, terutama untuk taraf retardasi sedang hingga sangat berat. Obat-obatan hanya diberikan bila anak gelisah dan terlalu aktif. Di samping pendidikan bagi penyandang, pihak keluarganya perlu pula diberikan konseling untuk keberhasilan pengobatan.

Sindroma Fragile X
Sindroma X yang rapuh (sindroma Martin-Bell, Fragile X syndrome) adalah kelainan genetika yang ditandai dengan keterbelakangan mental, yang disebabkan perubahan pada rantai panjang kromosom X.
Gejalanya antara lain kesulitan belajar, menghindari kontak mata, mengucapkan kata berulang atau senantiasa bersikap kasar. Sedangkan secara fisik ciri-ciri yang dimunculkan antara lain dahi dan telinga yang lebar serta rahang yang menonjol.

Tuberous Sclerosis
Penyakit ini juga disebabkan kelainan genetika, yaitu dihasilkannya protein harmatin dan tuberin oleh tubuh. Kedua protein ini tidak dihasilkan oleh tubuh orang normal.
Harmatin dan tuberin mengakibatkan pengapuran daerah-daerah tertentu otak. Semakin banyak protein tersebut dihasilkan, kemungkinan pengapuran serta kemunduran atau gangguan fungsi otak juga lebih besar.
Gabungan dari gejala yang ada dapat menyebabkan hambatan perkembangan, kejang, gangguan perilaku, ketidak-normalan pada kulit, penyakit paru serta ginjal.
Penyandang autis dengan gangguan penyerta tuberous sclerosis ini menampilkan ciri-ciri fisik tertentu, seperti wajah kotak dengan dagu memanjang, jidat memanjang, hidung melebar, langit-langit rongga mulut yang melengkung tinggi, dan telinga yang besar dan menggantung.
Untuk mengurangi produksi protein harmatin dan tuberin dalam tubuh belum dapat dilakukan melalui obat karena memang belum ada obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan produksi kedua protein tersebut. Maka hal yang dapat dilakukan adalah dengan mengatur asupan makanan melalui diet khusus protein. DB
Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D – Marriage & Family Therapist, Sexologist, Psychoanalyst, Graphologist. Untuk konsultasi, hubungi Hita di 0878-8170-5466 atau pin 2849C490.

Memahami Autisme - Bagian 2

Memahami Autisme
Pelototi Lima “Bendera Merah” Ini
Bagian 2


Perilaku khas gangguan spektrum autisme bisa atau belum muncul pada masa bayi (18 – 24 bulan), tetapi umumnya sudah tampak jelas selama masa kanak-kanak awal (2 – 6 tahun).
Apabila Anda rutin datang ke dokter spesialis anak (bukan hanya ketika anak sakit saja), dokter tentu melakukan ‘uji perkembangan.’ Ia akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan khusus tentang kemajuan bayi Anda. Ikatan Dokter Anak Indonesia – juga Lembaga Nasional untuk Kesehatan Anak dan Perkembangan Manusia di Amerika serta asosiasi dokter spesialis anak lain di negara-negara lain – menyebutkan ada lima perilaku yang menandakan bahwa anak Anda perlu evaluasi atau tes yang lebih mendalam:
 tidak mengoceh atau mendekut pada umur 1 bulan
 tidak menunjukkan bahasa tubuh (menunjuk, melambai, meraih) pada umur 12 bulan
 tidak mengucapkan satu pun kata pada umur 16 bulan
 tidak mengucapkan sendiri frasa yang terdiri atas dua kata pada umur 24 bulan
 mengalami kehilangan kecakapan bahasa atau sosial pada umur berapa pun.
Mengalami lima ‘bendera merah’ ini bukan berarti anak Anda menderita autisme. Tetapi karena ciri-ciri gangguan ini sangat banyak, maka seorang anak yang menunjukkan salah satu perilaku ‘bendera merah’ di atas harus diperiksa dengan lebih seksama oleh tim yang terdiri atas profesional dari berbagai bidang. Siapa saja? Dokter ahli syaraf, psikolog, dokter spesialis anak dengan kekhususan perkembangan, terapis wicara/bahasa, konsultan belajar, atau profesional lain yang punya pengetahuan tentang autisme.

Mengenali Gejala Sesuai Usia
Meskipun sulit, tanda dan gejala autisme sudah bisa diamati pada anak kategori usia sbb:
Usia 0 - 6 bulan: bayi akan tampak terlalu tenang (jarang menangis), terlalu sensitif, gerakan tangan dan kaki berlebihan terutama bila mandi, tidak ditemukan senyum sosial, tidak ada kontak mata di atas umur 3 bulan, perkembangan motorik halus/kasar sering tampak normal, sulit bila digendong, dan menggigit tangan dan kaki orang secara berlebihan.
Usia 6-12 bulan: kaku bila digendong, tak mau bermain permainan sederhana semisal "ciluk-ba", "da-da", tidak mengeluarkan kata, tidak tertarik pada boneka, memperhatikan tangannya sendiri, dan terdapat keterlambatan dalam perkembangan motor kasar/halus.
Usia 2-3 tahun: tidak tertarik untuk bersosialisasi dengan anak lain, melihat orang sebagai "benda", kontak mata terbatas, tertarik pada benda tertentu, dan kaku bila digendong.
Usia 4-5 tahun: sering didapatkan membeo, mengeluarkan suara yang aneh (nada tinggi atau datar), marah bila rutinitas yang seharusnya berubah, menyakiti diri sendiri (membenturkan kepala), dan gampang marah bila kemauan tidak dituruti atau agresif. DB
Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D – Marriage & Family Therapist, Sexologist, Psychoanalyst, Graphologist. Untuk konsultasi, hubungi Hita di 0878-8170-5466 atau pin 2849C490.

Memahami Autisme - Bagian 1

Memahami Autisme
Sejuta Anak Indonesia Menyandang Autisme
Bagian 1


“Kadang-kadang, berhenti adalah bagian paling penting dari perjalanan kita...”

