Friday 26 March 2010

MITOS ANAK TIDAK BERPRESTASI

ANAK ANDA TIDAK BERPRESTASI?
INI DIA RESEP DARI Dono Baswardono Parenting

“Anak laki-laki saya biasanya mendapat nilai 10. Tapi hasil rapor kemarin, tanpa alasan yang bisa saya fahami, ia menjadi pemalas dan tidak termotivasi. Rata-rata nilainya turun jadi 7. Saya tidak tahu apa yang terjadi padanya.”

Anak perempuan saya sering sekali dapat nilai C atau D, tapi ia kelihatannya tenang-tenang saja. Tidak peduli. Ia sangat tidak punya motivasi. Bagaimana caranya agar ia bisa berusaha lebih keras dan berprestasi?”

“Saya tahu kalau anak saya cerdas. Ia punya banyak potensi. Tapi mengapa ia seperti tidak peduli kalau nilai-nilainya jelek di sekolah? Mengapa ia sangat malas dan tidak bersemangat?”

Mitos Tidak Berprestasi
Tiga keluhan orangtua itu mewakili ribuan lainnya, dari tahun ke tahun. Tidak sedikit orangtua yang sampai putus asa. Tetapi, ternyata, menurut para pakar – termasuk yang lebih dari seperempat abad berspesialisasi dalam menangani anak-anak yang kurang berprestasi – semua keluhan orangtua itu menggambarkan bukan hanya persepsi yang keliru tapi bahkan konsep yang salah kaprah. Sebagian pakar menyebutnya, “Mitos Tak Beprestasi.”

“Mitos Tak Berprestasi” ini menganggap semua anak yang prestasinya menurun akibat malas dan tak punya motivasi, karenanya mereka perlu insentif agar bisa maju kembali. Mereka membutuhkan dorongan. Mereka perlu dinasehati, disemangati, agar bisa berprestasi.

Orangtua bukan satu-satunya pihak yang pikirannya dikabuti Mitos Tak Beprestasi ini. Para guru, konselor, teman-teman anak tersebut, kakek-nenek, paman dan bibi, bahkan sebagian psikolog juga percaya dengan mitos itu. Mereka bilang, “Kita tahu kalau anak ini malas. Apa yang bisa kita lakukan untuknya?” Sulitnya lagi, anak-anak itu juga menerima mitos itu sebagai kebenaran. “Ya, aku tahu kalau aku memang malas dan tidak punya motivasi.”

Nah, menurut mitos ini, tugas Anda sebagai orangtua, guru dan konselor adalah memotivasi anak-anak yang berprestasi rendah itu. Lalu mengumpulkan semua potensinya, dan membangkitkan hasrat dan kemauannya yang selama ini mati agar mau berlari meraih prestasi.

Begitulah, para orangtua yang putus asa itu mencoba memotivasi “anaknya yang malas dan tidak bermotivasi” dengan cara:
- menjanjikan ganjaran dan hadiah
- menegakkan hukuman
- mencoba membantu agar tugas-tugas sekolah menjadi lebih menarik dan menghibur
- menekankan pentingnya pendidikan untuk masa depan mereka
- membantu mereka berprestasi agar bisa merasakan senangnya kesuksesan
- mengikutkan pelajaran tambahan atau les
- mendorong mereka untuk bicara dengan orang-orang sukses agar bisa meneladani dan sekaligus memberi motivasi
- mendorong mereka untuk bicara dengan orang-orang gagal untuk menyadarkan mereka betapa menderitanya tidak sukses itu
- memindahkan sekolah ke lingkungan yang lebih disiplin, kompetitif dan peduli
- memindahkan jurusan ke program yang lebih disukai anak

Pernahkah Anda garuk-garuk kepala kebingungan mencoba segala cara untuk memotivasi anak, hanya untuk bertemu dengan kekecewaan – lagi dan lagi? Anda merasa tidak ada satu pun cara yang manjur atau yang efeknya lama.

Lebih baik Anda tenang sejenak, karena Anda tidak sendiri. Anda berada di dalam barisan ribuan orangtua yang frustrasi yang punya pengalaman sama dengan Anda. Bahkan tidak sedikit profesional – pendidik dan psikolog – yang juga menghadapi dilema serupa; tertantang untuk menemukan cara-cara untuk memotivasi anak-anak yang kurang berprestasi.

Mengapa tidak satu pun dari metoda itu yang berhasil? Mengapa tampaknya tidak mungkin mendorong anak-anak yang “malas dan tidak bermotivasi” itu? Anda tentu pernah mendengar keluhan orangtua, bahwa anak-anak itu menunda-nunda belajar sampai akhirnya semua sudah terlambat. Mereka membolos dari kelas. Mereka berjanji untuk bersikap lebih baik, “Jangan khawatir Bu. Semester depan aku akan lebih baik.”

Mereka harus diingatkan untuk belajar. Mereka harus diperintah agar mengerjakan PR. Mereka musti dikejar-kejar agar tidak terlambat memenuhi tenggat projek sekolahnya.
Bukankah itu semua membuktikan bahwa mereka malas dan tidak punya motivasi?
Tidak. Sama sekali tidak!

Dono Baswardono Parenting menyimpulkan bahwa anak-anak yang tidak berprestasi sesungguhnya sangat bermotivasi – hanya saja dalam arah berbeda, bukan ke arah nilai-nilai yang bagus. Jadi, kunci untuk membantu anak-anak itu agar berprestasi di sekolah adalah “Menemukan dengan tepat motivasinya ke arah mana!”

Agar orangtua bisa tahu ke arah mana motivasi anaknya, pertama-tama musti mengetahui anaknya termasuk tipe underachiever yang seperti apa. Dan begitu orangtua tahu tipe underachiever anaknya, mereka akan sadar bahwa ada yang keliru dalam Mitos Tidak Berprestasi. Tidak ada yang seragam pada diri anak-anak yang tidak beprestasi. Masing-masing, ternyata, unik.

Hasil akhir anak-anak itu memang seragam: sama-sama prestasinya anjlok, tapi masing-masing menempuh jalan yang berbeda-beda untuk sampai ke sana. Analoginya, “Anak-anak underachiever itu punya warna dan bentuknya sendiri.” Oleh karena itu, saran DB Parenting, “Mengenali apa yang sesungguhnya memotivasi tiap jenis underachiever itu merupakan pondasi untuk memahami anak-anak tersebut dan membantu mereka memenuhi potensinya.”

Enam Tipe Anak Tak Berprestasi
Gaya kekurangberhasilan yang paling jamak adalah:
- Penghindar. Mereka selalu menunda-nunda pekerjaan. Biasanya digambarkan orangtuanya sebagai anak yang tak bertujuan dan pemalas. Mayoritas anak yang tidak berprestasi bertipe Angin-anginan atau Penghindar ini.
- Pencemas. Mereka ingin berprestasi lebih baik tetapi terlalu tegang dan khawatir untuk belajar efektif.
- Pencari Identitas. Mereka sibuk menunjukkan dan mengetahui siapa dirinya sehingga teralihkan dari tugas-tugas sekolah.
- Semau Gue. Mereka instinktif, mempesona, suka memanipulasi, dan mau cepat puas sehinga mereka tidak peduli dengan prestasi sekolahnya.
- Kelabu. Suasana hatinya yang gundah, harga dirinya rendah, dan kesulitannya mengambil keputusan membuat seluruh energinya terserap, tak tersisa lagi untuk sekolah.
- Pemberontak. Mereka tidak berprestasi sebagai alat untuk memberontak pada orangtua.

Dono Baswardono, CHT, AISEC, MA, Ph.D

No comments:

Post a Comment