Thursday 13 January 2011

BUKU

BUKU

Kiriman buku dari amazon.com telah datang. Kusiapkan secangkir kopi hitam hangat, melesakkan tubuh kurusku di sofa dan mulai membuka “Cheating Death,” yang ditulis dokter Sanjay Gupta – buku tentang ‘zona abu-abu,’ wilayah antara hidup dan mati. Di luar gerimis bercumbu dengan daun-daun Kuping Gajah, sementara sungai Ciliwung di samping rumah terdengar bergemuruh, menandakan di daerah Puncak sana tengah hujan deras. Setelah belasan halaman, kantuk mulai menyerang.

Suara buku tebal jatuh membangunkanku. Aku menegakkan punggungku, melepas kacamata plus dua, dan tepat saat itulah kebingungan menerjang otakku. Mengapa aku berada di ruang perpustakaan Universitas Southern New Hampshire, tempat yang lebih dari tujuh tahun lalu setiap hari kuhampiri? Namun, perpustakaan terasa tanpa kehidupan sama sekali. Dingin menggigit tulang. Kuseret mataku mendekati jendela dan menengok keluar: tanah dan pohon memutih. Salju.

Kepalaku menoleh kembali ke sofa. Masih sama dengan sofa yang berada di ruang bacaku. Hijau muda. Buku Gupta masih tergeletak di karpet. Kucubit lenganku sendiri. Auh, sakit. Aku tidak bermimpi.

Kudekati salah satu rak buku dari kayu mahogani coklat tua itu. Bagian atasnya tertulis, “Orang-orang yang Kusukai.” Hlo, koq bukan filsafat, agama, sosiologi, ekonomi, dst? Tanganku terulur untuk mengambil salah satu buku. Di covernya hanya tertera sebuah nama yang kukenal. Kuambil buku lainnya, dan lainnya. Semuanya dengan nama-nama yang sangat kukenal. Kubuka salah satu buku yang berjudul Asdar Muis. Banyak foto-foto dirinya tengah makan, melukis, berakting di panggung, dan membacakan monolog. Juga cerita-cerita lucu yang tiap hari selalu ada yang baru. Deretan kenangan manis membuat hatiku menghangat.

Sambil mengepit buku itu, aku berjalan ke rak sebelahnya. Air mukaku menegang membaca tulisan yang terukir di ujung rak, “Kawan-kawan yang Kukhianati.” Buku yang berderet di rak ini lebih panjang. Sama seperti sebelumnya, judul buku-buku itu adalah nama-nama orang yang pernah melintas dalam hidupku. Rasa ingin tahuku berubah menjadi horor. Rasa malu dan penyesalan mengiris-mengiris hatiku. Aku mengintip dari balik bahuku, takut kalau ada orang lain melihat.

Perpustakaan ini sangat luas, boleh jadi ada ratusan rak. Tajuknya dari yang biasa-biasa sampai yang aneh, mulai dari “Buku-buku yang Pernah Kubaca,” sampai “Lelucon yang Membuatku Tertawa,” dan “Dusta yang Kuucapkan.” Anehnya, ada pula yang kepersisannya sangat rinci, seperti “Umpatan-umpatan yang Kuserapahkan Kepada Kakakku.” Sebagian rak lainnya membuatku sama sekali tak bisa tersenyum apalagi tertawa, seperti “Gerutuan Kepada Orangtuaku yang Kuteriakkan dalam Hati,” dan “Hal-hal yang Kulakukan Ketika Marah Menguasai Hatiku.”

Tidak satu pun rak yang buku-bukunya tak mengejutkanku. Semuanya jauh melebihi apa yang kuduga. Dan ketika melangkah menuju rak-rak paling ujung, aku baru menyadari sebuah fakta yang sedari awal ada di depan mataku: semua buku itu dengan tulisan tanganku sendiri – bahkan lengkap dengan tanda tanganku.

Ketika sampai di rak terakhir, setiap centi kulitku terasa membeku saat membaca tajuk “Pikiran-pikiranku yang Penuh Nafsu.” Tubuhku gemetar, bahkan akhirnya berguncang, saat membaca buku-buku di rak itu yang menggambarkan dengan sangat rinci setiap pikiran yang selama ini kuanggap hanya kuketahui sendiri. Perutku bergolak, keringat dingin menetes.