Awal April lalu, PBB menetapkannya sebagai Hari Memahami Autisme Sedunia. Mengapa ada kata ‘Memahami’nya? Walau kata ‘autis’ cukup dikenal – terbukti dari banyaknya tulisan mengenai hal ini di media, begitu pula dengan sederetan seminar populer – namun ternyata tidak banyak orang yang betul-betul memahami soal ‘spektrum gangguan’ ini. Bahkan para orangtua dari anak-anak penyandang autisme sekali pun. Maklum, khususnya di Indonesia, tidak sedikit penulis yang menyajikan artikel tentang autisme secara keliru; baik di koran, majalah maupun blog. Banyak pula seminar tentang autisme menghadirkan pakar yang tidak memiliki kompetensi. Begitulah, masih belum ada kesadaran di kalangan cendekiawan Indonesia, untuk menolak ‘rejeki’ berseminar dengan jujur mengatakan kepada panitia yang mengundangnya, “Maaf, saya tidak berkompeten bicara tentang autisme. Silahkan saja hubungi dokter A atau doktor B yang memang meneliti tentang autisme.”

Autisme adalah Gangguan Perkembangan Kompleks
Autisme adalah gangguan perkembangan yang kompleks yang biasanya muncul pertama kali pada usia antara 0 – 3 tahun. Autisme ini disebabkan oleh gangguan syaraf yang mempengaruhi fungsi normal otak, khususnya pada bidang kecakapan berkomunikasi dan berinteraksi sosial. Baik anak-anak maupun orang dewasa berautis biasanya menunjukkan kesulitan dalam berkomunikasi verbal maupun non-verbal, berinteraksi sosial, serta kegiatan bermain atau bersenggang.
Autisme adalah salah satu dari lima gangguan (awam menyebutnya ‘penyakit.’ Yang benar adalah ‘gangguan.’) di bawah payung Gangguan Perkembangan Pervasif (PDD) – suatu kategori gangguan syaraf yang dicirikan oleh “kerusakan hebat dan besar pada beberapa bidang perkembangan.”
Sangat perlu difahami, autisme bukanlah suatu gangguan tunggal, melainkan suatu spektrum. Bayangkan saja spektrum cahaya, dari merah, jingga, hijau, sampai ungu. Artinya? Tiap anak/orang yang menderita autisme akan menunjukkan serangkaian perilaku yang berbeda-beda dan dengan derajad ringan-berat yang berbeda-beda pula.
Dua anak, dengan diagnosis yang sama, bisa berperilaku berbeda sama sekali satu sama lain dan mempunyai kemampuan yang berbeda pula. Jadi, tiap anak sangat unik. ‘Spektrum warna’nya berbeda dari anak lainnya. Tidak ada satu pun penyandang autisme yang sama.
Diperkirakan biaya seumur hidup merawat seorang anak dengan autisme antara $3,5 – 5 juta atau setara dengan 35 – 50 milyar Rupiah.

Seberapa Banyak Penyandangnya?
Autisme adalah PDD yang paling banyak. Pada Februari 2007, Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (the Centers for Disease Control and Prevention) menerbitkan laporan prevalensi autisme. Setiap 150 kelahiran, satu di antaranya menderita autisme. Secara kasar, ini berarti sekitar satu juta orang Indonesia sekarang menderita salah satu bentuk autisme. Dan jumlah ini terus meningkat.
Berdasarkan statistik, pertumbuhan autisme sekitar 10 – 17 persen per tahun. Dalam satu dasawarsa mendatang, diperkirakan penduduk Indonesia yang terkena autisme bisa mencapai 2,5 juta jiwa.
Meskipun prevalensi kejadian autisme di seluruh dunia sama, namun empat kali lebih banyak terkena pada anak laki-laki daripada anak perempuan.
Autisme tidak mengenal suku, ras, atau batas-batas sosial; tingkat pendapatan keluarga; pilihan gaya hidup; atau tingkat pendidikan. Ringkasnya, autisme bisa mengena pada setiap keluarga dan tiap anak.

Identifikasi Dini Bisa Mengubah Kehidupan
Anda mungkin pernah mendengar istilah yang berbeda-beda untuk menjelaskan anak-anak di dalam spektrum ini, seperti ‘mirip autistik,’ ‘kecenderungan autistik,’ ‘spektrum autisme,’ ‘autisme yang berfungsi tinggi atau rendah,’ dan ‘autisme yang lebih mampu atau kurang mampu.’ Namun lebih penting daripada istilah yang dipakai untuk menjelaskan autisme itu adalah memahami bahwa apa pun diagnosisnya, anak-anak penyandang autisme bisa belajar dan berfungsi normal serta menunjukkan perbaikan jika diberikan perawatan dan pendidikan yang tepat dan layak.
Setiap anak autis adalah seorang individu. Dan seperti semua individu lainnya, memiliki satu kepribadian dan kombinasi sifat-sifat yang unik. Sebagian individu dengan autisme ringan mungkin hanya menunjukkan keterlambatan bahasa dan sulit berinteraksi sosial. Mereka mungkin sulit mengawali dan/atau mempertahankan percakapan. Komunikasinya acap digambaran sebagai berbicara kepada orang lain alih-alih bercakap-cakap dengan orang lain (umpamanya, berbicara sendiri tentang masalah kesukaannya meskipun orang-orang lain berusaha menimpali dengan berbagai komentar).
Berikut ini beberapa tanda yang bisa Anda amati pada diri anak-anak Anda untuk menengarai apakah ia menderita autisme atau tidak:
• kurang mampu atau terlambat dalam bahasa ucap
• menggunakan bahasa secara berulang-ulang dan/atau perangai motorik yang repetitif (contohnya, tangan mengepak-ngepak seperti burung, memutar-mutar benda)
• sedikit atau tidak mau bertatap mata langsung
• kurang berminat berhubungan dengan teman sebaya
• kurang bermain spontan atau bermain pura-pura
• fiksasi yang kukuh pada bagian-bagian benda tertentu.

