Saatnya Bersih-bersih rumah, Tapi Siapa yang Mengerjakan?
Ada satu hal yang hampir semua pasangan sepakat: rumah yang bersih jauh lebih baik daripada rumah kotor. Tapi kalau sudah menyangkut pekerjaan bersih-bersihnya – menyapu, mengepel, melap dan merapikan – banyak suami dan istri bertengkar.
Persoalannya memang berlipat-lipat: siapa harus membersihkan apa? Seberapa sering? Seberapa bersih barang A dibersihkan dan seberapa bersih untuk barang B? Apakah debu tipis bisa diterima atau harus dilap sampai mengkilap? Apakah lantai harus bisa dipakai untuk bercermin? Apakah debu di belakang teve besar yang tidak seorang pun bisa melihatnya juga harus ditumpas habis?
Simak perbedaan pandangan suami dan istri terhadap kebersihan dan tugas-tugas rumah tangga. Apapun perbedaannya, kita musti berusaha membuat rumah menjadi kediaman yang nyaman dan bersih tanpa harus mengorbankan kedamaian hubungan istri-suami; seperti kisah yang dialami oleh beberapa pasangan berikut ini.
Ambang Kotor
Menurut Istri: Lihatlah pada tempat yang sama persis. Seorang lelaki akan memandangnya sebagai kamar yang nyaman sementara seorang perempuan melihatnya sebagai kandang babi. Seorang lelaki melihat ke atas kompor gas dan sungguh-sungguh tidak tahu kalau bekas-bekas saus menempel di sekitar lubang pembakaran. Apakah ada syaraf penglihatan yang hilang di mata lelaki?
Fenomena tersebut sebenarnya berakar pada faktor sosiologis. Dari ratusan tugas kecil yang harus dilakukan di sebuah rumah, kebanyakan lelaki dibesarkan dengan kesadaran untuk membersihkan hal-hal yang besar seperti menyapu (atau menyedot debu) dan mengepel lantai, tetapi tidak peduli dengan tugas-tugas kecil yang tersembunyi seperti melap tirai jendela. Akhirnya mereka memiliki ambang kotor yang lebih tinggi (maksudnya: lebih toleran terhadap kekotoran) dan disertai mata yang lemah terhadap detil. Perempuan sebaliknya, lebih mungkin membersihkan ujung vas, alur-alur di lengan kursi antik Jepara, dan tahu lebih dulu kalau barang tertentu sudah saatnya dibersihkan sementara pria sama sekali tidak tahu.
Menurut Suami: Apabila ada perbedaan antara pria dan wanita dalam melihat kejorokan, itu bukanlah karena kekurangan atau kelemahan lelaki, melainkan karena kelebihan pria: sebut saja, akal sehat. Ayo akui saja, kalau lantai kamar mandi di belakang toilet kotor, apakah ada orang yang benar-benar memperhatikannya? Jadi, buat apa membersihkan hal yang tak pernah dilihat orang?
Bagi kebanyakan lelaki, kamar mandi yang setiap hari cuma dikunjungi sebentar cukup dibersihkan dua-tiga bulan sekali. Sebaliknya para istri merasa harus membersihkannya besar-besaran secara teratur tiap minhggu.
Ketika Anty, 27, melihat terlalu banyak bekas jari di dinding, suaminya sedang tidur. Saat itu persis menjelang subuh pada hari Selasa dan ia memutuskan tak bisa lagi hidup dalam kejorokan macam itu. Waktu rupanya bukan hal yang perlu dipertimbangkan karena ia segera bangun dan mengambil perlengkapan pembersih dan mulai bekerja ‘memberantas’ semua kotoran; mungkin termasuk suaminya, he-he.