Mendadak, kemarahan menggelegak di hatiku. Tujuanku satu: tidak satu pun orang yang boleh membaca buku-buku ini. Kalau perlu, tidak seorang pun juga boleh mengunjungi perpustakaan ini. Aku harus memusnahkan ruangan ini, tak peduli betapa luasnya. Kucari-cari korek api di kantung celanaku, namun tidak kudapati karena aku memang bukan perokok yang selalu sedia macis. Dengan segera tanganku meraih salah satu buku dan berusaha merobek-robek halamannya. Ajaib! Tidak satu milimeter pun kertasnya bisa kusobek. Kubanting buku itu dan kuinjak-injak, namun ia tetap utuh. Kucoba menyobek dan menghancurkan buku yang lain. Tetap sama. Kucoba dengan tenaga yang lebih keras hingga aku terengah-engah. Bergeming.

Aku bergidik karena amarah. Kucoba terus hingga lemas, nyaris lumpuh. Seperti film kartun, tubuhku menggelosor, bersandar pada salah satu rak kokoh itu. Rasa kalah membebani diriku. Aku menghembuskan keluh panjang, mengasihani diriku sendiri. Dalam kelumpuhanku, mataku mulai basah. Aku tersedu-sedu yang makin lama makin kuat hingga tubuhku bergetar.

Pada saat itulah samar-samar aku melihat rak bertajuk “Orang-orang yang Berbagi Pujian Bersamaku.” Dan entah dari mana, kulihat Ia berdiri di samping rak itu. Tersenyum kepadaku. Oh tidak, jangan Dia. Terutama sekali, di ruangan ini. Aku bisa menerima siapa saja saat ini, kecuali Dia.

Tanpa daya aku melihatNya mulai membuka dan membacai buku-buku itu. Tak satu pun halaman terlewat, tak satu pun baris kalimat diloncatinya, namun waktu sama sekali tak terasa lama. Mengapa Ia musti membaca semua buku itu?

Aku tidak tahan melihat tanggapanNya. Namun kemudian kukumpulkan segala keberanianku untuk memandang wajahNya. Kulihat dukacita yang lebih dalam daripada yang kurasakan sendiri.

Ia balas menatapku; mataNya dipenuhi rasa kasih. Aku menundukkan kepala, menutupi wajahku dengan kedua tanganku, dan mulai menangis lagi. Ia berjalan menghampiriku dan merangkulku. Ia bisa saja memberi nasehat sepanjang apa pun yang Ia mau. Tetapi Ia tidak mengatakan apa pun. Ia hanya menangis bersamaku.

Kemudian Ia bangkit berdiri dan kembali ke rak buku. Dia ambil satu persatu buku itu dan mulai menerakan namaNya di atas tanda tanganku.

“Jangan!” aku berseru sambil menghampiriNya. Tapi yang bisa kulakukan hanyalah berteriak, “Tidak, tidak!” sambil berusaha merebut buku-buku itu dariNya. NamaNya tidak seharusnya berada di buku-buku itu. Tetapi malah sudah menancap di setiap halaman, tertulis dengan warna merah darah yang berkilauan. NamaNya menutupi namaku.

Entah bagaimana Ia bekerja, tetapi Ia sudah berada di rak paling ujung dan telah mengembalikan buku terakhir. Dan mendadak Ia telah di sampingku lagi, merangkulkan tanganNya di pundakku dan membisikkan, “Sudah selesai.”

Aku berdiri, dan Ia memanduku keluar dari ruangan itu. Ternyata pintunya tidak berkunci. Dan aku masih harus menulis buku-buku yang lain.

Dr. Dono Baswardono, AISEC, MA, Ph.D
Twitter: @donobaswardono
Facebook: dono baswardono

1 comment:

  1. pagi2 mendung2 baca tulisan ini jadi bikin syahdu...apalagi di masa persiapan paskah ini..jadi langsung terlintas berapa banyak buku/beban yang ngga mau saya lepaskan, yang saya berusaha sendiri menyelesaikannya, sok kuat, sok menutupi, padahal Ia telah menanggungnya u/ saya...berasa menjadi anak durhaka >,< bersyukur dalam setiap proses selalu ada penguatan dari manapun, salah satunya dg baca tulisan ini di senin pagi hari ini...terimakasih...Gbu

    ReplyDelete