Kendala Menyatukan Pencerapan Indrawi
Bagi kebanyakan orang, integrasi panca indra membantu kita memahami apa yang tengah kita alami. Misalnya, indra peraba, pembauan dan perasa bekerja bersama-sama saat kita mengalami makan buah jeruk yang dikupas: merasakan kulit jeruk, baunya yang segar, dan jusnya meleleh turun melewati kerongkongan.
Bagi anak-anak penyandang autisme, integrasi panca indra ini termasuk hal yang sulit, sehingga mereka bisa menjadi berlebihan atau kurang aktif. Mengupas kulit jeruk sungguh-sungguh bisa dialami sebagai hal yang menyakitkan, dan bau jeruk bisa membuatnya muntah.
Sebagian anak autis sangat peka pada suara. Bahkan suara sehari-hari yang bagi kita sangat normal bisa terasa sangat menyakitkan bagi mereka. Banyak pakar merasa bahwa sebagian perilaku khas autisme, seperti daftar di atas, sebenarnya akibat dari gangguan integrasi panca indra.
Penyandang autisme juga memroses dan menanggapi informasi secara unik. Dalam beberapa kasus, perilaku agresif dan/atau melukai diri sendiri juga muncul. Orang/anak dengan autisme bisa pula memiliki ciri-ciri berikut ini:
• mendesak kesamaan; menolak perubahan
• sulit mengungkapkan kebutuhan-kebutuhannya; dengan memakai isyarat atau menunjuk alih-alih dengan kata-kata
• mengulangi kata-kata atau frasa alih-alih memakai bahasa responsif yang normal
• tertawa (dan/atau menangis) tanpa alasan jelas; menunjukkan kegelisahan dengan alasan-alasan yang tidak jelas bagi orang lain
• lebih suka sendirian; perangai menyisihkan diri
• tantrum (marah meledak-ledak)
• sulit bergaul dengan orang lain
• tak ingin memeluk atau dipeluk
• sedikit atau tidak mau bertatap mata
• tidak tanggap terhadap metoda-metoda pengajaran normal
• suka bermain sendiri
• memutar-mutar benda
• kelekatan obsesif pada benda-benda tertentu
• jelas sangat peka atau tidak peka pada rasa sakit
• tidak punya rasa takut nyata akan berbagai bahaya
• tampak kegiatan fisik yang sangat berlebihan atau sebaliknya diam ekstrim
• kecakapan motorik halus/kasar yang tak seimbang
• tidak tanggap pada pertanda verbal; bertingkah seakan-akan tuli, walau hasil tes pendengarannya normal.
(Coba lihat film ‘Mercury Rising’ yang dibintangi oleh Bruce Willis. Ciri-ciri di atas digambarkan dengan klasik oleh aktor muda Miko Hughes (Simon). Ia menggambarkan seorang anak penyandang autisme yang amat fokus mengisi teka-teki dan begitu cerdasnya hingga mampu membongkar kode rahasia ciptaan pakar komputer yang disembunyikan dalam majalah puzzle.)

Melawan Mitos
Sayang sekali, banyak mitos dan kekeliruan tentang autisme. Berlawanan dengan persepsi umum, banyak anak autistik yang bisa bertatap mata; walau memang kurang sering atau berbeda dari anak khas lainnya. Banyak anak autis bisa mengembangkan bahasa fungsional yang baik. Juga ada yang mengembangkan sejenis kecakapan komunikasi, seperti bahasa isyarat atau memakai gambar-gambar. Anak-anak ini tidak ‘mengatasi’ autisme, tetapi gejala-gejalanya bisa berkurang ketika usianya makin besar dan menerima perawatan yang tepat.
Salah satu mitos paling merusak tentang anak-anak autistik adalah mereka tidak dapat menunjukkan rasa sayang. Walau anak-anak ini memroses rangsangan indrawi secara berbeda, namun mereka dapat dan sungguh-sungguh bisa mengasihi. Hanya saja, memang membutuhkan kesabaran orangtua untuk menerima dan memberikan cinta kasihnya menurut syarat-syarat anak-anak ini.
Mengenai ungkapan kasih ini, saya sangat menyarankan Anda untuk menonton film pemenang Festifal Film Berlin ke-56, “Snow Cake.” Sigourney Weaver berperan sebagai Linda, seorang ibu penyandang autisme yang tinggal bersama putri tunggalnya yang normal dan kreatif, Vivienne (Jayne Eastwood). Linda bukan hanya mampu merawat anaknya, tetapi juga membanjirinya dengan perhatian, kegembiraan, dan kasih. Bahkan lebih dari yang biasa dilakukan oleh orangtua ‘normal’. DB
Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D – Marriage & Family Therapist, Sexologist, Psychoanalyst, Graphologist. Untuk konsultasi, hubungi Hita di 0878-8170-5466 atau pin 2849C490.

Sunday, 17 February 2013

Bila Anak Mengalami Kedaruratan

Bila si Kecil Harus ke Emergency Room

Panik! Mungkin inilah yang Moms rasakan jika kondisi si kecil harus dibawa ke Emergency Room (ER) atau Unit Gawat Darurat (UGD). Entah karena ia tertelan benda asing, panas badan tinggi, kejang bahkan hingga tak sadarkan diri. Pontang-panting dan tak tahu harus bagaimana jika berhadapan dengan situasi yang tak terduga ini. Yuk, Moms ikuti langkah-langkah berikut ini agar terhindar dari kepanikan yang bisa mengakibatkan keadaan semakin parah.