Kamar Mandi
Menurut Istri: Tiada ruangan di rumah Anda selain kamar mandi yang perbedaan antara ‘rapi’ dan ‘bersih’ paling kentara. Kamar mandi khas perempuan biasanya campuran antara produk-produk kecantikan dan pakaian dalam basah, sementara kamar mandi lelaki tak ada barang-barang tetapi jorok seperti lantai bioskop. Guntingan bulu kumis berceceran, tumpahan sampo atau krim, dan kurangnya ‘perhatian’ membuat lelaki sebagai penyebab utama kejorokan kamar mandi.
Kalau Anda meminta pria membersihkan kamar mandi, ya tumpahan-tumpahan seperti itulah yang malah diabaikannya. Ia pasti malah menyingkirkan semua kosmetik, membuang celana dalam ke dalam sampah dan kemudian merasa puas diri. Andreas, 34, di Yogya misalnya, ketika membersihkan kamar mandi ia mengatur semua sampo di rak dengan rapi tapi membiarkan saja pinggiran wadah sabun yang penuh dengan ‘daki’ sabun.
Lihat apa yang dialami Nadja, 37, dari Malang Jawa Timur, ketika bersiap menyambut mertuanya untuk menginap. Suaminya bertugas membersihkan kamar mandi sementara ia membersihkan seluruh rumah. “Setelah beberapa jam, saya sudah membersihkan seluruh rumah, Anggit keluar kamar mandi dengan senyum puas. Ia sama sekali tidak menyentuh toilet, tapi ia mengambil tangga untuk membersihkan langit-langit.”
Menurut Suami: Tanyakan kepada perempuan manapun tentang kamar mandi wanita di kantornya, pastilah mereka tersenyum malu. Kalau wanita tidak harus membersihkan sendiri kamar mandinya, mereka suka memasukkan barang-barang ke dalam toilet yang bisa membuat sutradara film Jaelangkung berteriak ketakutan.
Tetapi perempuan yang sama ini malah menginginkan kamar mandi di rumahnya bersih untuk semua orang, dan ia ingin suaminya yang membersihkan – dengan alasan suaminya yang paling banyak mengotori.
Jadi, bagaimana caranya lelaki membersihkan kamar mandi dengan hanya sedikit usaha? Ia membawa majalah dan sebotol pembersih porselen. Kunci pintu kamar mandi. Bukalah penutup toilet (kalau Anda tidak lupa menutupnya tadi). Semprotkan cairan pembersih ke seluruh permukaan toilet yang terlihat dan lap dengan kertas toilet. Lalu siram 50 kali sambil membaca majalah. Anda tidak akan berkeringat tetapi istri sudah beranggapan Anda rajin bekerja selama berjam-jam.
Cucian Baju
Menurut Istri: Mencuci baju, seperti menyedot debu, adalah tugas luar biasa bagi lelaki: pekerjaan otak kiri dari awal sampai akhir. Tidak memerlukan keputusan pribadi atau improvisasi kreatif; orang hanya cukup mengikuti langkah-langkah dengan waktu yang telah ditentukan dari A, B sampai C dan menuangkan deterjen dengan takaran yang tepat.
Akan tetapi ingat kalau Anda memberikan tugas ini kepada suami, ada ‘aturan’ tambahan. Pertama, jangan pernah mengharapkannya untuk melakukan tugas yang lain karena pekerjaan ini akan dilakukannya seharian. Kedua, ia musti dilatih terlebih dahulu mengenai seni mencuci baju; mulai dari teknik yang tepat untuk melipat baju sampai memisahkan baju berwarna dari yang putih. Dan ketiga, meski caranya bukan yang terbaik, tetapi ia tetap ngotot menganggapnya ‘caranya’ yang paling benar.
Idealnya, kita musti membagi tugas mencuci menurut bidang kepakaran masing-masing. Orang yang pertama kali menyadari bahwa baju-baju perlu dicuci adalah orang yang bertugas meletakkan baju ke dalam mesin cuci. Perempuan yang tak ingin bra-nya menciut menjadi ukuran kurcaci musti cermat memindahkan pakaian dari tabung pencuci ke tabung pengering. Dan mereka yang ingin bajunya terlipat seperti pakaian di hotel lebih baik menunggui pengering pas berdering atau kalau tidak bajunya akan berkeriput seperti kakek-kakek.
