Anda pernah pergi ke toko benang? Saya senang sekali mengantar istri saya berbelanja bahan-bahan pembuat kerajinan tangan. Toko itu sangat kaya warna. Melihat deretan benang itu bagai memandangi pelangi.
Ya seandainya saja hidup kita kaya warna seperti itu. Sesungguhnya, memang begitu. Hanya saja, kita kerap malah menginginkan hidup ‘yang lurus-lurus saja’ bagai benang. Tanpa kusut, tanpa masai. Kalau bisa, sejak bangun pagi sampai mau tidur malam, tidak terjadi masalah apa pun. Hmm...
Begitu mobil hendak meninggalkan garasi, eh terpaksa kembali lagi ke rumah karena kunci laci kantor belum terbawa. “Ah leganya bisa berangkat lima menit sebelum pk 06.00 sehingga tak bakal terjebak macet sejak Cibubur.” Eh baru saja terlontar kalimat itu, tampak mobil-mobil melambat... dan akhirnya berhenti total; rupanya ada kecelakaan. Kejengkelan pun mengisi kepala. Mulut bersungut-sungut, meracaukan padatnya jadwal kerja hari Senin, dan kepalan tangan berkali-kali menghentak gagang stir.
“Mumpung Nadja masih tidur, mau masak bolu kesukaannya ah.” Telur sudah dikocok, tepung, bubuk coklat, dan sedikit gula sudah disiapkan. Loyang sudah diolesi mentega. Mendadak gelap. “Aduh, koq pakai acara mati listrik segala sih!” Sumpah serapah terhadap janji Direktur PLN pun mengular tiada habis dari bibir. Apalagi sudah terlanjur berjanji akan mengadakan lelang baju anak-anak secara online siang ini. Aduh bagaimana ini?
***
Ini memang tak patut disebut krisis karena efeknya memang tidak fatal atau malah katastrofik. Tetapi daftarnya, memang panjangnya luar biasa: jalanan macet, antrean panjang, kunci tertinggal di dalam mobil, koin habis padahal sudah terlanjur membuka jendela mobil, cucian menumpuk, setrikaan rusak, sekring listrik longgar, isi bolpen tiba-tiba macet padahal kemarin baru saja dibeli, denging suara nyamuk di telinga, payung sulit terbuka padahal gerimis sudah membasahi kepala, suami memeluk padahal ia belum mandi dan Anda sudah hampir selesai dandan, anak-anak ribut bermain saat Anda ingin istirahat sejenak, sepatu kesukaan Anda mendadadak ujungnya terasa sakit padahal Anda sudah terlanjur mengenakan pakaian yang serasi dipadu dengannya, dan sejuta ‘gangguan’ kecil lainnya.
Tetapi ‘gangguan-gangguan kecil’ inilah yang kerap mengubah hidup kita. Gara-gara si kecil rewel tak mau mandi, Anda bersungut-sungut sepanjang perjalanan ke kantor, tidak bersemangat saat bekerja, makin jengkel saat makan siang karena ternyata si kecil juga sulit makan, dan terus dalam kegeraman sampai pulang kantor.
Apa yang yang kita alami sehari-hari itulah yang membentuk diri kita. Mengasah watak kita. Mencetak karakter kita.
Diri kita bukan terbentuk hanya oleh peristiwa-peristiwa besar seperti kelahiran, perkawinan, kematian, dan tindakan-tindakan heroik semacamnya, tetapi oleh ‘gangguan-gangguan kecil’ yang datang setiap hari. Bagaimana Anda menghadapi jutaan ‘masalah kecil’ inilah yang akhirnya menunjukkan siapa Anda. Apakah orang yang dengan mudah dikendalikan oleh si pengganggu kecil ini atau sebaliknya, orang yang sanggup mengendalikan diri sendiri?
Anda tak perlu menjawab saya, Anda termasuk yang mana. Cukuplah dengan melihat apa yang terjadi beberapa menit yang lalu atau kemarin; apakah ada momen dimana si pengganggu kecil ini mengubah suasana hati Anda bahkan perjalanan hidup Anda hari itu? Jika ya, tak perlu patah semangat. Selalu masih ada harapan untuk memperbaikinya.
Bagaimana caranya? Bukan cara-cara filosofis yang sulit dan bukan pula teknik-teknik pengembangan diri yang pelik. Cukup dengan cara-cara sederhana yang telah terbukti.
Pertama, mensyukuri setiap masalah kecil Anda. Seperti anak kecil yang mendapatkan kado dari Papanya sepulang kantor. Penuh kegembiraan, penuh suka cita. Ya, bukan sekadar syukur yang suam-suam kuku. Meluap-luaplah dari lubuk hati Anda. Jadi, cucilah baju-baju kotor penuh noda lumpur itu seperti menemukan lukisan yang memetakan kecerdasan anak Anda. Dan yang paling penting, sadarilah bahwa tiap ‘masalah kecil’ itu adalah dari Allah, sebagai penanda bahwa kita masih berguna, masih dipakaiNya sebagai alat perkakasNya. Ia sedang menajamkan Anda. Jadi, kalau ‘masalah kecil’ ini datangnya dari Allah, bagaimana mungkin kita menghadapinya dengan bersungut-sungut?
Kedua, belajar dari gangguan-gangguan kecil Anda. Lebih baik kita realistis saja; hadapi saja kenyataan bahwa tidak satu pun manusia yang hidupnya bagai benang lurus tanpa masalah. Semua orang, setiap orang mendapatkan masalah dan gangguannya sendiri-sendiri. Tanpa kecuali. Jadi, kalau sudah begitu, masih adakah gunanya berkeluh kesah? Bukankah lebih baik energi mental yang tadinya hendak dipakai untuk jengkel dan marah-marah itu diubah menjadi semangat untuk menebar senyum, kepada diri sendiri dan orang lain? Apakah memasak sambil bersungut-sungut akan membuat nasih menjadi lebih cepat matang? Apakah menonton TV sambil memberengut akan membuat acaranya berubah menjadi lebih lucu? Apakah marah-marah di SMS akan membuat si dia terlepas dari kemacetan dan lebih cepat datang menjemput Anda? Lihatlah setiap masalah kecil ini sebagai kesempatan emas untuk meningkatkan kesabaran kita. Pandanglah gangguan kecil ini sebagai peluang langka untuk memperbaiki ketekunan kita.
Ketiga, kenali dan sadari “masa-masa penuh serangga pengganggu” Anda. “Saya tahu, setiap hari Senin pasti macetnya dua kali lipat. Karena itu, setiap Senin saya berangkat ke kantor sejam lebih awal,” kiat seorang teman. Kawan yang lain punya pengamatan berbeda, “Setiap hari Rabu, antara pk 10-12, sinyal di stasiun Manggarai kerap rusak sehingga perjalanan kereta api bisa makan waktu 3 jam. Karena itu, setiap Rabu saya memilih naik bus.” Ya, kenalilah hari-hari atau masa-masa dimana Anda mengalami lebih banyak gangguan kecil. Kalau perlu, lakukan sedikit penelitian, apa saja yang biasa Anda lakukan pada hari iu yang bisa memicu timbulnya masalah kecil tersebut. Lalu lakukan hal-hal untuk mencegah atau menghindarinya. Dan jangan lupa, tambahkan esktra doa menjelang dan sepanjang hari itu.
Ingatlah, tidak satu pun dari masalah kecil itu yang membawa malapetaka. Semua masalah kecil itu hanya untuk kebaikan diri kita semata jika kita mengasihi dan menaati Allah.
Dono Baswardono
No comments:
Post a Comment