Penting untuk dilakukan Orangtua:
 Tetap tenang dan tarik nafas dalam-dalam agar dapat berpikir jernih.
 Tanpa menunggu lama ambil uang seadanya serta ATM atau kartu kredit untuk mengurusi soal administrasi ketika tiba di rumah sakit atau klinik terdekat. Tak perlu membawa persediaan pakaian dan susu serta MPASI si kecil karena belum tentu dibutuhkan.
 Bawa catatan kesehatan si kecil seperti kartu sehat imunisasi atau kartu kesehatan sejenis lainnya. Ini berguna untuk mempermudah dokter dalam memeriksanya.
 Bawa obat-obatan si kecil jika ia memang sudah menderita suatu penyakit tertentu.
 Jangan menunggu dokter langganan si kecil jika situasinya jauh dari rumah.
 Jika lokasi rumah jauh dari rumah sakit, bawa si kecil ke klinik 24 jam terdekat dari rumah guna pemberian pertolongan pertama untuknya.
 Ketika membawa si kecil usahakan posisi kepalanya bebas bergerak dengan kondisi digendong atau dibopong. Posisi tidak tertekuk.
 Setibanya di ER ceritakan kronologi singkat selama beberapa hari sebelum kejadian itu pada dokter yang menanganinya dan ceritakan apakah si kecil punya alergi atau memang mempunyai bakat kejang atau riwayat penyakit lainnya.
 Jika memungkinkan, masuklah ke ruangan emergency karena akan membuat si kecil merasa aman dan nyaman karena melihat kehadiran orangtuanya. Dan katakan bahwa semua dokter dan perawat akan membantunya.
 Bantu tenaga medis ketika akan melakukan tindakan medis seperti memegang tangan jika akan diinfus, membujuknya “Nggak apa-apa ya, Nak? Bu Dokter mau bantu Adek ya?” dan sebagainya. Tindakan koperatif akan sangat membantu pemberian pertolongan kepada si kecil.
 Ketika tindakan emergency telah selesai dilakukan, ceritakan kembali kepada dokter secara kronologis dan komprehensif tentang apa yang terjadi.
 Jika si kecil mengalami panas tinggi, mintalah dokter agar memeriksa suhu tubuh di bagian dubur agar suhu dalam tubuh bisa dipastikan.
 Untuk kebaikan si kecil, sebaiknya lakukan anjuran dokter untuk melakukan tindakan lebih lanjut, misalnya harus periksa darah, rontgen paru-paru atau yang lainnya.
 Saat menunggu tindakan emergency, Moms bisa melakukan urusan admnistrasi di bagian cashier atau payment.
 Tanyakan kepada dokter yang menanganinya apakah diperlukan untuk rawat jalan atau pulang. Jika pulang tanyakan kembali apakah masih perlu untuk bertemu kembali sebagai pengecekan ulang tentang kondisi terakhir si kecil.
 Jika mendapatkan resep obat sebaiknya orangtua menanyakan seksama apa khasiat obat-obatan tersebut. n


Do This at Home!
• Letakkan nomor telepon dokter anak yang biasa mengecek kesehatansi kecil di dekat telepon rumah atau simpan dalam handphone agar setiap saat bisa menghubunginya.
• Letakkan nomor telepon rumah sakit atau Unit Gawat Darurat di dekat telepon rumah atau simpan dalam handphone.
• Kumpulkan catatan kesehatan keluarga dalam satu folder sehingga mudah dibawa dalam keadaan darurat dan mempermudah diagnosa dokter.
• Jika si kecil mempunyai suatu riwayat penyakit tertentu dan sering kambuh, sebaiknya Moms menyediakan semua perlengkapan dan persediaan di dalam sebuah wadah (koper) agar mudah dicari dan dibawa saat diperlukan. n


Don’t Try This at Home!
X Panik dan serba salah
X Histeris
X Tidak koperatif dengan tenaga medis
X Menceritakan hal yang sesungguhnya tidak terjadi pada dokter atau perawat yang menanganinya.
X Menelepon teman, kerabat atau tetangga yang jelas tidak mengetahui tentang hal yang sedang dialami karena bisa membuang waktu.
X Berganti pakaian yang bagus dahulu sebelum ke rumah sakit.
X Membawa perbekalan makanan nasi dan lauk pauknya yang belum tentu diperlukan.
X Memberikan minuman, susu, ASI, atau MPASI jika tidak ada perintah dari dokter atau perawat.
X Membohongi si kecil dengan mengatakan bahwa infuse tidak sakit atau obat adalah permen yang manis. Berilah penjelasan secara realistis namun dengan bahasa anak, katakan bahwa ini hanya sementara saja.
X Membiarkan anak bermain-main di lantai dengan berbagai permainan atau benda yang ada di area Unit Gawat Darurat.


Segera Bawa Anak Ke UGD Bila…
 Kejang
 Perdarahan banyak
 Demam tinggi sekali lebih dari 40, 5 derajat Celsius
 Tertelan benda asing
 Sesak napas
 Dehidrasi

Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D – Marriage & Family Therapist, Sexologist, Psychoanalyst, Graphologist. Untuk konsultasi, hubungi Hita di 0878-8170-5466 atau pin 2849C490.

Sunday, 10 February 2013

Mengapa Bayiku Suka Begadang?

Kok Bayiku Tahan Melek, Ya?


“Anakku sejak lahir tahan banget begadang. Padahal Mama Papa-nya udah mengantuk, eh...dia masih saja melek dan baru tertidur menjelang pagi. Wah, aku dan suami jadi kurang tidur nih,” keluh seorang ibu yang memiliki bayi berusia satu bulan.
Yup, tidur sangat penting bagi kehidupan. Saat kita tidur tubuh kita beristirahat dan memperbaharui energi. Idealnya seorang bayi mungil pasti lebih banyak menghabiskan waktunya untuk tidur. Tapi, bagaimana kalau si bayi merem sepanjang siang tapi ‘tahan melek’ sepanjang malam? Wah, wah, bisa-bisa mengganggu ketenangan tidur Mom and Dad, kan?

Melanjutkan Pola Tidur Dalam Kandungan
Coba Moms kilas balik sejenak! Saat hamil dulu, apakah Anda merasakan si kecil lebih banyak bergerak pada malam hari? Bila iya, bisa jadi ia masih mengikuti pola tidur ‘lamanya’.
Menurut dr. Alan Greene, penulis buku “From First Kicks to First Steps,” tiap bayi mengembangkan irama tidur dan bangun masing-masing selama masa akhir kehamilan. Ada janin yang aktif bergerak ketika ibunya sibuk beraktivitas pada siang hari, tetapi saat si ibu beristirahat pada malam hari, ia menjadi tenang.
Sebaliknya, saat ibunya beraktivitas pada siang hari, si janin malah cenderung tenang bagai digoyang-goyang dalam buaian. Tapi pada malam hari, ia malah aktif berputar, menonjok dan menendang, padahal si aktivitas si ibu jauh berkurang.
Jadi, bila si kecil tahan melek sepanjang malam, bisa jadi dulunya ia adalah janin yang berkarakter cenderung aktif pada malam hari. Dan biasanya ia akan melanjutkan pola tidur itu selama beberapa periode setelah ia lahir.