Menurut Suami: Ada tiga alasan mengapa lelaki tidak mau mencuci baju. Pertama, ada ketidakseimbangan pakaian antarjenis kelamin. Hal ini tergambar dari kisah Alif, 33, dan Sharmila, 31 dari Bogor. Seperti kebanyakan orang, Alif dan Sharmila menentukan sudah saatnya mencuci baju ketika mereka kehabisan pakaian dalam. Jebakannya? Sharmila punya pakaian dalam lebih banyak, sehingga Alif terus yang harus mencuci baju. Dan...Sharmila mengaku, “Kupikir Alif tak pernah tahu kalau aku selalu membeli sepasang pakaian dalam baru setiap kali kehabisan.”
Alasan kedua mengapa lelaki menjadi spesialis pencuci baju karena kamilah satu-satunya pihak yang punya kemampuan untuk melakukan tugas itu dengan benar. Dengan kata lain, hanya lelaki yang bisa menguasai teknik memanfaatkan tetes terakhir deterjen, membuka kantung penampung koin dan kotoran, serta melipat dengan tekanan kuat.
Mencuci Piring
Menurut Istri: Ada perempuan yang tidak pernah mendapat teman yang cocok dalam mencuci piring. Saat kuliah misalnya, teman kos Dona selalu terganggu dengan kebiasaannya ‘mengucuri’ piring (mencuci dan membilas satu per satu barang di bawah keran dengan air yang mengalir. Padahal teman kos Dona lebih suka ‘memandikan’ piring dan gelas; memenuhi bak cuci dengan air dengan air bersabun, menggosok semua barang di dalamnya, mengeringkan air, lalu mengisi kembali bak dengan air pembilas.
Ketika Dona menikah dengan Dani, ia ingin piring dibersihkan persis setelah dipakai. Sedangkan Dani lebih suka mengumpulkannya dahulu sampai menggunung. Apa yang terjadi kemudian? Setiap kali Dani selesai memakai piring atau gelas dan meletakkannya di bak cuci, Dona bergegas mencucinya.
Meski Dani tak pernah mencuci piring sendiri, tapi ia punya pendapat kuat mengenai bagaimana cara mencuci piring yang baik. Menurutnya, piring harus direndam dulu di air panas, baru kemudian dicuci – lagi. Beberapa pekan lalu, Dani berdiri di belakang Dona yang sedang mencuci piring ala Dani. Rupanya Dani tak sabar melihat tiap piring dicuci begitu lama, sehingga Dona menegaskan, “Kalau kamu nggak suka dengan caraku, kerjakan sendiri.” Sejak itu Dona aman-aman saja mencuci piring dengan gaya apapun.
Menurut Suami: Kebanyakan lelaki bersikap “wait and see” soal piring kotor. Begitu kita selesai makan, peranan piring dan gelas itu juga sudah berakhir. Maka siapa tahu piring-piring itu secara ajaib akan menghilang begitu saja. Semoga saja para peri mencucinya di malam hari. Atau yang lebih mungkin, para istri lelah melihatnya lalu memutuskan untuk mencucinya. Kadang-kadang kita melakukan rekayasa, sengaja meninggalkan cukup banyak sisa makanan di atas piring sehingga ada alasan untuk menyimpannya kembali ke dalam kulkas daripada membuang dan mencucinya. Oven dan microwave juga menjadi surga bebas penyakit bagi wadah-wadah kotor.