Mengikuti Pola Tidur Orangtua
Penyebab lain mengapa si kecil tahan melek adalah karena kurangnya stimulasi – utamanya untuk mata – pada siang hari, sehingga ia akan banyak tidur. Akibatnya, ia akan memiliki tenaga ekstra untuk terjaga sepanjang malam.
Coba evaluasi kebiasaan tidur malam Anda dan suami! Apakah jam tidurnya kurang dari 6 - 8 jam sehari? Pasalnya, bayi sangat mudah beradaptasi dengan lingkungan. Bila Anda dan suami sering mengajaknya bermain-main pada malam hari – siang hari Anda dan suami bekerja – maka ia akan terbiasa ‘begadang’ dan mengikuti pola tidur orangtuanya.

Lama Bayi Tidur
Umumnya bayi baru lahir (neonatus) hingga usia satu bulan biasanya tidur selama 16 – 19 jam sehari. Ia sering terbangun tiap 2 - 3 jam untuk minum. Karena penyebab bangunnya adalah rasa lapar, dan bayi tidur tidak lebih dari 4 – 5 jam sekali tidur.
Beberapa bayi tidur lebih lama hingga 8 – 10 jam untuk sekali tidur dan hal ini masih merupakan hal yang wajar. Namun apabila bayi kehilangan berat badan atau kenaikan berat badannya tidak memuaskan, maka bayi tersebut harus dibangunkan tiap 2 – 3 jam untuk diberi minum.
Bayi usia 3 bulan biasanya tidur antara 13 – 15 jam sehari. Biasanya lima jam akan digunakan untuk tidur pada siang hari dan sisanya adalah tidur malam. Bayi mungkin akan terbangun sekali atau dua kali dalam semalam.

Tumbuh Kembang Baik, Tak Masalah
Walau bayi Anda tahan melek berjam-jam sepanjang malam, jangan terlalu khawatir. Sepanjang berat badannya normal, metabolismenya baik, tumbuh kembangnya bagus, tidak rewel berarti si kecil sudah mendapatkan tidur yang cukup. Jika bayi Moms baik-baik saja, tidak ada gangguan kesehatan, Anda boleh berlega hati. Namun, jika Moms masih ragu dan ada rasa kekhawatiran mengenai jumlah jam tidur si kecil, sebaiknya Anda berkonsultasi dengan dokter. Keluhan dan kekhawatiran pasti akan cepat tertangani. DB



Kiat Agar si Kecil Tahan Merem Sepanjang Malam

Tahan melek sepanjang malam hanyalah satu dari karakter si kecil. Tapi, tentu saja Anda tak ingin karakter itu terbawa hingga ia besar, bukan? Karena itu, Anda perlu mengenalkan ia pada rutinitas tidur yang baik.
Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Bila bayi Anda tak mau tidur dan rewel, mungkin ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Cari tahu penyebab dan lakukan observasi. Pastikan apakah bayi sudah merasa kenyang atau masih lapar. Bayi berkomunikasi dengan menangis. Bila ia lapar, segera beri susu. Tetapi bila ia menangis terus menerus, mungkin ada penyebab lain yang perlu mendapat penanganan lebih lanjut.
2. Apabila ia sudah tidur namun terbangun, usap punggungnya dengan lembut untuk meyakinkan bahwa Moms masih tetap bersamanya. Hal ini bisa membantunya tidur kembali dengan cepat. Lakukan hal ini beberapa menit sebelum Moms mengerjakan hal yang lain.
3. Jika Anda harus memberi minum atau mengganti popok bayi lakukan dengan cepat dan tenang, usahakan tanpa menyalakan lampu. Jangan berbicara atau mengajak bayi bermain pada saat ini. Hal ini akan mengajarkan bayi Moms bahwa tidak ada hal yang menarik pada malam hari dan bermain hanya dilakukan pada siang hari.
4. Bayi tidak mengerti apakah mereka tidur pada malam hari dan terbangun pada siang hari atau kebalikannya. Tugas orangtua untuk mengajarkan mereka soal waktu. Pada siang hari, tempatkan atau bawalah bayi ke ruang yang terang oleh pencahayaan alami sinar matahari atau lampu. Sebaliknya, pada malam hari, redupkan semua pencahayaan, utamanya di kamar bayi. DB



Sekilas Tentang Siklus Tidur

Pada tidur normal anak akan mengalami siklus tidur antara fase “rapid eye movement” (REM) dan “non-rapid eye movement” (NREM). Setiap siklus REM/NREM akan berlangsung sekitar 50 – 60 menit pada bayi dan akan meningkat hingga 90 menit pada usia sekolah. Dalam 8 jam tidur, kita akan mengalami 5 - 8 siklus REM/NREM.
Tidur REM ditandai dengan adanya pergerakan bola mata yang cepat, tidak terdapat pergerakan motorik, nafas dan nadi tidak teratur, kadang-kadang mengerang atau merintih, juga bermimpi. Fase ini merupakan stadium tidur yang paling dangkal sehingga banyak bayi dan anak terbangun selama fase REM.
Sedangkan NREM merupakan stadium tidur yang lebih dalam dan terbagi menjadi 4 stadium yaitu stadium 1 – 4 (yang terdalam). Pada fase inilah biasanya seorang anak akan tidur pulas. DB

Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D – Marriage & Family Therapist, Sexologist, Psychoanalyst, Graphologist. Untuk konsultasi, hubungi Hita di 0878-8170-5466 atau pin 2849C490.

Monday, 4 February 2013

Membantu Anak Mengatasi Perceraian Orangtuanya

Membantu Anak Anda Mengatasi Perceraian


Perpisahan dan perceraian bisa sangat merusak anak-anak. Belajarlah bagaimana membantu anak mengatasi efek negatif jangka pendek dan panjang dari perpisahan dan perceraian, serta cara-cara membantu mencegah trauma dan mengurangi kerasnya kehidupan bagi anak-anak Anda.

Anak-anak musti menjadi perhatian utama sebelum maupun setelah bercerai. Untuk itu, ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan.

Cara mengurangi efek-efek traumatis
Banyak anak menghadapi perceraian orangtuanya dengan relatif sedikit masalah atau efek negatif yang permanen. Akan tetapi, bagi sebagian anak lainnya, efek perceraian bisa traumatis dan sepanjang hidup. Perubahan-perubahan dalam pengaturan kehidupan anak, waktu bersama orangtua, pendidikan dan gaya hidup bisa memicu kemarahan, rasa takut atau respon “fight-or-flight.” Namun jika seorang anak tidak dapat mengungkapkan secara tepat atau memroses secara mental perasaan-perasaan tersebut, anak itu bisa merasa sangat tidak berdaya dan “membeku.” Reaksi ini adalah dasar stres traumatis.
Trauma dipengaruhi oleh pengalaman anak atas kejadian tertentu, bukan sekadar kejadian itu sendiri. Tiap anak, meski di dalam keluarga yang sama, bisa mengalami reaksi emosional yang berbeda terhadap banyak perubahan akibat perceraian. Sikap Anda juga ikut membentuk sikap anak-anak. Kata-kata dan tindakan Anda bisa membuat anak Anda terkena sakit emosional yang tidak perlu atau membantunya berkembang secara positif.
Trauma dapat menimbulkan depresi dan kecemasan pada saat perpisahan atau bertahun-tahun setelah perceraian. Trauma bisa muncul kembali pada saat akhir pekan, liburan, ulang tahun atau waktu-waktu di mana anak kehilangan keutuhan unit keluarganya.
Berikut ini ada beberapa langkah untuk mengurangi dampak traumatis perceraian.
- Bersikaplah jujur mengenai potensi trauma emosional pada tiap anak Anda.
- Biarkan anak Anda berkomunikasi secara terbuka.
- Berikan pelbagai pilihan pada anak-anak, jika memungkinkan, untuk meningkatkan rasa keberdayaannya atas hidup mereka sendiri.
- Temukan dukungan untuk diri Anda sendiri dan anak-anak.

Siapkan Diri Sendiri Sebelum Membantu Anak
Ini persis petunjuk yang kita terima setiap naik pesawat terbang. Kita harus menyiapkan diri sendiri dulu, sebelum bisa membantu anak-anak. Karenanya, jika Anda merasa sangat marah, takut, berduka, malu atau merasa bersalah terhadap pasangan Anda, cari seseorang untuk membantu Anda menyelesaikan perasaan-perasaan tersebut. Bisa juga dengan cara membuat jurnal (buku harian) – tetapi jangan sampai anak-anak Anda “secara kebetulan menemukan” catatan-catatan Anda itu. Dengan memroses emosi Anda melalui tulisan atau bicara dengan orang-orang yang bersikap mendukung, Anda akan menjadi contoh bagi anak-anak untuk bisa mengatasi perasaan-perasaan dengan lebih baik.
Jangan sekali-sekali memaparkan konflik perkawinan kepada anak-anak. Selain itu, sebaiknya:
- Jangan bertikai dengan pasangan di depan anak-anak atau di telepon.
- Cegah untuk membicarakan rincian-rincian perilaku negatif pasangan Anda.
- Kembangkan hubungan yang terjaga dengan pasangan Anda, sesegera mungkin, dan bersikap sopanlah di dalam interaksi Anda.
- Fokuskan pada kekuatan dan kebaikan semua anggota keluarga.

Selain itu, perceraian bisa berdampak negatif pada kesehatan fisik dan mental Anda. Jagalah kesehatan Anda dan anak-anak:
- Usahakan menjaga rutinitas Anda dan anak-anak.
- Jangan mengisolasi diri dari orang lain.
- Buat kelompok pendukung Anda sendiri. Teman-teman lama bisa menjadi pendukung dalam pertempuran perceraian.
- Sediakan dan makan diet yang berimbang.
- Berolahraga dan bermain untuk memulihkan stres.
- Berdoa, bermeditasi atau menjalankan latihan rileksasi.

Cara berbicara dengan anak-anak soal perceraian
Ketika berbicara dengan anak-anak tentang perceraian atau perpisahan, sangatlah penting untuk bersikap jujur, tetapi tidak kritis terhadap pasangan Anda. Kebanyakan anak ingin tahu mengapa hidup mereka jadi mencemaskan. Bergantung usia anak Anda dan alasan perceraian, perbincangan ini membutuhkan sedikit diplomasi. Saat anak-anak sudah matang nanti, mungkin mereka menghendaki informasi lebih dalam.

Berikut ini beberapa saran yang bisa Anda terapkan:
- Buatlah rencana untuk bicara dengan anak-anak sebelum setiap perubahan dalam pengaturan hidup terjadi.
- Rencanakan untuk bicara ketika pasangan Anda juga hadir, jika memungkinkan.
- Ingatkan anak-anak Anda akan besarnya cinta Anda kepada mereka.
- Hormatilah pasangan Anda ketika menyampaikan alasan-alasan perpisahan.
- Katakan kepada mereka bahwa persoalan-persoalan perkawinan Anda bukanlah kesalahan mereka. Biarkan mereka tahu bahwa mereka tidak bertanggung jaab untuk memperbaiki masalah-masalah tersebut.
- Beritahukan pula mengenai perubahan-perubahan dalam pengaturan hidup, sekolah atau aktivitas lainnya. Beritahu pula kapan semua itu akan terjadi. Tetapi jangan bebani anak-anak dengan rincian-rincian.
- Selalu sediakan perasaan Anda untuk menenangkan mereka. Bahkan walau ada banyak konflik di rumah, anak-anak tetap akan merasa sangat kehilangan atas kepergian orangtuanya, atau hilangnya harapan untuk bersatu atau rekonsiliasi.

Pilihan-pilihan Pola Pengasuhan
Pola pengasuhan adalah salah satu aspek paling kritis dari sebuah perceraian. Biasanya pengadilan yang mengambil keputusan terakhir, tetapi kedua orangtua dan kadang-kadang anak-anak ikut memberi masukan. Perhatian utama harus selalu soal kepentingan terbaik anak-anak. Tak peduli perasaan negatif orangtua, mereka harus menetapkan satu rumah yang aman, nyaman dan penuh kasih untuk anak-anaknya.