Toh pada akhirnya kebanyakan suami harus menghadapi kenyataan bahwa piring-piring itu adalah kewajibannya, paling tidak sekali waktu. Dan pada saat itulah terjjadi kekeliruan menggunakan sabun pembersih tangan untuk mencuci piring. Di kebanyakan rumah tangga, aturan mainnya adalah “Siapa yang makan harus mencuci piring dan melapnya.” Tetapi ada juga pasangan yang memakai prinsip “Siapa yang tidak memasak harus mencuci piring.” Kuncinya adalah berlomba menjadi koki sementara; dan jebakannya adalah: menelpon layanan pesan-antar juga dianggap sebagai tugas memasak.
Sembarangan
Menurut Istri: Semua orang tidak suka jorok, tapi lain halnya dengan menaruh barang secara sembarangan; ada yang suka, ada yang tidak, tanpa bisa dibedakan jenis kelaminnya. Permukaan atas lemari yang kosong misalnya, adalah keindahan, menurut Lani, 26; tetapi menurut Bagus, 30, itu adalah tempat yang memungkinkannya untuk menaruh apa saja di atasnya. Dan hal ini disepakati Novelita, 29, dari Bekasi. “Suami saya suka menumpuk barang, dan saya ikut bergabung.”
Bagus beranggapan kalau barang-barang yang ditaruh sembarangan itu lenyap dari pandangannya, bisa-bisa otaknya membeku; bingung setengah mati. Orang memang kadang-kadang menaruh barang sembarangan, sesekali; berbeda dengan Bagus yang punya rumus, “Pola saya adalah ketidakberaturan.” Hal-hal tertentu, seperti kamar mandi anak-anak atau kamar bermain, memang dimaksudkan untuk kumuh sementara waktu. Sebagian ibu lebih suka cara pengaturan seperti ini. Seperti yang dikatakan Dona, “Dani kadang-kadang marah ketika anak-anak melempar tasnya sembarangan. Jadi saya baru membersihkannya tepat sebelum ia pulang atau saya minta anak-anak melakukannya sendiri. Dan kadang-kadang saya meminta Dani yang membersihkannya. Bagaimanapun juga ini adalah rumah dengan anak-anak, bukan sekadar gedung.”
Menurut Suami: Laki-laki maupun wanita sama-sama bersalah menciptakan tumpukan dan sembarangan menaruh barang. Alif berkata Sharmila punya kebiasaan meninggalkan mesin penyedot debu di tengah ruang tamu kalau ia sudah selesai memakainya. Atau ia tak sengaja menjatuhkan selembar kertas di atas karpet dan membiarkannya selama beberapa waktu sampai ia letih melihatnya dan mengambilnya. Kalau Alif bertanya apakah Sharmila melakukannya dengan sengaja agar Alif yang membereskan, Sharmila dengan tangkas menjawab, “Tentu saja tidak. Aku benar-benar lupa.”
Harus diakui, lelaki memang suka sembarangan. Ini sangat gamblang terlihat. Dengan seenaknya melepas dan membiarkan celana tergeletak di lantai alih-alih menggantungnya. Pria juga meninggalkan sepatu di manapun mereka mencopotnya. Anda pikir ini semacam usaha pasif-agresif terhadap istri agar bermain “Ibu Tersayang” yang selalu melayani dan memanjakan anak-anaknya; tetapi percayalah, pria tidak secerdas itu rekayasanya.
Menghilangkan sama sekali semua barang yang tidak pada tempatnya jelas tujuan yang tidak masuk akal. Lebih baik kita membuat “wilayah aman” di mana barang-barang yang sembarangan bisa ditumpuk: lemari khusus atau kamar yang tak terpakai. Sebaliknya, mereka yang anti-sembarangan tidak boleh merapikan ‘wilayah aman’ tersebut. Hukuman bagi mereka yang berani mengatur ruangan ini adalah horor: wilayah aman yang lebih luas. Dan hukuman bagi yang meletakkan barang sembarang di luar wilayah aman adalah tidak boleh ada barang yang ditaruh sembarangan lagi seumur hidup. db
No comments:
Post a Comment