Berikut ini pilihan-pilihan yang tersedia:
- Hak asuh bersama, baik secara hukum dan fisik. Kedua orangtua berbagi hak asuh fisik dan legal. Ini bisa dilakukan jika kedua orangtua hidup berdekatan.
- Hak asuh legal bersama. Kedua orangtua berbagi keputusan-keputusan legal, tetapi anak tinggal hanya dengan salah satu orangtua dan mengunjungi orangtua lainnya.
- Hak asuh utama hanya oleh satu orangtua. Satu orangtua memiliki hak asuh penuh atas anak, tetapi orangtua lainnya mungkin juga bertanggungjawab memberi dukungan finansial.
- Wali sah oleh seseorang selain orangtua. Dalam keputusan yang sangat jarang ini, kedua orangtua tidak punya hak asuh atas anak. Pengadilan menunjuk seorang saudara atau wali legal lainnya untuk anak tersebut.
- Mungkin juga ada pilihan-pilihan lain, misalnya anak tingga di rumah yang sama tetapi orangtua bergiliran tinggal di sana dengan jadwal teratur.

Persepsi Keliru Anak Soal Perceraian
Banyak anak percaya bahwa mereka telah melakukan suatu kesalahan atau dosa sehingga orangtuanya bercerai. Mereka mungkin ingat saat-saat mereka bertengkar dengan orangtua, menerima nilai-nilai rapor yang jelek, atau mendapat kesulitan. Mereka bisa saja mengaitkan konflik itu dengan konflik orangtuanya dan menyalahkan diri sendiri. Ada juga sebagian anak yang khawatir orangtuanya akan berhenti mencintainya, atau mereka tidak akan pernah melihat orangtuanya lagi. Kadang-kadang anak kecil juga tidak mengerti makna dan permanennya perceraian.
Hadapi kebingungan atau kesalahfahaman anak ini dengan kesabaran. Tekankan kepadanya bahwa Anda berdua akan tetap mencintai mereka dan bahwa bukan mereka yang menyebabkan perceraian. Lalu pelahan-lahan terangkan soal pengaturan hak asuh.

Orangtua Salah Faham Atas Reaksi Anak-anak Terhadap Perceraian
Kebanyakan orangtua yang bercerai juga tengah menghadapi berbagai perasaan seperti keraguan, berduka, malu, takut, marah atau lega. Mereka bisa saja memproyeksikan perasaan ini kepada anak-anaknya. Sementara anak-anak Anda memiliki hubungan, pengalaman dan kebutuhan yang berbeda. Perasaan mereka terhadap orangtua lainnya sangat berbeda dengan perasaan Anda. Akan tetapi, dalam beberapa kasus, ketika ada banyak konflik di rumah, anak-anak bahkan berpura-pura punya perasaan yang sama dengan perasaan orangtuanya.
Selain itu, jika orangtua Anda dulu juga bercerai dan Anda kini tengah menceraikan pasangan Anda, perasaan Anda mungkin jauh lebih kuat dan pelik. Ini mungkin mengubah, memperkuat atau mengurangi persepsi Anda terhadap apa yang tengah dialami anak Anda. Jika memang seperti ini, bicarakan perasaan-perasaan Anda dengan orang-orang yang suportif yang bis amembantu Anda melihat segalanya dalam perspektif yang tepat.

Reaksi Emosional yang Jamak Terjadi pada Anak-anak
Tiap anak bereaksi secara berbeda pada berita perceraian. Awalnya, mereka mungkin melampiaskan kemarahan, takut atau duka luar biasa. Sebagian mungkin bertingkah tidak peduli. Ada pula yang merasa malu dan menyembunyikan kenyataan ini dari teman-temannya dan berpura-pura tidak terjadi. Sebagian bahkan meresa lega karena tidak ada lagi pertengkaran di rumah. Meskipun begitu, perceraian tetaplah sebuah kehilangan – bahkan jika hanya berupa hilangnya sebuah mimpi rumah yang bahagia.
Yang tidak kalah pentingnya, Anda mungkin terkejut dengan kuatnya perasaan anak Anda terhadap perceraian. Tetapi, yang jelas, jangan pernah meremehkan perasaan mereka. DB
Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D – Marriage & Family Therapist, Sexologist, Psychoanalyst, Graphologist.
Untuk konsultasi, hubungi Hita di 0878-8170-5466 atau pin 2849C490. :)

Sunday, 3 February 2013

Adaptasi pada Sekolah Baru? Mudah, Kok!

Adaptasi pada Sekolah Baru? Mudah, Kok!


Wah, senangnya! Akhirnya si kecil mulai memasuki dunia baru: sekolah. Jangan sampai Anda malah yang gugup dan deg-degan menghadapi hari pertamanya di Play Group atau TK, ya? Bisa-bisa si kecil bukannya bersemangat, malah enggan ke sekolah. Nah, apa yang musti Anda persiapkan? Yuk, intip kiat agar ia gampang beradaptasi!

1. Kenalkan Situasi Baru
Biasakan anak mengenal situasi baru dan beradaptasi di dalamnya. Tekankan bahwa ia tak perlu takut pada situasi yang baru karena ia berada di lingkungan aman. Anda bisa menerapkan hal ini saat mengajak ia berkunjung ke acara pernikahan, pesta ulang tahun anak sahabat Anda atau taman bermain sekitar rumah.

2. Sesuaikan dengan Keadaan Sekolah
Dari jauh-jauh hari, siapkan informasi tentang sekolah barunya. Entah peraturan sekolah atau kebiasaan guru-guru mengajar. Nah, tetapkan keteraturan kegiatan sekolah dengan di rumah. Misalnya, sesuaikan jadwal bangunnya dengan jadwal masuk sekolah. Bila ia biasa bangun pagi pukul 07.30 WIB padahal jadwal masuk sekolah pukul 07.15 WIB, maka percepatlah jam bangunnya seminggu sebelum harinya agar ia terbiasa.

3. ‘Berkenalan’ Lebih Dini
Sebelum ia masuk sekolah, ajarkan untuk mengenal lebih dekat lingkungan sekolahnya. Bawalah ia mengunjungi ‘calon sekolahnya’ dahulu.
Sosialisasikan bahwa ‘school is fun', hilangkan kesan seram tentang sekolah. Jangan selalu kaitkan masalah sekolah dengan belajar. Cukup gunakan kata ‘bermain’ seperti ‘bermain di sekolah itu menyenangkan, nanti bisa punya teman baru’. Atau ceritakan betapa banyaknya teman yang akan ia jumpai, bagaimana ia bisa bermain perosotan atau bermain petak umpet dengan teman-teman barunya.

4. Rajin Berlatih di Rumah.
Lakukan role play di rumah bersama si kecil, misalnya permainan sekolah-sekolahan. Ajarkan bagaimana ia berkenalan dengan teman barunya. Cobalah Anda berperan sebagai si calon teman. “Halo, namaku Vania. Nama kamu siapa?” Ucapkan itu kepadanya dan jabatlah tangannya. Semakin sering dilakukan maka akan semakin baik untuknya.

5. Kesepakatan dengan Pihak Sekolah
Tentunya Anda ingin agar si kecil mandiri dan tidak ditunggui selama bersekolah. Anda bisa mengusulkan pada pihak sekolah bahwa pada dua minggu pertama maka orangtua atau penunggu lain harus keluar dari kelas. Tujuannya agar anak tidak tergantung secara emosional dan tidak pecah konsentrasinya saat berkegiatan. n



Moms, Let’s Do It!

Sekarang, saatnya Anda mengantar si kecil ke sekolah barunya. Hari pertama ini sangat penting, loh! So, apa yang musti Moms dan si kecil lakukan?

➢ Pede Aja
Orangtua manapun ingin anaknya pintar bergaul, artinya si kecil mudah menyesuaikan diri di tempat barunya. Kunci untuk orangtua sederhana saja: PERCAYA DIRI. Mengapa? Seringkali yang kurang pede adalah orangtua. Awalnya sih si kecil antusias sekali diajak ke sekolah barunya. Tapi begitu ia melihat wajah Anda berbalut kecemasan saat tiba di gerbang sekolah, ia jadi melempem.
Jadi, percaya saja bahwa anak Anda bisa beradaptasi dengan baik. Jangan tunjukkan kepanikan Anda di depannya – cukup di dalam hati – tapi tampilkanlah raut muka yang cerah dan riang gembira. Dengan begitu si kecil akan larut dalam kegembiraan, seakan-akan ia diajak ke taman bermain favoritnya.

➢ Datang Lebih Awal
Datanglah ke sekolah 15 - 20 menit sebelum bel berbunyi. Ajak si kecil untuk mengenal likungan barunya. Biarkan ia bermain dengan permainan yang ada di sekolah seperti ayunan atau perosotan. Semoga saja ia juga bisa bertemu dengan anak baru lainnya dan mau dijadikan partner untuk bermain jungkat-jungkit. Hitung-hitung ia sudah dapat teman, kan? Nah, biarkan energi dan emosinya keluar bebas, jangan sampai ia stres.

➢ Kenalkan kepada Guru
Kenalkan si kecil kepada guru-guru utamanya guru kelas. Katakan bahwa Ibu Guru adalah orangtua di sekolah, sama halnya ketika Mama berada di rumah.

➢ Angkat Percaya Dirinya
Bila si kecil ngambek karena ada temannya yang didampingi oleh orangtua tau pengasuhnya di kelas, besarkan hatinya dan katakan "Anak Mama kan berbeda karena pintar, jagoan, mandiri, pemberani. Jadi sudah tidak perlu ditunggui" atau kalimat lain yang mengangkat rasa bangga akan dirinya.

➢ Senyum dan Lambaikan Tangan
Begitu bel berbunyi, serahkan anak ke guru, biar ia ikut berbaris sendiri. Bila sang anak 'celingak-celinguk', cukup tersenyum dan berikan lambaian dari jarak jauh. n



‘Back To School’ Seusai Liburan!

Liburan telah usai, kini saatnya menyiapkan segala keperluan untuk kembali ke sekolah. Jangan biarkan si kecil terlena dengan rutinitas liburan. Biarkan ia beradaptasi dengan suasana sekolah yang sebentar lagi akan dimulai! Yuk, ikuti tip berikut!

1. Kembalilah dari liburan kurang lebih dua minggu sebelum masa sekolah dimulai. Moms dan si kecil membutuhkan masa peralihan. Jika Moms tidak menyediakan waktu beberapa minggu, maka Moms akan direpotkan oleh ulah si kecil yang rewel dengan segala persiapan untuk kembali bersekolah.
2. Percepat jadwal tidur si kecil seminggu sebelum hari pertama masuk sekolah. Ia perlu waktu untuk belajar bangun lebih pagi dan tidur lebih awal. Walau dibutuhkan kesabaran ektra untuk mengatur jadwal tidur dan bangun-nya, itu sangat membantu kok saat masa bersekolah dimulai.
3. Kenalkan kembali si kecil dengan buku. Jika selama liburan, waktu belajar tidak banyak dilakukan dan kebanyakan waktu dihabiskan untuk menonton televisi, maka kini saatnya Moms untuk memulai kembali. Kenalkan lagi ia dengan buku menggambar, menggunting, berhitung agar si kecil tidak melupakan pelajaran yang lalu. Bila ia memiliki PR, selesaikan sebelum masa sekolah dimulai.
4. Bentuklah rasa aman dan nyaman. Cukup lumrah bila pada minggu pertama seusai liburan sekolah, ia menjadi rewel dan gampang menangis. Berikan pengertian mengenai teman baru, guru baru, atau ruang kelas baru.
5. Pastikan setiap pagi si kecil mendapatkan sarapan. Asupan gizi dan nutrisi yang cukup dapat membuatnya berkonsentrasi pada saat di kelas. n

Dr. Dono Baswardono, AISEC, Graph, Psych, MA, Ph.D – Marriage & Family Therapist
Untuk konsultasi, hubungi 087881705466 atau pin 2849C490.